BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja,
teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang
diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai
macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya
positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan
pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi
belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan
proses belajar.
Proses belajar yang
terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal
lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut
Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi
mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat
mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan
perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh
perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi
pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian
dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk
mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut
sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut
Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana
dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa
dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan
menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang
tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki
Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi
merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada
gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam
buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan
dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai
tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan
siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi
memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun
kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang
relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang
mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya
menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan
lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri,
mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood),
berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar
siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan
baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang
disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi.
Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di
sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational
intelligence yaitu model pemahaman
yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian
di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan
penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa
penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang
baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun
kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat
mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa
mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan
mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal
yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan
bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada
banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang
dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan
prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah
kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap
sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan
judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ
merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian
telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ
(Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 :
512), kecerdasan emosional
adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to
manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus
pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka
cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel,
cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan
kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf
kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber
masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun
taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang
yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada
orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami
stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ
rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU Lab School Jakarta
Timur, yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai
ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah
satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan
skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan
Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar