BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gula pasir merupakan salah satu komoditas pangan strategis yang berfungsi sebagai pemanis dan sumber kalori. Gula pasir memberikan kontribusi lebih dari 90% terhadap total pemanis di Indonesia. Produksi gula pasir di Indonesia saat ini sekitar 2,0 juta ton yang dihasilkan oleh 58 Pabrik Gula (PG). Sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 3,5 juta ton sehingga masih terjadi defisit 1,5 juta ton atau sekitar 42 % yang dicukupi melalui impor.
Dari sejarah perkembangannya, industri gula pasir di tanah air mengalami fluktuasi. Pada zaman penjajahan Belanda gula pasir pernah menjadi primadona sebagai komoditas ekspor utama. Gula pasir dari Jawa masuk ke pasaran Eropa. Pada waktu itu tebu sebagai penghasil gula ditanam pada tanah – tanah subur dengan pengairan teknis. Biaya Input produksi relatif murah karena lahan disewa sangat murah dan buruh yang bekerja di perkebunan tebu diperkerjakan secara paksa dengan upah rendah.
Sejak krisis gula pada awal tahun tujuh puluhan, industri gula Indonesia menghadapi persoalan berat. Indonesia berubah posisi dari negara eksportir menjadi importir gula, dengan volume gula impor yang terus meningkat. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai kebijakan di bidang gula diterapkan. Pemerintah menetapkan Inpres no. 9 tahun 1975 untuk membantu dukungan penyediaan bahan baku tebu, melakukan rehabilitasi PG-PG di Jawa serta pendirian beberapa PG di luar Jawa, serta menerapkan regulasi tata niaga gula dengan harga provenue. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan produksi gula. Namun seiring dengan perubahan arus global yang menghendaki perubahan orientasi kebijakan gula dari pendekatan produksi ke pendekatan efisiensi dan daya saing, maka kebijakan yang telah diterapkan diatas mulai diperdebatkan dan tampaknya mulai tidak efektif. Pada kurun 1986 – 1992 produksi gula hanya berfluktuasi pada kisaran 1,9 – 2,3 juta ton, sementara impor gula terus meningkat guna memenuhi kebutuhan domestik.
Sejak 1993 produksi gula terus merosot hingga mencapai puncaknya pada tahun 1999. Saat itu produksi gula hanya 1,49 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri mencapai 3,28 juta ton. Tahun – tahun berikutnya produksi meningkat, namun tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan gula domestik. Pada tahun 2004 produksi mencapai hampir 2,1 juta ton namun konsumsi mencapai 3,6 juta ton, sehingga masih terjadi defisit 1,5 juta ton. Seiring dengan pertambahan penduduk, pada tahun – tahun mendatang kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula akan semakin melebar.
Produksi Gula Nasional yang rendah terutama disebabkan oleh rendahnya produktivitas gula. Sejak pertengahan tahun 70-an, rata – rata produktifitas gula Indonesia cenderung terus berkurang dengan laju 2,1% per tahun. Sebagai gambaran, pada tahun 1975 rata – rata produktivitas gula mencapai 97,6 ku/ha, sementara pada tahun 2000 hanya 49,7 ku/ha atau turun hampir separuhnya. Penurunan produktivitas gula terkait dengan berbagai perubahan kebijakan di bidang gula, in-efisiensi sektor on-farm dan off-farm, pergeseran areal tebu ke lahan tegalan, peningkatan proporsi tebu keprasan terhadap tanaman tebu pertama (PC), penerapan baku mutu budidaya yang kurang baik, serta lemahnya kelembagaan petani tebu.
Pada saat ini banyak Negara sedang berjuang untuk mempertahankan eksistensi industri gulanya melalui 2 (dua) instrument, yaitu :
(1) Instrument politik, yaitu menuntut perlindungan Pemerintah dari persaingan yang tidak sehat dengan industri gula Negara lain melalui forum perundingan multilateral
(1) Instrument politik, yaitu menuntut perlindungan Pemerintah dari persaingan yang tidak sehat dengan industri gula Negara lain melalui forum perundingan multilateral
(2) Instrument tehnologi, yaitu mengembangkan tehnologi dalam industri gula domestik untuk meningkatkan efisiensi industri gula sehingga mampu bersaing dengan industri gula Negara lain (Anonim, 2005).
Perkembangan tehnologi tidak hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas tebu dan gula (Single product industry) saja tetapi juga mengarah pada industri gula yang berbasis tebu dengan diversifikasi product (Andung N, 2005). Dimasa depan akan terjadi pergeseran – pergeseran peran dalam pelaku utama pasar gula dunia, dengan makin kuatnya eliminasi terhadap kebijakan gula di banyak negara yang menimbulkan distorsi pasar gula dunia dimasa depan akan berkembang kearah yang makin kompetitif. Dikawasan negara Asia – Afrika industri gula akan mengalami perbaikan daya saingnya sehingga impor gula di negara – negara ini cenderung akan mengalami penurunan, hal ini disebabkan masing – masing negara akan meningkatkan produksi gula dalam negeri.
Industri gula di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat terutama diakibatkan karena :
(1). Persaingan lahan tebu dengan komoditas pertanian lainnya (padi dan palawija)
(2). Persaingan antar Pabrik Gula
(3). Persaingan peruntukan lahan yang disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan tata ruang kota (Master Plan Pengembangan Perkebunan Tebu dan Industri Berbasis Tebu di Jawa Timur, 2004).
Areal tebu di Indonesia masih dapat dikembangkan dengan mengarah kepada pemanfaatan areal potensial, disamping itu juga kapasitas Total Cane Daily (TCD) Pabrik Gula dapat dioptimalkan.
Pada saat ini kapasitas PG. di Indonesia sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (< 3.000 TCD) dan umur mesin yang lebih dari 75 tahun sehingga menyebabkan biaya produksi per kilogram gula tinggi (Kaman N, 2005). Disamping itu industri gula di Indonesia harus di kembangkan dan didorong untuk melakukan diversifikasi produk sehingga tidak hanya bertumpu pada produk tunggal (single product industry) yaitu berupa gula tetapi juga strategi kearah pengembangan industri yang berbasis perkebunan (KIMBUN) (Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional Proyek Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun, 2002). Industri gula di Indonesia dapat menjadi inti pengembangan industri berbasis tebu, dan masyarakat sekitar yang ikut terlibat dalam pengembangan industri gula berbasis tebu.
Luas areal Jawa Timur berdasarkan batas wilayah administrasinya sekitar 42.426 Kilometer persegi dan sekitar 2,8 juta hektar peruntukan lahannya untuk pertanian dan perkebunan (BPS, 2002). Dari luas lahan pertanian tersebut sekitar, 140.000-150.000 hektar dimanfaatkan untuk lahan perkebunan tebu yang terdiri dari lahan tegalan dan lahan sawah.
Jawa Timur masih menjadi sentra Produksi Gula Nasional dengan memberikan kontribusi sekitar 43-46 % dari total produksi gula Nasional, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan catatan sejarah pergulaan di Indonesia terdapat tiga periode kebijakan pengelolaan tebu yang berpengaruh cukup besar terhadap kelangsungan industri gula yaitu :
(1). Periode pengelolaan tebu sistem sewa (sebelum tahun 1975)
(2). Periode Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI, 1975-1997)
(3). Periode Pasca Pencabutan Program TRI atau Program Pengembangan Tebu Rakyat (Program Kemitraan).
Untuk mengatasi masalah produktivitas dan produksi gula yang relatif rendah serta memperhatikan posisi industri gula yang strategis, Pemerintah dan stakeholders pergulaan mengupayakan suatu gerakan untuk membangkitkan kejayaan industri gula dan swasembada gula, maka pada periode 2003-2007 dilaksanakan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional.
Landasan Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula adalah seiring dengan pertambahan penduduk pada tahun mendatang kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula akan semakin melebar, agar supaya dapat mencukupi kebutuhan domestik produksi gula harus dipacu meningkat dengan laju yang lebih tinggi lagi dibanding dengan tingkat konsumsi (Master Plan Pengembangan Perkebunan Tebu dan Industri Berbasis tebu di Jawa Timur, 2004).
Untuk mengetahui konsumsi gula masyarakat Jawa Timur dan produksi gula yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sasaran produksi gula di Jawa Timur dengan adanya Program Akselerasi ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pencapaian Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula diimplementasikan 3 aspek kegiatan yaitu : On-Farm, Off-Farm, dan Kelembagaan.
Kegiatan On-Farm pada program Akselerasi dititik beratkan pada kegiatan BONGKAR RATOON dengan penggantian Varietas Unggul Baru lokal, rasionalisasi pemupukan, pengairan sederhana sedangkan aspek Off-farm terkait dengan performance Pabrik Gula / revitalisasi Pabrik Gula meliputi :
(1). Restrukturisasi dengan inovasi dan motivasi
(2). Rasionalisasi dengan menurunkan biaya produksi
(3). Re-engineering melalui efisiensi Pabrik Gula
Produktivitas gula mengalami penurunan yang sangat tajam pada kurun waktu terakhir disebabkan antara lain :
1. Tanaman tebu di kepras berulang-ulang lebih dari tujuh kali, dan besarnya mencapai 70% dari luas keseluruhan
2. Perbandingan antara tanaman tebu pertama atau Plant Cane dengan keprasan/Ratoon jauh lebih rendah sebesar 70% dengan 30%
3. Penggunaan varietas lama masih banyak dan telah mengalami degenerasi potensi akibat akumulasi penyakit
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar