BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 LATAR BELAKANG
Di tengah kemajuan pesat yang telah dicapai ilmu ekonomi memasuki milenium ketiga ini, ilmu ekonomi dihadapkan kepada sebuah pertanyaan krusial : sejauh mana disiplin ilmu ini berhasil memainkan peran kuncinya dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup bagi seluruh umat manusia ? Pertanyaan ini sangat wajar untuk dimunculkan, karena dalam tataran teknis, setiap disiplin ilmu senantiasa dihadapkan pada sebesar apa kontribusi atas peradaban manusia. Apa yang telah diberikan oleh ilmu ekonomi bagi kemanusiaan ?
Kebahagiaan manusia telah menjadi tujuan utama seluruh masyarakat di dunia. Namun ada perbedaan pandangan mengenai apa yang membentuk kebahagiaan itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan. Perbedaan ini menyangkut diikutsertakan atau tidaknya aspek spiritual sebagai hal yang membentuk kebahagiaan disamping aspek material. Kebahagiaan aspek material dapat tercapai dengan memenuhi tujuan-tujuan material, diantaranya meliputi pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk dapat hidup secara terhormat, serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata .
Dalam kaitannya untuk memenuhi tujuannya mewujudkan kesejahteraan umat manusia tersebut, maka berkembanglah ilmu Ekonomi Kesejahteraan (Welfare Economics) yang dirintis oleh Pigou pada tahun 1912, yang menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu ekonomi kebijakan publik, perdagangan internasional, ekonomi industri, dan cabang ilmu ekonomi lainnya . Sehingga ilmu ekonomi tidak hanya ditampilkan hanya menjadi serangkaian persamaan dan parameter matematika, time series , regresi dan ekonometri sehingga kering dari nilai-nilai kemanusiaan .
Perekonomian dunia saat ini mengarah menuju sistem ekonomi kapitalisme pasar dengan perekonomian Amerika Serikat sebagai acuannya . Sistem ekonomi ini menganut paham efisiensi berdasarkan Pareto Optimality yang mengasumsikan efisiensi terjadi apabila syarat-syarat berikut tercapai :
- Setiap barang dan jasa yang mempengaruhi kepuasan seseorang adalah tersedia di pasar (complete).
- Ada banyak penjual dan pembeli dalam suatu pasar, dan mereka bebas untuk masuk dan keluar pasar tanpa ada hambatan yang menghalangi, serta tidak ada seorang penjual pun yang dapat mengontrol tingkat harga di pasar (competitive).
- Semua pelaku ekonomi mengetahui seluruh informasi yang berkaitan dengan preferensi konsumen, teknologi produksi, tingkat harga, dan segala informasi yang mereka butuhkan untuk mengambil suatu keputusan ekonomi (full information).
- Semua pasar dalam perekonomian adalah berada dalam keadaan keseimbangan, dimana jumlah kuantitas barang atau jasa yang diminta adalah sama dengan jumlah kuantitas barang atau jasa yang diminta (general equilibrium).
Optimalitas Pareto ini dengan baik diterima dan berkembang dalam teori perilaku pelaku ekonomi konvensional, serta setiap individu bebas melakukan aktivitas ekonomi dan berinteraksi sehingga tingkat harga dan pasar akan menyesuaikan diri tanpa adanya campur tangan dari pusat atau pemerintah. Dengan bekerjanya invisible hand , mereka yang berusaha mencapai keuntungan pribadinya akan secara otomatis mewujudkan kemakmuran publik , serta adanya paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transedental, kepedulian etika, agama, dan nilai-nilai moral (sekulerisme), serta berorientasi duniawi dan pragmatis turut menghiasi wajah ekonomi konvensional .
Konsep efisisiensi berdasarkan Optimalitas Pareto tidak menjelaskan sama sekali tentang distribusi pendapatan. Suatu perekonomian dapat efisien dalam pandangan Pareto dimana perekonomian tersebut memiliki distribusi pendapatan yang merata atau bahwa seseorang yang memilki segalanya di lain pihak orang lain mengalami kelaparan adalah tetap dalam kategori efisien, selama kebahagiaan seseorang dapat dibuat lebih baik (better off) tanpa membuat kebahagiaan orang lain lebih buruk (worse off). Sehingga besar kemungkinan terjadinya trade off atau saling mengorbankan antara pemerataan dan efisiensi .
Adalah suatu kenyataan di dunia ini terjadinya fenomena kesenjangan sosial akibat tidak meratanya distribusi pendapatan, tingginya tingkat kemiskinan, dan kelaparan. Sebagai salah satu contoh, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan di Roma, 10-13 Juni 2002 memaparkan bahwa sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak yang bergulat dengan kelaparan dan rawan gizi. Dan menurut keterangan produsen makanan hewan, tidak kurang dari 75% makanan anjing dan 77% makanan kucing di Amerika Serikat dipenuhi dengan makanan kaleng, yang biasanya dari daging dan omsetnya adalah empat miliar dollar per tahun .
Tentu ini menjadi ironi yang sangat parah ketika di belahan bumi yang lain manusia menghadapi kelaparan dan rawan gizi, tetapi dengan jumlah besar daging digunakan untuk makanan anjing dan kucing. Padahal sebenarnya daging-daging ini dapat dipakai sebagai makanan untuk manusia.
Dalam tataran perilaku konsumen, tingkat kepuasan yang berupaya dimaksimalkan bisa diraih dengan batasan biaya tertentu. Serta perilaku produsen yang memaksimumkan profit melalui fungsi produksi yang menggambarkan output maksimal yang perusahaan dapat produksi dari setiap kombinasi input tertentu . Semua ini adalah perilaku yang menggerakkan roda perekonomian konvensional yang dilakukan oleh manusia sebagai homo economicus seutuhnya, sekali lagi tanpa adanya pertimbangan kepedulian etika, agama, nilai-nilai moral, maupun sifat altruistik .
Akan tetapi gambaran homo economicus ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan yang seringkali disaksikan oleh masyarakat tentang perilaku manusia pada umumnya. Orang berpartisipasi dalam pemilihan umum, memberikan derma (charity) dan disiarkan melalui berbagai stasiun TV, mendonorkan sumsum tulangnya kepada penderita leukimia yang tidak dikenalnya, prajurit yang rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan komandannya dalam peperangan, dan kegiatan lainnya yang jauh dari nilai ekonomis, yang terlihat berlawanan dengan teori self-interest standard of rationality yang ditekankan di dalam buku teori ekonomi mikro saat ini .
Contoh kasus paling aktual yang terjadi di penghujung tahun 2004 adalah bencana gempa yang menyebabkan gelombang Tsunami di perairan timur Aceh, yang dampaknya melanda sebagian Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika Timur. Bencana kemanusiaan terbesar selama 20 tahun terakhir yang merenggut korban (sementara) meninggal 155.000 jiwa dan 107.039 jiwa diantaranya adalah korban dari Indonesia .
Banyak orang dari penjuru tanah air dan dunia berbondong-bondong memberikan bantuan bagi para korban bencana tersebut, baik dalam bentuk uang, bahan makanan, pakaian dan bantuan lainnya. Ribuan orang dari dalam dan luar negeri turut menjadi relawan dan sumbangan dari luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman lunak bagi pembangunan kembali segala sesuatu yang telah rusak akibat gempa tersebut mencapai US $ 4 milyar .
Banyak pula perusahaan berlomba-lomba memberikan bantuannya bagi korban bencana sebagai perwujudan rasa tanggung jawab sosialnya yang seakan-akan tidak bertindak rasional – terlepas dari anggapan bahwa hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan citra (brand image) perusahaannya ataupun kepentingan lainnya yang akan menguntungkan perusahaan tersebut – yang seharusnya konsisten dalam perilakunya sebagai produsen, yang berupaya memaksimalkan profitnya.
Semua perilaku manusia ini tampaknya semakin menunjukkan kenyataan berlakunya rasionalitas manusia berdasarkan present-aim standard of rationality , dimana manusia sebagai mahluk sosial mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik dan memiliki sifat altruistik.
Perilaku produsen yang tampak tidak rasional dari kaca mata self-interest standard yang banyak dianut oleh ekonomi konvensional ini nampaknya bukan hanya terjadi dalam perilaku produsen kekinian. Harga mobil baru lebih murah daripada mobil bekas, karena produsen mobil pada saat itu merasa cukup atau mungkin merasa malu dengan tingginya profit yang mereka raih, dan mereka merasa puas untuk tidak mengambil keuntungan dari kelebihan permintaan untuk mendapatkan profit yang lebih besar .
Fenomena yang terjadi dalam perekonomian tersebut terjadi karena adanya perbedaan interpretasi kebahagiaan yang ingin diraih oleh setiap manusia, yang kebetulan juga beraktivitas dalam kegiatan ekonomi. Perilaku manusia yang tampaknya berlawanan dengan perilaku homo economicus dari sudut pandang self-interest standard ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kebahagiaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kesejahteraan dirinya semata, tetapi juga dipengaruhi oleh pertimbangannya untuk kesejahteraan orang lain. Dia yakin bahwa jika orang lain bahagia, maka dia akan juga merasa bahagia. Contoh yang nyata adalah seorang ayah atau ibu yang rela mengorbankan kebahagiaannnya bagi kebahagiaan anaknya , karena kebahagiaan orang tua tersebut dipengaruhi oleh kebahagiaan si anak. Lebih jauh lagi hal seperti ini terjadi pada tataran yang lebih luas, yakni pada teman, kerabat, saudara sebangsa, bahkan sampai seluruh alam. Contoh teraktual adalah banyaknya masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi relawan untuk mempertahankan NKRI karena merasa rasa nasionalismenya terusik ketika terjadi kasus memperebutan blok Ambalat di perairan Sulawesi antara Indonesia dan Malaysia baru-baru ini.
2. Preferensi dapat berbeda dari kesejahteraan karena ketidaktahuan (ignorance) akan sesuatu dan penglihatan akan masa depan (foresight) yang tidak sempurna. Ketika seseorang mungkin menyukai x daripada y dengan keyakinan dia akan lebih baik (better off) apabila ia memilih x daripada y, hal ini mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi .
3. Seseorang mungkin memiliki preferensi yang irasional. Hal ini disebabkan pertama oleh kepatuhan seseorang terhadap sejumlah kebiasaan, budaya, nilai, ataupun prinsip yang diyakini dan dijalankannya. Penyebab kedua adalah ketakutan yang berlebihan dari bahaya atau rasa sakit dan godaan yang kuat dari suatu kesenangan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut serta adanya rasionalitas manusia menurut pandangan present-aim standard, amat beralasan terjadi perbedaan cara pandang seseorang dalam meraih kebahagiaannya dengan mempertimbangkan aspek spiritual dalam melakukan kegiatan ekonomi. Penggunaan aspek spiritual dalam kegiatan ekonomi yang tersentuh nilai-nilai etika, agama, dan moral ini direpresentasikan oleh ekonomi Islam atau ekonomi syariah.
Ekonomi syariah menghadirkan sudut pandang Islam dari situasi ekonomi yang dihadapi oleh manusia, yang akarnya berasal dari literatur ajaran suci Islam yang menghadirkan panduan yang luas bagi perilaku ekonomi manusia . Ekonomi syariah juga didefinisikan dengan adanya penerapan perintah-perintah (injunctions) dan tata cara (rules) yang diterapkan oleh syariah yang mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumberdaya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat .
Definisi lain dari ilmu ekonomi Islam adalah cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya yang langka yang sesuai dengan maqashid syariah , tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat .
Ekonomi syariah menolak pendekatan efisiensi berdasarkan Pareto Optimality, karena perilaku altruisme yang merupakan ciri dari perusahaan/ produsen Islam tidak relevan dengan kriteria Pareto . Efisiensi yang optimal dari alokasi sumber daya tercapai jika kuantitas dari barang dan jasa yang diperlukan (need-satisfying) dapat diproduksi dengan tingkat yang layak bagi stabilitas ekonomi dan kesinambungan tingkat pertumbuhan . Distribusi pendapatan merupakan bagian penting bagi pemerataan kesejahteraan bagi tiap individu dalam perekonomian. Zakat , pendermaan harta (seperti sedekah dan infak ), dan pengeluaran pemerintah merupakan instrumen penting untuk menjamin pemerataan tersebut .
Perilaku produsen yang altruistik serta dijunjung tingginya upaya pemerataan distribusi kesejahteraan dan pendapatan dalam perekonomian Islam tidak relevan dengan kriteria Pareto dimana tujuan dari produsen dalam perekonomian islam adalah bukan semata-mata maksimalisasi profit di dunia. Sehingga perusahaan akan merasa puas untuk mendapatkan suatu tingkat profit yang ‘pantas’ atau ‘wajar’ yang memungkinkannya untuk mencapai tujuan yang lebih penting yakni ibadah kepada Tuhan . Berdasarkan contoh perilaku manusia yang suka menolong orang lain dengan dasar kemanusiaan seperti contoh kasus yang telah di sebutkan ternyata lebih dekat kepada perilaku individu atau produsen dalam perekonomian Islam.
Dilatarbelakangi oleh berbagai fenomena dan kondisi tersebut, penulis mencoba meninjau dan membandingkan teori perilaku produsen dari kedua siatem ekonomi, yakni sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah. Untuk itu penulis memilih judul :
“ TINJAUAN TERHADAP TEORI PERILAKU PRODUSEN : PERBANDINGAN ANTARA EKONOMI KONVENSIONAL DAN
EKONOMI SYARIAH “
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan yang ada sebagai berikut :
1. Bagaimanakah membentuk model matematis perilaku produsen yang sesuai dengan norma-norma Islam ?
2. Bagaimanakah perbedaan perilaku produsen dalam pencapaian profit ditinjau dari sistem ekonomi kwonvensional dan sistem ekonomi yang sesuai dengan norma-norma Islam ?
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar