Kebutuhan modal suatu perusahaan akan semakin meningkat seiring
dengan perkembangan dan pertumbuhan perusahaan, hal ini mengharuskan pihak
manajemen untuk memperoleh tambahan dana baru. Jika manajemen memutuskan untuk
menambah jumlah kepemilikan saham maka dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menjual kepada pemegang saham
yang
sudah
ada,
menjual
langsung kepada
pemilik
tunggal secara privat
(private placement), menjual kepada karyawan melalui ESOP (employee stock
ownership plan), menambah raham melalui dividen yang tidak dibagi (dividen
reinvestment plan), atau menawarkan kepada publik (Brigham, 1993).
Sebelum perusahaan
menawarkan sahamnya di pasar
sekunder
(secondary market), perusahaan harus melalui tahap penawaran saham pada pasar
perdana
(primary market)
yang
lebih dikenal sebagai Initial
Public Offering (IPO) atau go-public. Perusahaan akan melakukan go-public apabila dengan melakukan go-public tersebut
perusahaan akan memperoleh keuntungan (Brigham, 1993). Harga yang ditawarkan pada pasar penawaran
perdana (IPO) belum memiliki harga pasar sekunder.
Di dalam <.span>kegiatan
penawaran
umum perdana (IPO)
terdapat suatu fenomena menarik yang disebut dengan underpricing dimana harga saham yang ditawarkan pada pasar perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga saham ketika diperdagangkan
di pasar sekunder. Fenomena underpricing di
dalam IPO
ini dikenal
hampir
diseluruh
dunia.
Dari beberapa
penelitian menunjukan
bahwa underpricing terjadi hampir pada
setiap pasar efek di seluruh dunia, Amerika Serikat
(Ritter,
1991),
Kuala
Lumpur (Ranko dkk, 1998), Korea (Kim
dkk, 1993), Hongkong (Mc Guinnes,
1992),
serta
di Australia (How, 1995 dan Lee dkk, 1996) dalam H.I. Dianingsih (2003). Hal
ini juga terjadi pada pasar efek di Indonesia.
Penelitian
dari Suad Husnan (1996) dalam
Ghozali dan Mudrik (2002) menunjukkan bahwa penawaran saham perdana pada
perusahaan-perusahaan privat maupun
BUMN
di Indonesia
umumnya mengalami underpricing.
Secara mendasar
underpricing disebabkan oleh kepentingan
dari pihak-pihak yang terkait dalam penawaran saham perdana.
Harga saham yang
dijual di pasar
perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjamin emisi (underwriter) dan emiten (issuers), sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme permintaan
dan penawaran (Sunariyah, 2004).
Berbagai macam
teori telah
dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan penyebab terjadinya fenomena underpricing. Ritter (1984) dalam Ernyan dan
Husnan (2002), menyatakan
bahwa
pada penawaran
saham perdana, saham-saham
yang
beresiko tinggi akan mengalami
underpricing
yang
lebih besar daripada
saham
yang beresiko
rendah. Baron (1982) menawarkan hipotesis
Asimetri Informasi yang menjelaskan bahwa underpricing diakibatkan oleh
adanya
perbedaaan informasi
yang
dimiliki oleh
pihak-pihak
yang terlibat
dalam
penawaran perdana, yaitu emiten (perusahaan yang melakukan IPO), penjamin emisi
(underwriter),
dan masyarakat pemodal
(investor). Underwriter memiliki informasi tentang pasar yang
lebih lengkap daripada emiten
sedangkan
terhadap
calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi
yang dihadapi oleh investor maka semakin besar resiko yang ditanggung oleh
investor, sehingga semakin besar tingkat
keuntungan
yang
diharapkan oleh investor dalam
melakukan penawaran perdana.
Menurut Morris (1987) dalam Haryanto (2003), mengemukakan teori lain yang dapat
digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya
underpricing yaitu teori Signaling. Teori
ini menjelaskan bahwa pada saat melakukan penawaran
umum, calon
investor
tidak
sepenuhnya dapat membedakan antara perusahaan yang berkualitas
baik dan perusahaan yang berkualitas
buruk. Perusahaan yang
berkualitas baik dengan
sengaja akan memberikan
sinyal pada pasar, dengan demikian
pasar
diharapkan dapat membedakan antara perusahaan yang
berkualitas baik dengan perusahaan
yang
berkualitas buruk.
Bentuk dari sinyal positif yang disampaikan kepada
pasar
dapat berupa
penggunaan underwriter yang berkualitas,
besarnya
proporsi saham yang ditahan, nilai penawaran saham, dan informasi akuntansi lainnya. Dalam memberikan sinyal kepada pasar, perusahaan berkualitas akan berusaha sebaik mungkin untuk menggunakan sinyal yang efektif dan tidak mudah ditiru oleh perusahaan lainnya.
Harga saham
yang
ditawarkan pada
saat melakukan penawaran
perdana merupakan faktor penting
dalam menentukan berapa besar
jumlah dana
yang
diperoleh
perusahaan
(emiten). Pada penjualan saham perdana, perusahaan akan menerima uang
tunai
dan
keuntungan dari selisih
harga nominal saham dengan harga saham pada pasar perdana (Arifin,
2004). Harga saham pada
dasarnya
merupakan pencerminan besarnya
pengorbanan yang harus dilakukan
oleh
setiap investor
untuk
penyertaan
dalam
perusahaan. Permasalahannya adalah perusahaan tidak ingin menawarkan saham perdananya dengan
harga yang terlalu underpriced (harga terlalu rendah) kepada calon
investor dengan
tujuan
mengumpulkan
dana lebih besar, sedangkan investor
menginginkan
untuk
memperoleh
imbalan
dari
resiko
ketidakpastian yang terdapat
dalam pembelian saham perdana.
Informasi
merupakan suatu
kebutuhan yang sangat penting bagi
investor dalam
mengambil keputusan
untuk
melakukan investasi pada penawaran saham
perdana (Sunariyah, 2004).
Beberapa hal menimbulkan ketidakpastian
bagi
calon
investor
dalam
mengambil keputusan investasi seperti
keraguan atas kinerja dan nilai perusahaan yang sebenarnya, saham yang belum memiliki track record (sejarah), dan isu-isu berkembang seputar
penawaran perdana. Ketidakpastian
tersebut menimbulkan resiko bagi para
investor
dalam melakukan investasi pada saham perdana.
Semakin
tinggi resiko yang dihadapi oleh investor
maka semakin tinggi ekspektasi investor
untuk memperoleh keuntungan
yang besar dalam melakukan investasi pada penawaran perdana
(Arifin,
2004).
Informasi
yang
dapat digunakan
oleh
investor dalam
pengambilan keputusan
investasi
dapat
berupa
informasi akuntansi
(kuantitatif) yang menjelaskan kinerja
perusahaan
dan
informasi non
akuntansi
(kualitatif)
seperti underwriter (penjamin emisi),
auditor
independen, konsultan hukum, nilai penawaran saham, persentase saham yang
ditawarkan, umur perusahaan,
jenis industri dan informasi kualitatif lainnya.
Underwriter sebagai pihak luar yang menjembatani kepentingan emiten dan investor
diduga
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat
underpricing (Balvers, 1989).
Penjamin emisi
(underwriter) dapat berupa perusahaan swasta atau BUMN
yang
menjadi penanggung
jawab atas terjualnya efek emiten kepada
investor. Underwriter
memperoleh komisi berdasarkan persentase dari nilai saham yang terjual. Underwriter dinilai oleh investor berdasarkan kemampuannya
untuk memberikan penawaran dengan
initial return yang tinggi bagi para investor. Apabila
underwriter gagal, maka
akan
mempengaruhi reputasinya di mata investor, sehingga dapat menghambat perusahaan penjamin emisi
untuk
memperoleh transaksi potensial
di masa depan. Namun underwriter juga tidak dapat menentukan harga perdana yang terlalu underprice dikarenakan emiten menginginkan dana hasil penawaran perdana yang besar dan underpricing merupakan biaya yang harus ditanggung oleh emiten.
Penentuan harga saham perdana ditentukan oleh
emiten dan underwriter. Underwriter sebagai
pihak
penghubung antara emiten
dan investor berperan penting dalam menentukan harga perdana saham (Carter dan Manaster,
1990). Ketika perusahaan
yang ditawarkan mempunyai
tingkat ketidakpastian
yang tinggi, maka tingkat
underpricing akan semakin tinggi. Hal ini
dilakukan oleh
underwriter
untuk
memberikan kompensasi
bagi investor yang bersedia untuk menanggung resiko tinggi dalam ketidakpastian investasi
tersebut. Kim dkk
(1993) menyatakan bahwa emiten yang menggunakan
penjamin emisi yang berkualitas atau
bereputasi
baik
akan mengurangi resiko yang tidak
dapat diungkapkan oleh informasi prospektus dan
menandakan bahwa
informasi privat dari emiten
mengenai
prospek perusahaan di masa mendatang tidak
menyesatkan. Kim dkk
(1993) membuktikan bahwa reputasi penjamin emisi memiliki hubungan
yang negatif dan signifikan dengan tingkat
underpricing. Penelitian ini didukung juga oleh
Wolf dan Cooperman, Chalk dan Pearry (1986) dan Beatty
(1989); dalam
How
(1995). Hal ini bertentangan dengan penelitian
Trisnawati (1998) yang menyatakan bahwa
hubungan
tersebut tidak signifikan dan Daljono (2000) yang menemukan hubungan positif.
Umur perusahaan merupakan hal yang dipertimbangkan
investor
dalam menanamkan modalnya. Umur perusahaan menunjukkan
bahwa perusahaan sudah memiliki pengalaman dan kemampuan untuk bertahan dari
persaingan bisnis.
Beatty (1989) menunjukan hubungan statistis signifikan positif. Hal ini didukung
oleh Trisnawati (1998). Sedangkan How (1995) dan Henny Irnawan (2002) menunjukan
hasil yang negatif.
Ukuran perusahaan (size) dapat digunakan sebagai proksi ketidakpastian
(uncertainty ex-ante) terhadap
keadaan perusahaan
dimasa yang akan
datang. Ukuran
perusahaan diukur dengan menggunakan
total aktiva perusahaan pada
periode terakhir
sebelum
melakukan
penawaran perdana. Kim dkk (1993) menunjukkan hubungan yang negatif antara
ukuran perusahaan dengan
nilai dimasa yang akan datang, namun Indriantoro (1998)
dan
Nasirwan
(2002)
tidak
menemukan hubungan
yang
signifikan antara ukuran perusahaan dengan tingkat underpricing. Rufnialfian
(1999) menemukan
bahwa
ukuran
perusahaan berpengaruh positif
terhadap initial return.
Nilai penawaran
saham
yang
ditawarkan kepada publik
dapat
memberikan informasi mengenai kebutuhan keuangan perusahaan. Kebutuhan akan
dana yang besar menunjukkan bahwa perusahaan sedang
berkembang dan memiliki kinerja
yang
tinggi, sehingga dapat mengurangi
tingkat ketidakpastian bagi investor dalam
melakukan
investasi pada
perusahaan.
Sebelum saham
memasuki pasar
sekunder, semakin besar nilai
penawaran
maka tingkat ketidakpastian
akan semakin kecil (Christy dkk, 1996).
Penelitian ini didukung
oleh Chalk dan Pearry (1986), Wolf dan Cooperman, serta
Beatty
(1989) dalam How (1995).
Namun bertentangan dengan Trisnawati (1998) dan Daljono (2000) yang menunjukan hasil tidak signifikan.
Financial leverage secara teoritis
menunjukan
resiko
sehingga digunakan sebagai proksi ketidakpastian (Trisnawati, 1998). Kim dkk (1993) menemukan hubungan
yang signifikan
positif antara financial leverage dan initial return, hal
ini didukung oleh How (1995) namun bertentangan dengan Hedge dan Miller (1996) yang menunjukan hasil signifikan negatif.
Fractional holding merupakan persentase dari jumlah saham perusahaan yang ditahan oleh pemegang saham sebelumnya. Jumlah saham yang ditahan dapat dijadikan suatu
indikasi
bahwa
perusahaan memiliki
informasi
mengenai
nilai
saham
dimasa
yang
akan
datang.
Grinblat dan Hwang (1989)
dalam
Sumarso (2003) menyatakan bahwa untuk mengatasi
masalah asimetri informasi, perusahaan
(issuers) akan
memberikan sinyal
pada pasar dengan cara menahan sebagian
sahamnya pada penawaran perdana. Menurut H.I.
Dianingsih
(2003) besarnya saham yang ditahan
memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat underpricing.
Dari uraian tersebut terdapat ketidak konsistenan dari hasil penelititan baik
dari
luar
negeri
maupun
Indonesia. Hal ini
menunjukkan
perlunya
dilakukan penelitian
kembali
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat underpricing
pada penawaran saham perdana. Maka dari itu, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul ”Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Fundamental
Terhadap Tingkat Underpricing Pada Penawaran
Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta”.
Judul : ANALISIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR FUNDAMENTAL TERHADAP TINGKAT UNDERPRICING PADA PENAWARAN UMUM PERDANA DI BURSA EFEK JAKARTA (KE-24)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar