BAB. I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Serangan hama penyakit tanaman sudah dan tetap akan menjadi faktor
pembatas yang sangat menentukan keberhasilan program peningkatan produksi
pertanian, yang dilakukan melalui program intensifikasi yang bertumpu pada
penggunaan bibit unggul dan bahan kimia pertanian, seperti pupuk buatan dan
pestisida sintetik. Kerugian yang dialami oleh para petani dan pemerintah
akibat serangan dan letusan hama, penyakit sangat besar, demikian juga biaya yang sudah
dikeluarkan untuk mengendalikan hama. Semakin intensif kegiatan produksi
pertanian, ternyata serangan dan populasi hama menjadi semakin meningkat.
Usaha pengendalian yang hanya bertumpu pada satu teknik
pengendalian, seperti penggunaan pestisida terbukti mampu mengendalikan hama, akan
tetapi juga semakin menyuburkan peningkatan populasi hama karena timbulnya
fenomena resistensi hama terhadap pestisida, dan timbulnya jenis-jenis hama
baru atau hama kedua. Peningkatan populasi hama terjadi setelah penggunaan
pestisida berlebihan. Keadaan ini terjadi antara lain disebabkan karena
pestisida lebih banyak membunuh organisme-oganisme bermanfaat, seperti musuh
alami hama (predator, parasitoid, dan patogen hama) daripada membunuh hama itu
sendiri.
Apabila kondisi demikian terjadi maka petani akan mengalami
kerugian yang besar serta bertambah miskin, karena hama terus meningkat,
tanaman gagal panen, dan petani harus banyak mengeluarkan biaya untuk pembelian
pestisida, yang harganya mahal. Pengendalian hama tanaman yang hanya mementingkan
penggunaan pestisida pasti gagal dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali
kerugian dan penurunan hasil.
Kasus-kasus kegagalan pendekatan pengendalian hama secara sepihak
tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, karena yang terjadi adalah fenomena ekologi yang
berkaitan dengan dinamika pengelolaan ekosistem pertanian. Usaha pengendalian
hama tanpa melihat kaitannya dengan struktur dan dinamika ekosistem yang rumit
tidak akan menghasilkan manfaat yang diharapkan yang meliputi antara lain
jumlah dan kualitas produksi tinggi, kesejahteraan petani meningkat, resiko
bahaya bagi kesehatan manusia, dan lingkungan hidup minimal. Usaha pengendalian
hama yang dilakukan dengan mengandalkan pada satu teknik pengendalian dan
dengan melakukan pendekatan egosektor dan egodisiplin tidak akan berjalan
efektif dan efisien.
Untuk mencapai hasil pengendalian yang optimal, efektif dan
efisien yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi, ekologi, sosial dan
budaya telah dikembangkan konsep atau paradigma pengendalian hama yang baru yang dikenal dengan
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)/Integrated Pest
Managament (IPM).
Dengan sistem PHT pengendalian hama dilakukan dengan memadukan dan memanfaatkan semua teknik
pengendalian hama yang dikenalatas dasar pengetahuan komprehensif tentang dinamika
ekosistem pertanian, serta dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi,
ekologi, sosial dan budaya setempat. Dalam sistem PHT pestisida sintetik hanya
digunakan bila dari kegiatan pemantauan hama diketahui bahwa tingkat populasi hama di lapangan hama masih berada di bawah aras toleransi,
perlakuan yang disebut Ambang Ekonomi. Selama populasi hama masih berada di
bawah aras toleransi, perlakuan pestisida tidak diperlakukan.
Teknologi pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian
serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan satu atau lebih
dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan oleh satu kesatuan
masyarakat untuk mencegah kerugian ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Tujuan
pemasyarakatan teknologi pengendalian hama terpadu adalah :
a.
Memantapkan
produktivitas baik kualitas maupun kuantitas.
b.
Mengurangi
penggunaan pestisida berspektrum luas dan persisten sehingga dapat mengurangi
resiko keracunan pestisida baik bagi petani maupun konsumen serta
mempertahankan keragaman dan keseimbangan ekosistem.
c.
Meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat
pertanian, terutama para petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian.
Agar petani dapat mengembangkan kreativitas, dinamika, kepemimpinan dan
kemampuan mengambil keputusan yang rasional.
d.
Meningkatkan dukungan terhadap upaya petani
dalam menguasai, melembagakan dan menyebarluaskan penerapan pengendalian hama
terpadu kepada masyarakat luas.
e.
Meningkatkan kesejahteraan petani dan
keluarganya serta kualitas hidup masyarakat luas.
Bawang
merah merupakan komoditas unggulan bagi Kabupaten Nganjuk. Luas tanaman bawang
merah setiap musimnya + 6000 ha. Yang tersebar di 5 wilayah Kecamatan
meliputi : Kecamatan Gondang, Kecamatan Rejoso, Kecamatan Bagor, Kecamatan
Sukomoro dan Kecamatan Wilangan.
Kendala utama yang sering dihadapi oleh
masyarakat petani bawang merah adalah serangan ulat grayak (Spodoptera
exigua) dan pengorok daun/gerandong (Liriomyza huidobrensis).
Untuk mengendalikan hama tersebut petani biasa menggunakan berbagai insektisida
yang beredar di pasaran serta secara mekanis dengan mengambil ulat dan memetik daunnya atau juga disebut dengan
cara petan.
Salah satu teknologi pengendalian hama
terpadu tepat guna unik yang dilakukan
petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk adalah dengan memasang lampu
perangkap. Penggunaan lampu perangkap diperkenalkan pertamakali oleh beberapa
anggota Forum Peduli Lingkungan Kabupaten Nganjuk pada tahun 2003 dan akhirnya
pada tahun 2004 bisa diadopsi oleh sebagian besar masyarakat petani bawang
merah di Kabupaten Nganjuk.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar