BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui dan merupakan asset nasional yang sangat penting,
sehingga keberadaannya perlu dipertahankan dan dikelola secara bijaksana agar
fungsi-fungsinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari untuk
kesejahteraan seluruh masyarakat. Bahkan
di dalam pembangunan nasional, hutan memegang peran ganda yang juga sangat
penting (Anonymous, 1996). Pertama, hutan sebagai sumber alam
berperan bukan saja sebagai pelindung sistem penghasil air untuk berbagai
kebutuhan tetapi juga sebagai pemasok bahan baku
bagi peningkatan produksi serta perluasan lapangan kerja dan sekaligus juga
sebagai sumber penghasil devisa dan pendapatan daerah. Kedua,
hutan memegang peran yang strategis di bidang ekologi. Selain itu, hutan Indonesia
berfungsi pula sebagai bagian paru-paru dunia, penghidup karbon dioksida dan
penghasil oksigen serta pengatur dan penopang ekosistem dunia.
Sejak pembangunan jangka panjang
kesatu (PJP-I), kesadaran mengenai semakin pentingnya peran ganda hutan Indonesia
bagi pembangunan dan menopang ekosistem dunia semakin meningkat. Pelaksanaan peran ganda ini membutuhkan
keserasian dan keseimbangan dalam berbagai kebijakan pembangunan, terutama yang
berhubungan langsung dengan pengelolaan hutan.
Dalam kaitan ini maka pembangunan kehutanan dikembangkan dengan tujuan
meningkatkan produksi dan memperluas penganeka ragaman hasil untuk memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri serta memperbesar ekspor, meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup masyarakat, mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta mendukung pembangunan daerah. Hutan sebagai sumber kekayaan alam penting
perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
rakyat di masa kini maupun di masa depan.
Untuk itu telah ditempuh langkah-langkah bagi kelangsungan fungsi dan
kemampuannya dalam melestarikan lingkungan hidup.
Pada tahap awal pembangunan kehutanan, telah banyak mengalami hambatan dan
masalah. Hambatan utama adalah kurangnya
tenaga trampil, kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan kurangnya
kemampuan dan pengalaman dunia usaha kehutanan dalam pengelolaan hutan alam
(Anonymous, 1996).
Kartasasmita (1997:143) menengarai bahwa kegagalan atau tidak tercapainya
sasaran pembangunan pada umumnya maupun pembangunan kehutanan lebih disebabkan
oleh kurangnya partisipasi masyarakat dan bahkan banyak kasus menunjukkan bahwa
masyarakat menentang upaya pembangunan. Keadaan
yang seperti ini disebabkan oleh:
1.
Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang
dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan di sisi ekstrim dirasakan sangat
merugikan;
2.
Pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan
rakyat banyak, akan tetapi rakyat kurang memahami maksud dari pembangunan
tersebut;
3.
Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan
rakyat memahaminya, akan tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan
pemahaman tersebut;
4.
Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi
rakyat tidak diikut sertakan.
Sementara Tjokrowinoto (1996)
mengungkapkan bahwa pembangunan dilihat dari arah konseptual maupun kontekstual
selalu tidak dapat dilepaskan dari konsep keterbelakangan dan kemiskinan,
dimana pada gilirannya kesemuanya itu adalah bertujuan untuk mengentaskan
kemiskinan. Dilihat dari sumberdaya
manusianya, karakteristik masyarakat yang menyandang kemiskinan adalah:
sebagian besar kepala keluarganya tidak pernah menempuh pendidikan formal,
yaitu 60 prosen adalah buta huruf (Prijono dan Pranarka, l996). Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya mereka
mencari peluang untuk meningkatkan kesejahteraannnya. Pekerjaan pokok masyarakat ini adalah petani
dengan luas pemilikan lahan rata-rata 0,22 hektar. Sedangkan pekerjaan sampingan mereka adalah
sebagai tukang kayu, mencari getah, mencari kayu baker dan memburuh. Tanggungan keluarga rata-rata 3 sampai 4
orang, yaitu anak-anak yang masih sekolah.
Melihat karakterisitik masyarakat miskin sebagaimana diungkapkan di
atas, tersirat bahwa sebagian besar penduduk miskin menurut kriteria di atas
adalah masyarakat yang berada di daerah pedesaan. Hal ini berarti bahwa kebijakan pembangunan
haruslah diarahkan pada upaya-upaya yang mampu mengentaskan kemiskinan di
daerah-daerah pedesaan. Di pihak lain,
masalah-masalah yang menghadang keberhasilan program pembangunan di daerah
pedesaan menurut Haeruman (2000) adalah sebagai berikut:
1.
Adanya ketimpangan proporsi penduduk miskin yang ada di
daerah pedesaan dibandingkan dengan yang ada di daerah perkotaan, sehingga
perkembangan sosial ekonomi di daerah pedesaan relatif tertinggal;
2.
Rendahnya kualitas dan tingkat tersedianya prasarana
dan sarana sosial ekonomi
3.
Kurang
berkembangnya kelembagaan masyarakat di daerah pedesaan;
4.
Penurunan kualitas sumberdaya manusia dan alam.
Meskipun permasalahan-permasalahan
di atas belum merepresenrasikan sepenuhnya permasalahan aktual dan potensial,
namun paling tidak bisa memberikan gambaran kepada kita tentang permasalahan
pokok yang menghambat pembangunan di daerah pedesaan. Lebih tegas lagi Haeruman (2000) menyatakan
bahwa masalah utama dalam pembangunan di daerah pedesaan adalah rendahnya
kemampuan pengelolaan sumber-sumber daya pembangunan masyarakat pedesaan yang
mengakibatkan tidak adanya jaminan atas keberlanjutan proses pembangunan
sebagai prasyarat adanya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat di
daerah pedesaan. Dengan demikian yang
dibangunan, menurut Suseno (1995), adalah kondisi dan prasyarat kehidupan dalam
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu sarana-sarana yang diperlukan
agar masyarakat itu sendiri, berdasarkan kreativitas, cita-cita dan usahanya
sendiri, dapat mengembangkan diri dalam dimensi individual dan sosial, jasmani
dan rokhani, duniawi dan religus. Untuk
itu, supaya dapat survive dan
berkembang, manusia membutuhkan dukungan, yaitu: ia perlu dibantu, seperlunya
dijamin dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Atau dengan rumusan lain, sasaran pertama
pembangunan adalah agar masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Di masa sekarang ini, pergantian dari
Era Orde Baru ke Era Reformasi telah berdampak pada perubahan di berbagai sendi
kehidupan sosial ekonomi dan politik, termasuk dalam hal strategi
pembangunan. Pada era Orde Baru,
pemerintah pusat lebih mendominasi strategi perencanaan pembangunan, penggunaan
pendekatan top-down telah menempatkan
pemerintah pusat sebagai agen modernisasi dan melaksanakan sendiri pembangunan
‘tanpa’ melibatkan unsur masyarakat setempat, terutama dalam proses
perencanaan. Pendekatan ini telah
mensubordinasikan konteks daerah terhadap keinginan pemerintah pusat atau lebih
mementingkan inisiatif nasional dan mengabaikan inisiatif lokal (Sitorus, 1995). Hal ini juga mengakibatkan program-program
pembangunan tidak selalu bersambung dengan kepentingan setiap golongan dalam masyarakat
di daerah-daerah pedesaan. Pendekatan
pola top-down ini mengandalkan
munculnya dampak yang lebih luas atau
yang lebih dikenal dengan istilah trickle
down effect, dimana substansinya adalah bahwa dalam rangka mengejar
ketertinggalannya atas negara-negara yang sudah maju dengan program ‘percepatan
pembangunan’ melalui pembangunan yang bertumpu pada percepatan pertumbuhan
ekonomi melalui industrialisasi, yang hasilnya disamping dapat dinikmati oleh
mereka yang secara langsung terkena sasaran tersebut, diharapkan bisa juga
merembes pada masyarakat secara lebih
luas (trickle down). Akan tetapi, sebagian besar program
pembangunan yang menggunakan metode trickle
down effect tersebut, perencanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat,
sehingga karena tidak mengetahui atau tidak mendapatkan informasi yang akurat
tentang permasalahan-permasalahan yang ada di daerah, seringkali
masalah-masalah yang ingin ditangani oleh program-program pembangunan dimaksud
tidak sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi dan juga tidak sesuai dengan
kebutuhan riil yang dirasakan oleh masyarakat di daerah-daerah yang seharusnya
juga ikut menikmati hasil pembangunan tersebut (Ismawan, 1992).
Dengan munculnya era reformasi,
pendekatan baru dalam pembangunan lebih menekankan partispasi masyarakat untuk
bersatu padu dalam pembangunan yang diarahkan, sehingga perencanaan pembangunan
lebih diarahkan pada munculnya ide dari bawah (buttom-up). Hal ini juga
ditegaskan oleh Kaho (1991) yang menyatakan bahwa apabila kita berbicara
mengenai pembangunan, sesungguhnya yang dibicarakan adalah keterlibatan seluruh
masyarakat sebagai sstem terhadap masalah yang dihadapinya dan juga pencarian
jawaban atas permasalahan tersebut.
Lebih lanjut, Siagian (1991) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat
mutlak diperlukan oleh karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan
berbagai kegiatan pembangunan. Secara
etis pembangunan harus memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi sebagai subyek
dan bukan sebagai obyek semata, dan hasil-hasil pembangunan harus
dipersembahkan oleh dan untuk rakyat (Usman, 1996).
Sedangkan secara sosiologis, keberhasilan
pembangunan akan ditentukan oleh keterlibatan masyarakat dengan segala
sumberdaya yang dimilikinya (Arif, 2000).
Hal ini juga dirtegaskan oleh Tjokrowinoto (1998) yang menggambarkan
bahwa jika pembangunan terlalu bertumpu pada alokasi dan distribusi dana yang
sentralistik maka akan mengurangi kreatifitas dan komitmen masyarakat, dan
kurang menumbuhkan pembangunan berdasarkan kepercayaan diri serta menimbulkan
dependensi masyarakat yang terlalu besar pada pemerintah. Bahkan, menurut Suprapto (1996), penekanan
alokasi dana yang sentralisitik dan berkepanjangan juga akan menimbulkan
mentalitas dependensi, memperlemah prakarsa, mengurangi kreatifitas dan daya
inovasi. Dengan demikian mau atau tidak
mau pembangunan yang berorientasi pada masyarakat selayaknya memberikan
kesempatan pada setiap angggota masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses
pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
Syarat dari keikut-sertaan seluruh anggota masyarakat, selain peluang
dan akses yang sama, juga menyangkut kemampuannya untuk berperan. Konsekuensi logisnya, masyarakat harus berdaya untuk berperan serta dalam
pembangunan, sehingga pembangunan harus menggunakan sebuah konsep yang
sekaligus bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Atau dengan kata lain, pembangunan itu juga
berupaya membuat masyarakat mampu mandiri (Sumodiningrat, 1997), dimana
masyarakat mampu mengidentifikasikan masalah, merencanakan dan melakukan
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat, tanpa bergantung bantuan
dari pihak luar (Depkes & Unicef, 1999).
Namun di pihak lain, dinamika
sosial ekonomi yang terjadi di Indonesia
dalam dasa warsa terakhir ini justru semakin dipicu lajunya oleh dinamika politik
dan juga krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang
disebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok semakin menambah jumlah
masyarakat miskin yang sebagian besar berada di daerah-daerah pedesaan. Indikasi lain yang lebih nyata atas dampak
negatif dari dinamika sosial yang terjadi adalah terjadinya penjarahan kayu di
kawasan Hutan Negara dan PT Perkebunan di berbagai tempat oleh masyarakat
akhir-akhir ini. Fenomena tersebut
merupakan bukti telah merosotnya perilaku masyarakat yang sangat memprihatinkan
terhadap kepedulian kelestarian ekosistem sumberdaya alam, yang harus cepat
ditanggulangi lebih serius sebelum dampak yang lebih buruk terjadi.
Kondisi kerusakan hutan dan lahan
di Indonesia
saat ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak secara nasional. Hal ini relatif dialami oleh Kabupaten
Tulungagung. Degradasi sumberdaya hutan
dan lahan di Kabupaten Tulungagung terus meningkat, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Kerusakan hutan dan lahan
tersebut mengakibatkan bencana yang besar, bahkan akhir-akhir ini
kecenderungannya semakin meningkat, khususnya banjir, tanah longsor dan
kekeringan. Penyebab utama bencana
tersebut adalah kerusakan lingkungan sebagai akibat pemanfaatan lahan yang tidak
sesuai dengan daya kerusakan lingkungan terutama di wilayah hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS), yang merupakan daerah tangkapan air. Oleh karena itu penanggulangan yang
diperlukan adalah pengendalian kondisi daerah hulu DAS tersebut terhadap fungsi
dan kemampuan untuk pengendalian limpahan air permukaan dan perbaikan
lingkungan melalui Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Dengan berbagai permasalahan di atas, maka
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) dianggap
merupakan solusi yang tepat.
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (RHL) merupakan upaya strategis pembangunan nasional. Berdasarkan pengalaman masa lalu
penyelenggaraan RHL tidak mampu mengimbangi laju degradasi hutan dan lahan,
sehingga perlu dilakukan percepatan melalui program “Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan ( GN RHL)”. Kegiatan ini
dimaksudkan sebagai gerakan moral berskala nasional yang terencana dan terpadu,
dengan melibatkan berbagai pihak terkait baik pemerintah, badan usaha milik
pemerintah/swasta, TNI, maupun masyarakat.
Dalam penyelenggaraannya diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan
No.P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Adapun untuk Kabupaten Tulungagung, sasaran kebijakan GN-RHL tahun 2004
seluas 2.895 hektar menyebar di 61 desa pada 13 kecamatan di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Brantas dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, baik TNI,
POLRI, LSM dan petani peserta sebagai pelaksana inti di lapangan.
Berangkat dari uraian di atas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL) di Kabupaten Tulungagung
Tahun 2004”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar