Sejak
berakhirnya Orde Baru, Indonesia
memasuki era baru yang ditandai dengan reformasi di berbagai bidang, yang
tujuannya adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat seutuhnya melalui proses
demokrasi. Demikian halnya dengan sistem pemilu yang berubah setiap tahun
dengan tujuan untuk membangun sistem demokrasi untuk menuju ke arah yang lebih
baik. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu secara jelas dapat
kita lihat dalam Undang-Undang Pemilu yang mengalami amandemen dari tahun ke
tahun.
Indonesia tercatat mengalami perubahan sistem
kepartaian sebanyak tiga kali, dimulai pada era Pemerintahan Soekarno yang
menggunakan sistem multi partai, kemudian Orde Baru di bawah pemerintahan
Soeharto menerapkan sistem dua partai di tambah dengan satu partai dominan
(Partai Golkar), dan pada era reformasi hingga sekarang kembali menerapkan
sistem multipartai.
Pemilu yang merupakan ujung
tombak demokrasi membutuhkan institusi yang menjadi pelaku pemilu. Institusi
yang formal sebagai peserta pemilu adalah partai politik sebagai suatu pilar
demokrasi merupakan tempat penyaluran aspirasi rakyat dan elit-elit partai politik
sebagai representasi wakil rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat di lembaga
legislatif. Hasil pemilu tahun 1955 untuk Dewan Perwakilan
Rakyat ada 28 partai politik dan untuk anggota konstituante ada 34 partai,
pemilu 1971 ada 10 partai, pemilu 1977-1997 ada 3 partai, dan pada pemilu 1999
ada 48 partai, pemilu 2004 ada 24 parpol dan pemilu yang terakhir pada tahun
2009 ini 38 partai politik tambah 4 partai lokal di NAD ikut serta dalam pesta
demokrasi di Indonesia (Kpu.go.id).
Partai politik merupakan salah satu institusi inti
pelaksana demokrasi modern dimana mengandaikan sebuah sistem keterwakilan, baik
itu keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti Parlemen/Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam
institusi kepartaian.[1] Perwakilan/representation adalah konsep bahwa seseorang atau sesuatu
kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas
nama rakyat atau suatu kelompok yang lebih besar sehingga anggota DPR/DPRD pada
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik.
Isu penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu
adalah bagaimana menghasilkan calon anggota legislatif berkualitas yang berasal
dari kader-kader partai politik dengan tingkat keterwakilan rakyat yang tinggi,
itulah esensi pemilu sekaligus alasan mengapa kualitas pemilu perlu terus
diperjuangkan. Pemilu dikatakan berkualitas, salah satunya ditandai dengan
tercerminkannya keterwakilan masyarakat di dalam lembaga legislatif yang
benar-benar mengerti kondisi rakyatnya namun semua itu dapat terealisasikan
dengan sistem pemilu yang digunakan dalam pelaksanaannya.
Prinsip keterwakilan masyarakat dalam pemilu
dipengaruhi oleh sistem pemilihan yang digunakan. Sistem pemilihan bisa
diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara masyarakat untuk memilih
wakil rakyat.
Arend Lijphart
(1995) berpendapat, sistem pemilihan merupakan
sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan karena membawa
konsekuensi sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilu.
Pemilu Legislatif Tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-Undang
tersebut menentukan dua cara penetapan calon legislatif terpilih, yaitu: Berdasarkan angka Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP) dimana calon yang memperoleh suara melebihi atau sama
dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon terpilih, dan berdasarkan
nomor urut dari daftar calon yang diajukan parpol peserta pemilu di daerah
pemilihan masing-masing.[2] Berdasarkan Undang-Undang tersebut, mekanisme penetapan calon terpilih
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana tertulis dalam
Pasal 107 ayat 2b menyatakan bahwa penetapan nama calon yang tidak mencapai
angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada
daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa calon
dengan nomor urut kecil lebih memiliki peluang untuk duduk dalam lembaga
legislatif dibanding calon dengan nomor urut besar, meskipun calon dengan nomor
urut kecil mendapatkan suara yang lebih sedikit dari pada calon dengan nomor
urut besar.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tertanggal 23
Desember 2008 mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilu, salah satunya adalah Pasal 214 ayat 2b, sehingga
penetapan caleg terpilih untuk pemilu Tahun 2009, apabila jumlah suara yang
diperoleh tidak mencapai angka BPP akan ditentukan dengan sistem suara
terbanyak. Lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai sistem perolehan
suara terbanyak berawal dari gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c,
d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu
2009 oleh caleg Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP). Pertimbangan dari putusan ini di antaranya, ketentuan pasal 214 huruf
a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif
terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan
pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai
bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur
dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.[3]
Pemilu Tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perubahan sistem pemilu dari
sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak merupakan suatu babakan baru
dalam proses demokrasi. Sistem nomor urut dianggap kurang demokratis karena
calon terpilih ditentukan oleh nomor urut. Nomor urut lebih memungkinkan calon
terpilih dibandingkan suara dari pemilih.
Sistem suara terbanyak sebagai
aturan main dalam pemilu 2009 sebagai pengganti sistem nomor urut tentunya
memiliki kelebihan dan kelemahan dimana sebuah sistem tidak memiliki sisi
sempurna atau dengan kata lain selalu mendapat celah dari elemen yang
menjalankannya secara tidak sehat. Kelebihan sistem suara terbanyak, elit yang
terpilih merupakan representasi nyata dari pilihan rakyat karena tidak
memandang nomor urut lagi, terciptanya iklim yang lebih demokratis dalam
internal partai mengingat pada sistem nomor urut peranan petinggi partai sangat
dominan dalam proses penyusunan daftar caleg dan peluang keterwakilan perempuan
sangat terbuka walaupun hanya dalam tahap pencalonan. Disamping itu sistem suara
terbanyak juga memiliki kelemahan diantaranya sangat membuka peluang terjadinya
politik uang dengan kondisi banyaknya calon untuk mendapatkan dukungan
konstituen, dan sikap individualitas dalam internal partai antara caleg akan
meningkat seiring untuk mendapatkan suara terbanyak persaingan akan lebih kuat
antara internal partai dibandingkan elit dengan partai lain.
Perubahan sistem nomor urut
menjadi sistem suara terbanyak melahirkan optimisme para calon yang maju dalam
pemilihan. Nomor urut bukan lagi menjadi patokan terpilihnya seorang calon.
Calon yang tampil akan lebih semangat dalam melakukan kampanye karena memiliki
kesempatan yang sama untuk terpilih. Sistem suara terbanyak merupakan sistem
yang membawa sisi demokratis dalam internal partai, dalam hal ini pada
elit-elit partai yang bersaing dalam pemilu.
Pada pemilu caleg tahun 2009
di Kabupaten Bone diramaikan oleh figur- figur baru dalam partai politik
khususnya pada Partai Golkar dan PDIP. Figur baru bisa juga dikatakan sebagai
kader instan partai dalam pemilu untuk menjadi calon, berbeda dengan pengurus
partai atau elit lama dan ada juga yang sudah menjabat sebagai anggota
legislatif dan mencalonkan untuk terpilih kembali.
Sistem suara terbanyak
diterapkan oleh MK setelah penyusunan daftar calon tetap partai politik
khusunya partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone sebelum pemilu dilaksanakan.
Namun kenyataannya, banyak figur-figur baru yang tampil dalam list daftar calon
tetap anggota legislatif kedua partai tersebut. Dengan adanya sistem suara terbanyak
figur-figur baru yang tampil bersikap ortimis dengan tidak memandang nomor urut
untuk terpilih, begitupun juga dengan elit lama partai akan berjuang untuk
memperoleh dukungan.
Hadirnya figur-figur baru
dalam partai Golkar dan PDIP dalam pencalonan pada pemilu caleg 2009 akan
mengakibatkan polarisasi dengan elit lama/pengurus partai karena dengan sistem
suara terbanyak melahirkan optimisme masing-masing calon untuk bekerja lebih
keras untuk mendapatkan suara. Persaingan elit internal partai lebih kuat
dibandingkan dengan elit lintas partai politik. Disatu sisi elit lama yang
mengandalkan nomor urut sebelumnya merasa harus berjuang lebih untuk terpilih
karena sistem nomor urut telah tergantikan oleh sistem suara terbanyak dan
disisi lain figur-figur baru dengan rasa percaya diri mengandalkan popularitas
untuk terpilih dengan adanya sistem suara terbanyak.
Penulis tertarik untuk meneliti mengenai dampak
penerapan sistem suara terbanyak terhadap polarisasi elit khusunya pada Partai
Golkar dan PDIP di Kabupaten Bone. Alasan penulis memilih kedua partai politik
tersebut, pertama Partai Golkar merupakan partai politik relatif mendominasi elit-elitnya
yang lolos dalam setiap pemilihan umum di Kabupaten Bone dan khususnya Partai
Golkar yang telah lama eksis di Kabupaten Bone hingga berakar pada masyarakat
serta eksistensinya dengan elit-elit politik yang mapan. Golkar Kabupaten Bone
partai yang sangat diminati oleh elit-elit politik setiap ajang pemilu. Serta
banyaknya figure-figur baru dalam daftar pencalonan pada pemilu Tahun 2009.
Kedua, penulis memilih partai PDIP Kabupaten Bone sebagai partai lama di
Kabupaten Bone yang tersaingi oleh semakin mapannya partai-partai baru yang
hadir di Kabupaten Bone dalam setiap pemilu sehingga terus berebenah untuk
meloloskan calonnya. Disamping itu dalam list daftar calon PDIP Kabupaten Bone
pada pemilu 2009 diramaikan oleh figur-figur baru.
Penulis akan meneliti mengenai gambaran polarisasi
elit partai politik terkhusus pada Partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone
setelah diterapkan sistem suara terbanyak dan bagaimana dampak yang timbul
akibat polarisasi elit. Berdasarkan
penjabaran perubahan sistem pemilu perolehan suara terbanyak tersebut di atas
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak
Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (Studi Terhadap Partai Golkar dan
PDIP di Kabupaten Bone)”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar