ASEAN (Association of Shoutheast Asia Nations)
merupakan organisasi Geo-politik dan Ekonomi Negara-negara di kawasan Asia
tenggara seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, Vietnam,
Filifina, Thailand, laos dan kamboja. Pembentukan organisasi regional ini
bertujuan untuk meningkatkan kerjasama multilateral antarnegara di kawasan Asia tenggara bentuk
kerjasama antarnegara itu meliputi bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta
pertahanan keamanan dan perdamaian antar negara ASEAN.[1]
Adapun pembahasan selanjutnya akan menitikbertakan pada kerjasama ASEAN dalam
bidang ekonomi yang dikenal dengan Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) dengan tujuan
menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing
tinggi saing didalamnya terdapat aliran bebas dengan tingkat pembangunan
ekonomi yang merata serta kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang makin
berkurang.[2]
Perkembangan global yang di alami oleh
ASEAN menjadikan kawasan ini perlu melakukan kerjasama ekonomi di dunia
internasional, mengingat pentingnya perdagangan ASEAN dengan negara-negara lain
di luar kawasan. Hal ini agar berbagai peluang kerjasama dapat dimanfaatkan
oleh para pelaku usaha ASEAN untuk bersaing secara internasional, disamping itu
ASEAN harus dapat menjadi pasar yang menarik bagi investasi asing. Melalui
pembentukan kawasan perdagangan bebas (free
Trade Area/ FTA) ASEAN melakukan kerjasama ekonomi dengan beberapa negara
mitra seperti Jepang, China, Korea, Australia, Selandia Baru dan india. Dalam
kerjasama ini pula setiap negara anggota ASEAN dapat melakukan kerjasama
bilateral dengan negara-negara yang menjadi mitra ASEAN tersebut.
Dari beberapa mitra ASEAN, Cina merupakan
negara yang mengalami perkembangan paling pesat. Pasca reformasi Deng Xio ping,
Cina mengalami kemajuan yang sangat besar terutama dalam bidang ekonomi.
Faktanya saat ini Cina telah menjadi salah satu negara penggerak perkeonomian
dunia. Hal ini terlihat pada produk-produk China yang telah mampu menjangkau
berbagai belahan dunia. Selain luasnya wilayah perdagangan China juga memiliki
kelebihan dimana harga produk yang di tawarkan jauh lebih murah. Disamping itu
China memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia dan kemajuan tekhnologi serta
infrastruktur lainnya yang tentu saja dapat menunjang kemajuan negara ini.
ACFTA dimulai ketika pada
tahun 2001 digelar ASEAN-China Summit di Bandar Seri
Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan kelima antara ASEAN dengan China ini
menyetujui usulan China untuk membentuk ACFTA dalam waktu 10
tahun. Lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama adalah
pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi
antar-negara dan pembangunan di sekitar area sungai Mekong.[3]
Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan antar Menteri Ekonomi dalam ASEAN-China
Summit tahun 2002 di Phnom Penh, Vietnam. Pertemuan ini menyepakati “Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation” (CEC), yang didalamnya
termasuk FTA. Sejak pertemuan itulah ACFTA dideklarasikan.[4]
Kerjasama ACFTA ini sangat penting,
mengingat tujuan-tujuan yang ingin dicapai bisa memberikan keuntungan yang
begitu besar bagi negara-negara yang terlibat apabila dapat dimanfaatkan dengan
baik. Salah satu tujuan yaitu memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan
yang dapat menguntungkan tanpa menjatuhkan yang satu dengan yang lainnya. Dalam
kesepakatan tersebut juga akan merealisasikan liberalisasi jasa dan investasi
dan juga investasi yang telah disepekati setelah tarif barang dilakukan, menggali
bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat
dalam rangka kerjasama ekonomi antara Negara-negara anggota. Dari beberapa
tujuan ini ASEAN memiliki harapan beberapa harapan yang dapat dicapai dengan
jalan melaksanakan ACFTA. salah satu tujuan tersebut adalah memperbaiki keadaan
perekonomian di Negara-negara ASEAN yang menurun drastis akibat krisis
khususnya bagi Laos, Vietnam, Myanmar dan Kamboja.
Dalam ACFTA seluruh negara sudah harus
mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 40% komoditas yang ada pada normal track
sebelum 1 Juli 2006.[5] Seluruh
negara sudah harus mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 60% komoditas yang ada
pada normal track sebelum 1 Januari 2007. Dan seluruh negara sudah
harus mengurangi tarif menjadi 0-5% untuk 100% komoditas yang ada pada normal
track sebelum 1 Januari 2010. Maksimum sebanyak 150 tarif dapat diajukan
penundaan hingga 1 Januari 2012.[6]
Dengan adanya pengurangan tarif tersebut perdagangan bebas antara Cina dengan
Negara-negara di kawasan Asia tenggara telah di laksanakan tentu hal ini para
pelaku yang bermain didalamya harus mampu memanfaatkan peluang yang ada agar
dapat memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Perjanjian ACFTA ini dilakukan dalam
beberapa tahap, fase awal dari kesepakatan perdagangan ini, dikenal dengan
Program Panen Awal (EHP- Early Harvest
Programme), EHP adalah suatu program untuk mempercepat implementasi ACFTA
dimana tarif Most Favored Nation (MFN) sudah dapat dihapus untuk
beberapa kategori komoditas tertentu. Ini mulai dilaksanakan
tanggal 1 Januari 2004, merupakan komitmen pemotongan tarif bagi produk-produk
sektor pertanian ASEAN yang masuk ke China.[7]
Sejak perjanjian ACFTA mulai diberlakukan
tentunya Negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia telah mempersiapkan diri
dalam mengahadapi peluang dan tantangan ada. Sebagai bagian dari keseriusan
pemerintah mengawali dengan meratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA
melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.[8]
Keputusan presiden no.48 tahun 2004, pasal
1 :
Mengesahkan
framework Agreement on coomprehensiv
Economic cooperation between between the assocationof South East Asian Nations
and the people’s Republik of Cina (Persetujuan Kerangka Kerja mengenai
Kerjasama Ekonomi menyeluruh antara Negara-negara Anggota Asosiasi
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan republic rakyat China), yang telah ditanda tangani
Pemerintah Republik Indonesia di Phnom penh, Kamboja, apada tanggal 4 November
2002, sebagai hasil perundingan antara para wakil Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Pemerintah
Republik Rakyat Cina yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggris dan
terjemahannya terlampir pada keputusan presiden ini.[9]
Keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia telah siap dalam
menghadapi ACFTA, namun kenyataan dilapangan berkata lain industri-industri
sebagai penopang perekonomian Indonesia malah terkena dampak negatif dengan
adanya ACFTA, akibatnya ekonomi Indonesia seakan jalan ditempat. Berdasarakan analisis
dan perhitungan yang dilakukan oleh Warta
Ekonomi Intelegence Unit ada delapan sektor industri di Indonesia yang
terancam akibat implementasi ACFTA.[10]
Kedelapan sektor itu ialah sektor alas kaki, sektor tekstil dan produk tekstil,
sektor kimia, sektor besi dan baja, sektor furnitur, sektor elektronik, sektor
makanan dan minuman. Sektor-sektor yang terancam ini membuat pasar domestik
Indonesia kalah bersaing dengan produk impor yang terus membanjiri pasar
domestik Indonesia, khususnya barang Cina. fakta ini sejalan dengan hasil
perhitungan BPS, dimana naraca perdagangan antara Indonesia dengan Cina kini
mengalami defisit. Artinya nilai import dari Cina masih lebih besar dibanding
ekspor Indonesia ke Cina.[11]
Penyebab industri-industri di Indonesia
tidak mampu bersaing dengan China, yaitu terkait sumber daya daya dan tenaga
kerja yang mayoritas (60 persennya) masih berpendidikan level SD ke bawah.[12]
Kondisi ini tentu saja sangat mempengaruhi kualitas kerja dan produktivitas
tenaga kerja Indonesia. Selain itu juga tingkat suku bunga kredit yang masih
tinggi. Berbeda dengan Indonesia, bunga pinjaman yang diterapkan pemerintah
China dalam menggairahkan usaha rakyat hanya dipatok pemerintah antara 4-6
persen pertahun, sedangkan di Indonesia suku bunga kredit masih bertengger di
angka 14-16 persen.[13]
Dengan suku bunga pinjaman sebesar itu, bisa dipastikan iklim usaha Indonesia
akan terus menurun. Soal lain yang juga tak kalah penting adalah terkait
penegakan dan juga kepastian hukum masalah yang satu ini memang sangat sulit
untuk didapatkan solusinya.
Stabilitas ekonomi yang baik didukung
oleh langkah-langkah penguatan dalam sektor keuangan yang mendorong kegiatan
ekonomi.[14]
Hal ini misalnya pada sektor industri dalam memproduksi barang, ini bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi mereka. Sebaliknya jika
tidak ada dukungan dari sektor keuangan, industri domestik tersebut akan
terhambat dalam melakukan produksi barang.
Selain itu, eksistensi industri domestik
banyak ditentukan oleh kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Bentuk kebijakan pemerintah seperti penentuan tingkat suku bunga, penetapan
tarif pajak, dan alokasi pemberian kredit, ketiga hal tersebut sangat
menentukan ketersediaan modal untuk menunjang produksi domestik dalam negeri.
Jadi apabila pemerintah menetapkan tingkat suku bunga dan pajak yang tinggi
serta akses terhadap kredit yang sulit maka industri akan kekurangan modal,
terjadi fluktuasi dalam jumlah barang
yang diproduksi oleh industri domestik yang pada akhirnya berpeluang
menyebabkan instabilitas ekonomi.
Gambaran latar belakang yang dipaparkan
di atas serta sedikit fakta-fakta yang terjadi, maka itulah menjadi alasan
utama penulis untuk mengangkat pengaruh ACFTA terhadap perekonomian Indonesia
saat ini sebab menurut penulis hal ini sangat menarik apabila dikaji lebih jauh
serta menguraikan dan menganalisisnya lebih mendalam. penulis mengangkatnya
dengan judul : “PENGARUH ACFTA
(ASEAN-CINA FREE TRADE AGREEMENT) TERHADAP STABILITAS EKONOMI INDONESIA”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar