BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan momok bagi
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK),
karena dengan adanya keputusan untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) akan melahirkan
permasalahan yang komplek bagi semua bidang. Dan hal ini tidak bisa dihindari,
berbagai bentuk penolakan timbul dengan berbagai cara. Mulai dari mahasiswa
dengan budaya demonstrasinya, masyarakat yang menunjukkan caranya sendiri,
bahkan aksi mogok makan yang dilakukan oleh suatu anggota Dewan saat sidang
paripurna dalam keadaan kebinggungan, karena belum adanya kejelasan yang pasti.
Semua bentuk penolakan itu disadari oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK) dan dianggap wajar, tetapi disisi lain
Pemerintah harus mampu menyesuaikan semua permasalahan dengan berbagai resiko.
Presiden merupakan pihak yang bertanggung jawab atas semua permasalahan
yang ada pada saat ini, dimana dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
yang mengejutkan mahasiswa dan semua lapisan masyarakat, merupakan dampak
negatif pada stabilitas Nasional, untuk itu pihak asing yang mempunyai tujuan
tertentu akan sangat senang menyaksikan itu, mereka bisa memanfaatkan untuk
merugikan bangsa kita. Inilah yang akan diantisipasi oleh bangsa Indonesia.
Secara umum, karena saat ini Pemerintah sibuk mengurusi kasus Bahan Bakar
Minyak (BBM).
Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengakibatkan
kenaikan harga-harga kebutuhan pangan dan non pangan. Seharusnya Pemerintah
bisa menggunakan alternative yang lain dengan meningkatkan efisiensi Pertamina.
Alasan Pemerintah yang menjanjikan akan penyaluran dana kompensasi Bahan Bakar
Minyak (BBM) untuk kepentingan umum ternyata tidak memiliki kejelasan
sasarannya.
Pada tanggal 1 Oktober 2005 Pemerintah resmi memasukkan adanya kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 50%-80% dengan perincian sebagai berikut
Premium Rp. 4.500,00/liter, Minyak tanah Rp. 2.500,00/liter, beras Rp.
3.000,00/kilogram. Dengan adanya kenaikan harga ini, sebagai gantinya pihak
Pemerintah berjanji akan memberikan kompensasi sebesar Rp. 10,5 Trilyun Rupiah
untuk rakyat miskin. Dana tersebut akan dialokasikan untuk biaya pendidikan,
layanan kesehatan, pembangunan infrastruktur di desa tertinggal diseluruh
Indonesia.
Alasan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla
(MJK) untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) yaitu untuk menghilangkan
subsidi bagi rakyat yang seharusnya tidak menerima, untuk dikompensasikan pada
kehidupan pendidikan dan kemasyarakatan miskin, sebab subsidi selama ini hanya
dinikmati oleh kalangan orang-orang kaya (Bestari, Maret: 3, 2005).
Kajian Institute Development of Economic And Finance (INDF) 2005 menyatakan
tentang dampak kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin dan Indeks Harga
Konsumen (IHK) menggunakan metode Vector
Auto Regressive (VAR) membuktikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) sebesar 5% misalnya, akan mengakibatkan meningkatnya Indeks Harga
Konsumen (IHK) naik sebesar 3,6% dan jumlah masyarakat miskin meningkat menjadi
1,30%. Semakin tinggi persentase kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
semakin tinggi pula lonjakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan jumlah masyarakat
miskin (sumber: Dialog Rakyat “Pengaruh Kenaikan Harga BBM terhadap Kondisi
Ekonomi, Politik, dan Gerakan Oposisi Rakyat Indonesia” oleh Gerakan Bahan
Bakar Minyak (BBM) di gedung IKA UNIBRAW, 11/04/2005).
Barangkali
memang kenyataan yang menjengkelkan bahwa seringkali orang baru mengambil
tindakan bila berada dalam keadaan terjepit. Ketika Bahan Bakar Minyak (BBM) di
beberapa pompa bensin, termasuk di Jakarta, benar-benar habis dan menimbulkan
kepanikan masyarakat, maka baru ada gerakan. Sebelumnya, berbagai pihak di
pemerintahan berusaha meninabobokkan masyarakat dengan memberikan jaminan bahwa
stok Bahan Bakar Minyak (BBM) masih cukup. Tapi tindakan yang dilakukan dalam
keadaan terjepit seringkali tidak menyelesaikan persoalan, bahkan membuatnya
menjadi semakin rumit. Apakah penghematan merupakan solusi. Bisakah penghematan
Bahan Bakar Minyak (BBM) dilakukan melalui peraturan dan perintah. Soal Bahan
Bakar Minyak (BBM) ini bukan soal baru, dan memang sudah salah kaprah. Apa yang
kita hadapi sekarang ini tidak lain adalah akibat kebijakan Bahan Bakar Minyak
(BBM) yang diterapkan selama bertahun-tahun. Barangkali benar konstatasi
sementara orang bahwa sumber kekayaan minyak bumi yang sebenarnya merupakan
rahmat ternyata juga bisa menjadi kutukan. Salah kaprah pertama: katanya,
minyak yang terdapat di bumi Indonesia adalah milik rakyat, dan harus digunakan
untuk memenuhi sebesar-besarnya kebutuhan rakyat. Ini artinya disediakan
semurah mungkin, dan harganya tidak boleh ditentukan atas dasar nilai
ekonomisnya melainkan atas pertimbangan kemampuan membelinya. Ada cerita 20-an
tahun lalu, ketika Menteri Energi Subroto mempersoalkan ini, reaksi Presiden
Soeharto adalah bahwa minyak tanah harus tetap tersedia semurah mungkin untuk
rakyat biarpun karena itu minyak kita akan terkuras habis.
Tetapi apa mau
dikata, pada tahun 1982 dan 1983, ketika harga minyak internasional membubung
tinggi, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) didalam negeri berturut-turut
disesuaikan (artinya dinaikkan) sebesar masing-masing 80 persen rata-rata.
Untuk sementara keadaan anggaran pemerintah terselamatkan. Ketika keadaan
ekonomi pada umumnya membaik, maka kita lalai. Salah kaprah kedua: penyesuaian
harga minyak dilakukan atas pertimbangan keadaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), dan bukan dalam kerangka penyediaan energi nasional
berdasarkan suatu strategi yang jelas. Kembali Menteri Energi Subroto waktu itu
melansir suatu kebijakan energi yang mempunyai 4 komponen yang saling
berkaitan: intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Intinya
adalah bahwa minyak bumi harus digunakan seoptimal mungkin dan perlunya
mengembangkan sumber-sumber energi lainnya. Tetapi kembali soal penetapan harga
menjadi sumber kegagalan penerapan kebijakan itu. Bila harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) dipertahankan murah bagaimana mungkin konsumen mau mengalihkan pemakaian
pada energi alternatif, dan bagaimana pula sumber energi lainnya akan bisa
dikembangkan. Maka semakin lama kebutuhan untuk mengimpor Bahan Bakar minyak
(BBM), bukan hanya minyak mentah untuk dikilang di dalam negeri, juga
meningkat. Kilang di dalam negeri dirancang sesuai jenis masukan dan komposisi
keluaran Bahan Bakar Minyak (BBM)nya, yaitu berapa banyak premium, diesel,
minyak tanah, dan jenis-jenis lainnya. Komposisi pemakaian itu makin lama
semakin berubah karena pemakaian jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang disubsidi
secara besar meningkat dengan tajam. Persoalan penyediaan energi didalam negeri
menjadi semakin rumit. Tetapi ekonomi tumbuh 7 persen per tahun, maka kita
semakin lalai. Perlu dicatat bahwa diversifikasi energi dan pembangunan kilang
baru tidak dapat terjadi dalam waktu singkat.
Krisis ekonomi
berdampak pada kemampuan anggaran pemerintah. Maka di era reformasi mulai
terasa beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Tetapi lebih dari itu, mulai
disadari perlunya mereformasi industri perminyakan kita untuk meningkatkan
efisiensi dan fleksibilitasnya. Maka dirumuskan suatu strategi dan untuk itu
harga Bahan Bakar minyak (BBM) harus dirasionalisasi secara bertahap.
Dalam hubungan
ini pemerintah dengan persetujuan DPR, menetapkan suatu formula penyesuaian
harga secara teratur dan bertahap. Namun ini hanya dijalankan selama kira-kira
setahun. Di bulan Januari 2003, Presiden Megawati mendapat kritikan karena
menyetujui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada waktu mengumumkannya,
Presiden Megawati menyatakan bahwa keputusan pahit itu diambil untuk
kepentingan jangka panjang biarpun akan mempengaruhi popularitasnya.
Menurut Rizal
Mallarangeng, yang tahu apa yang terjadi, beberapa orang dekat Presiden
Megawati berhasil memanipulasinya untuk menarik kembali keputusannya atas
pertimbangan politik, yaitu agar dia kelak bisa terpilih lagi. Tetapi di balik
semua itu terdapat salah kaprah ketiga: katanya, subsidi yang merupakan masalah
politik yang peka itu sebenarnya tidak ada, jadi tidak perlu ada penyesuaian
harga. Adalah Menteri Kwik Kian Gie yang mengembangkan argumentasi bahwa
subsidi itu sebenarnya cuma angka-angka di atas kertas. Intinya: minyak bumi
itu milik rakyat, dan harus dikembalikan kepada rakyat tanpa ada tambahan
ongkos apa-apa. Ini sebenarnya suatu variasi yang sedikit lebih canggih dari
salah kaprah pertama. Tetapi tetap merupakan salah kaprah.
Alhasil, dalam
keadaan dimana harga minyak Internasional membumbung seperti sekarang ini beban
pemerintah semakin membengkak karena subsidi itu memang ada. Bila kita tidak
mempunyai minyak sendiri dan harus sepenuhnya membeli dari luar seperti dialami
banyak negara maka selisih harga impor dengan harga jual ke konsumen dalam
negeri harus ada yang menutup. Mengapa bila minyak itu kita miliki sendiri lalu
harganya tidak boleh ditetapkan sesuai harga pasar bukankah ini berarti bahwa
milik sendiri boleh dihambur-hamburkan. Banyak pihak memang bisa berpesta pora
dengan penghambur-hamburan ini. Subsidi minyak tanah dan Bahan Bakar Minyak
(BBM) lain yang begitu besar hanya sebagian kecil saja yang dirasakan oleh
penduduk berpendapatan rendah. Kelas menengah dan kelompok kaya jugalah yang
menikmatinya. Lebih celaka lagi, orang luar ikut menikmati karena penyelundupan
keluar semakin marak. Lalu kenapa selalu ada tantangan untuk menerapkan harga
rasional pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jawabannya, untuk melindungi kepentingan
rakyat banyak. Ini salah kaprah yang paling besar dan yang menjerumuskan. Harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) harus naik. Dampaknya akan ada. Argumen inflasi
dipakai untuk menentangnya. Tetapi bahaya inflasi itu arah bertahap lebih
banyak disebabkan karena formula penyesuaian harga secara itu kita.
Mahasiswa benar, bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan
menyebabkan kenaikan berbagai kebutuhan hidup yaitu kebutuhan pangan dan non
pangan sebagaimana ditunjukkan oleh lonjakan inflasi yang cukup tinggi. Temuan
tersebut menunjukkan pentingnya kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) ini diikuti dengan kebijakan lain yang dapat mengendalikan lonjakan
inflasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang lain. Selain itu program
kompensasi maka program pembangunan infrastruktur di daerah pedasaan dan
perkotaan perlu mendapat prioritas pemerintah untuk meminimalisasikan jumlah
penduduk miskin akibat adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Melihat kompensasi dan pengeluaran masyarakat miskin, maka program yang
dapat disignifikasikan membantu masyarakat adalah program di bidang pendidikan,
kesehatan, pangan dan transportasi. Masalahnya ada implementasi dari program
tersebut. Selama ini program kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dijalankan
tidak efektif dan tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli (pendapatan
riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola konsumsi dan
sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM). Rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi mengingat
tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi langsung Bahan Bakar Minyak (BBM) relatif
kecil. Untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) non minyak tanah, pangsa kelompok 40%
terbawah kurang dari 1% dari total pendapatan. Hanya minyak tanah yang lumayan
besar yaitu sekitar 2,6% dari total pengeluaran.
Kedua, konsumsi komoditi yang sensitif terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM) pun relatif kecil seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga,
komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga 40% terbawah yaitu beras
sebetulnya juga tidak bergerak banyak karena harga komoditi ini dijaga oleh
pemerintah dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dilakukan pada saat
siklus harga beras mengalami penurunan. Walhasil kalau kita lihat beban
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga tingkat pendapatan menengah atas
cenderung meningkat lebih dari proposional dan menurun lagi walaupun masih jauh
lebih tinggi dibandingkan kelompok 40% terbawah.
Hasil perhitungan dampak pendapatan riil ini kemudian ditranslasikan dalam
perhitungan indeks kemiskinan dengan menggunakan nilai pengeluaran Rukun Tangga
(RT) yang baru setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Secara logis
kemudian, tingkat kemiskinan meningkat. Simulasi menunjukkan peningkatan indeks
kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau
2003 (pada saat kenaikan dibatalkan) karena kenaikan harga kali ini tidak
diikuti dengan kenaikan harga listrik.
Maka setiap penyesuaian menjadi kejutan (shock).
Sebenarnya harga-harga yang diatur (administered
prices), seperti dalam hal Bahan Bakar Minyak (BBM), adalah salah satu
penyebab inflasi, karena perubahannya dilakukan melalui keputusan pemerintah.
Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) segera harus dinaikkan. Inflasi memang akan
meningkat. Untuk itu, Bank Indonesia perlu meningkatkan suku bunga lagi untuk
menahannya. Semua ini tidak dapat dihindarkan. Pertumbuhan ekonomi tahun ini
pasti harus direvisi ke bawah, menjadi 5 persen saja. Tetapi apa salahnya jika
dengan tindakan ini kita menyelamatkan ekonomi untuk jangka menengah Ini soal
akal. Tetapi memang soal perasaan juga harus diperhatikan. Secara politis
tindakan ini hanya bisa diterima masyarakat bila ada contoh dari atas. Jangan
rakyat dilarang untuk mengkonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) berlebihan bila para
pemimpin, misalnya, bepergian dengan men-charter
pesawat sendiri. Perintah yang keluar seharusnya adalah untuk mengharuskan para
menteri menggunakan penerbangan komersial.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus menolak kenaikan gaji.
Kesemua ini seharusnya sudah dilakukan kemarin. Tetapi bila dimulai minggu
depan masih belum terlambat asalkan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ini
mensyaratkan adanya suatu kebijakan energi.
Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin
mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM). Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan
dengan pendekatan Compensating Variation
yang seharusnya dipahami oleh seluruh mahasiswa dan lulusan Fakultas Ekonomi.
Jelas disini perhitungan yang kami lakukan mencakup seluruh rumah tangga yang
ada dalam Susenas.
Berdasarkan latar belakang tersebut sebagaimana telah diuraikan diatas,
sehingga dipandang perlu adanya kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh karena itu dipilih judul “Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) Terhadap Konsumsi Pangan dan
Non Pangan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang” sebagai judul
penelitian.
Judul : Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Konsumsi Pangan dan Non Pangan Mahasiswa (PRT-5)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar