BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gula pasir (Plantation White Sugar) di Indonesia diperlakukan sebagai bahan pangan dan termasuk sebagai
salah satu dari 9 bahan pokok. Sebagai bahan pangan, maka terikat upaya-upaya
pemenuhan dan penyediaan dalam rangka ketahanan pangan. Ketahanan pangan
minimal mempunyai tiga peran strategis dalam pembangunan nasional, yaitu : (1)
Akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi
manusia, (2) Pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya
manusia yang berkualitas, (3) Ketahanan Pangan merupakan salah satu pilar utama
dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu,
aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga terjangkau, diutamakan dari
dalam negeri (Yudhoyono, SB., 2006).
Kebutuhan gula domestik saat ini
diperkirakan mencapai 3,5 juta ton, sedangkan produksi gula pasir di Indonesia yang dihasilkan oleh 58 pabrik gula hanya mencapai
2,0 juta ton, sehingga terdapat defisit 1,5 juta ton atau setara 42% yang harus
dipenuhi dari impor (Anonymous, 2005).
Industri
gula di Indonesia, sejak krisis gula dunia pada awal tahun tujuh puluhan telah
menghadapi persoalan yang berat, utamanya bersumber pada produktivitas yang rendah, permasalahan
pengembangan areal, rendahnya tingkat pendapatan petani dan permasalahan di
bidang harga pokok gula Indonesia yang jauh lebih tinggi daripada harga gula
luar negeri. Berbagai kebijakan di bidang pergulaan telah diterapkan
pemerintah untuk mengatasi hal tersebut.
Kebijakan tersebut antara lain penetapan Inpres No. 9 Tahun 1975 untuk mendukung penyediaan bahan baku tebu
melalui pola kemitraan dengan petani, melakukan rehabilitasi PG-PG di Jawa dan
pendirian pabrik gula di luar jawa, serta menerapkan regulasi tataniaga dan
harga provenue. Kebijakan tersebut pada awalnya mampu meningkatkan produksi
gula nasional. Dengan adanya arus globalisasi, kebijakan tersebut mulai tidak
efektif dan menghendaki perubahan orientasi dari pendekatan produksi ke
pendekatan efisiensi dan daya saing (Anonymous, 2005). Menurut Samiyanto
(1999), penurunan kinerja industri gula berkaitan erat dengan faktor internal
dan eksternal industri gula. Faktor internal menyangkut isu-isu produktivitas
lahan, kapasitas dan efisiensi pabrik, manajemen dan sumber daya manusia,
sehingga berdampak pada rendahnya daya saing gula produksi dalam negeri. Faktor
eksternal berkaitan dengan pengaruh globalisasi, kebijakan ekonomi, dan
perubahan sosial masyarakat dan atau petani.
Menurut
Bank Dunia (1999) dalam Gumbira-Said, Rachmayanti dan Muttaqin, Zahrul
(2001) menyatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2000
diperkirakan hanya sebesar 3%, jauh di bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia
yang dapat mencapai sebesar 6,2%. Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang kecil
tersebut, Indonesia harus lebih meningkatkan daya saingnya di dunia
internasional, khususnya daya saing produk-produk yang dihasilkan dari sektor
agribisnis.
Menurut
Suwandi (2003), agribisnis pergulaan menghadapi masalah makin serius. Kenyataan
menunjukkan bahwa, selama ini produksi gula terkonsentrasi di daerah tertentu,
terutama Jawa dan Lampung. Produksi gula pun bersifat musiman, yakni hanya
berlangsung selama 5-6 bulan masa giling. Kalangan fabrikan juga tidak memiliki
pengalaman dan jaringan distribusi (distribution chanel) gula ke seluruh
daerah di tanah air, karena hanya berkonsentrasi pada produksi, sedangkan
pemasaran diserahkan kepada para pedagang besar.
Secara struktural industri gula di Indonesia menghadapi
dua permasalahan utama. Secara eksternal, pasar gula dunia sangat distorsif.
Fenomena ini antara lain ditandai dengan diterapkannya bea masuk sangat tinggi
dan diberlakukannya harga eceran yang harus dibayar konsumen jauh lebih mahal
dibanding harga ekspor di sejumlah negara penghasil gula utama dunia.
Negara–negara ini juga dikenal sangat royal dalam memberikan insentif untuk
para petaninya. Disamping itu suku bunga perbankan untuk para petani kurang
dari 3%, negara–negara ini juga diketahui memberikan subsidi dalam bentuk
kemudahan bagi petani untuk memperoleh sarana produksi (agro–inputs).
Ketika diketahui terjadi kegagalan panen baik sebagai akibat perubahan iklim
yang sangat ekstrim maupun eksplosi hama, negara tidak segan–segannya
memberikan stimulus untuk para petani. Stimulus juga diberikan ketika harga
jual produk petani tidak menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya
produksi (Suwandi, 2003).
Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan domestik
disebabkan karena banyaknya kebijakan makro ekonomi yang bersifat disinsentif
terhadap pengembangan industri gula nasional. Salah satu contohnya adalah
ketersediaan modal kerja berupa kredit program untuk para petani yang jumlahnya
jauh dari cukup. Dalam 4 tahun terakhir, jumlah kredit program hanya mencapai
30% dari total kebutuhan. Itupun pengucurannya selalu terlambat, sehingga tidak
banyak bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas. Masuknya gula secara ilegal
dan lemahnya penegakan hukum (law
enforcerment) membuat harga jual gula lokal semakin sulit diprediksi dan
terjungkal (Suwandi, 2003).
Menurut Garnida (2000) menyatakan bahwa, adanya
penurunan produksi karena kurangnya rangsangan kepada petani, baik berupa modal
maupun pembinaan, serta masih rendahnya tingkat harga di pasaran. Hal ini sesuai pendapat Anonymous (2005),
yang menyatakan bahwa, secara internal, telah terjadi penurunan produktivitas
secara significan, dari lebih 97,9 kuintal
gula per hektar sebelum tahun 1975 menjadi 49,7 kuintal gula per hektar
pada tahun 2000. Penyebab klasik yang selalu dituding adalah manajemen bahan
baku yang tidak lagi ditangani PG. Sejak dicanangkannya program tebu rakyat,
produktivitas memang menurun, meskipun kesalahan tidak dapat dibebankan begitu
saja kepada para petani pengelola usaha tani. Sebagai makhluk rasional, petani
menggunakan logika dalam berusaha tani tebu. Ditengah ketatnya persaingan
komoditas agribisnis, petani cenderung memaksimalkan profit dibanding
produktivitas.
Tidak mengherankan kalau ditengah mahalnya harga bibit dan
kenaikan biaya produktivitas yang tak terimbangi harga jual, petani melakukan
keprasan berulang kali. Keprasan berulang kali
menjadi sarang potensial bagi penyakit pembuluh (ratoon stunting
disease). Logis kalau rendemen sebagai manifestasi akumulasi hasil
fotosintesis di daun yang distimulasi khlorofil jauh dari potensi sebenarnya.
Penurunan produktivitas juga disebabkan
adanya pergeseran areal tebu ke lahan tegalan, penerapan baku mutu
budidaya yang kurang baik, serta lemahnya kelembagaan petani tebu. Masalah
tersebut diperparah dengan ketidakpastian besarnya profit, sehingga memicu
penurunan areal lahan pengusahaan tebu oleh petani, yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan produksi. Hal-hal tersebut, akhirnya mengakibatkan posisi
Indonesia sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Cuba pada tahun
1930-an menjadi net importer dan bahkan pada tahun 1999 sebagai importer
terbesar kedua setelah Rusia (Rohman dkk., 2006).
Menurut Mirzawan, Lamadji dan Sugiyarta (1999)
menyatakan bahwa industri gula telah mengalami penurunan produktivitas yang
tajam, sehingga sulit untuk dapat bersaing di pasar global. Berbagai sektor
kegiatan mempengaruhi produksi gula mulai dari faktor ketepatan, kebenaran, kemurnian
varietas dan ketersediaan serta kesehatan bibit, faktor budidaya dan tebang
angkut sampai faktor pabrik berpotensi menurunkan produktivitas. Hal ini
disebabkan oleh berbagai permasalahan ketidakefisienan yang bermuara pada
masalah mutu tebu, operasional maupun peralatan. Akibatnya kebanyakan pabrik
gula tidak dapat mencapai tingkat efisiensi standar. Salah satu upayanya adalah
dengan mengaplikasi teknologi yang siap pakai.
Implikasi di balik berkurangnya areal dan produktivitas
adalah, hampir semua PG di Jawa beroperasi di bawah kapasitas terpasang,
sehingga efisiensinya menjadi lebih
rendah. Kondisi ini diperparah dengan harga jual gula yang tidak berpihak
kepada petani. Konsekuensi logisnya, PG
semakin sulit memastikan jumlah tebu rakyat yang dapat memenuhi jumlah bahan
baku ideal, sementara peningkatan produktivitas terbentur pada persoalan
kelangkaan dana. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kalangan fabrikan
memandang penting diambilnya langkah-langkah strategis guna mencegah situasi
yang makin mengarah pada keruntuhan industri gula nasional (Wientoyo, 2003).
Sebagai aset nasional dan industri yang secara langsung
terkait pemanfaatan sumber daya lokal berdasarkan kaidah keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dengan multiplier-effects yang sangat luas, industri gula dapat
menjadi pilar penting pemberdayaan ekonomi rakyat. Situasi dan hal-hal tersebut
di atas, mendorong dicanangkannya Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional 2002 – 2007.
Menurut Husodo, SY.(2003) dan Mubardjo (2006),
menyatakan bahwa, dalam upaya meningkatkan produktivitas gula diperlukan
langkah yang dilaksanakan pemerintah, diantaranya : (1) Menyediakan bibit tebu
bermutu unggul dan memiliki rendemen tinggi dengan harga terjangkau, (2)
Mempercepat bantuan petani untuk pembongkaran kebun, membangun prasarana
irigasi mikro, (3) Revitalisasi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (4)
Dukungan permodalan pembangunan pabrik gula baru atau rehabilitasi PG dan
perlindungan terhadap produsen gula.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, bahwa Program
Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) bongkar ratoon, (2) penguatan
kelembagaan, dan (3) rehabilitasi pabrik gula.
Program ini dimulai tahun 2003, dimaksudkan untuk mempercepat
peningkatan produktivitas gula nasional dan menuju swasembada gula, dalam
bentuk kegiatan utama bongkar ratoon dan pembangunan kebun bibit, serta
kegiatan penunjang berupa peningkatan pemberdayaan petani koperasi tebu.
Sasaran Program Akselerasi adalah, produksi gula
ditargetkan meningkat rata-rata 9,6% per tahun sehingga pada tahun 2007
Indonesia bisa menghasilkan 3,0 juta ton gula (Tabel 1). Dari target produksi sebanyak itu, hampir 60%
diantaranya dihasilkan oleh PG-PG di Jawa dan sisanya oleh PG-PG di luar
Jawa. Luas areal tebu pada tahun 2007
diproyeksikan mencapai 386 ribu ha, dengan total tebu giling sebanyak 34 juta
ton (Anonymous, 2005).
Implementasi Program Akselerasi Peningkatan
Produktivitas Gula Nasional, dilaksanakan melalui Proyek Pengembangan
Tebu di Pulau Jawa, khususnya untuk Jawa Timur dengan nama Proyek Pengembangan Tebu Jawa Timur.
Program ini dilakukan sebagai langkah strategis dalam upaya peningkatan
produktivitas, produksi dan mutu tebu untuk memenuhi kapasitas giling terpasang
pabrik gula agar dapat beroperasi secara efisien dan menghasilkan gula dengan
beaya produksi yang kompetitif dan
sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri makanan-minuman dalam
negeri. Tujuan
yang hendak dicapai adalah dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas
tebu serta pendapatan petani (Anonymous, 2005).
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar