Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak amat
cepat dan meresap kesegala aspek kehidupan kita baik aspek ekonomi, politik,
sosial budaya maupun pendidikan. Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah
kemajuan- kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi.
Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi begitu kuat struktur –struktur
ekonomi, politik, sosial budaya dan pendidikan
sehingga globalisasi menjadi realita yang tak terelakkan dan menantang. Namun, Globalisasi sebagai suatu proses bersifat ambivalen.
Satu sisi membuka peluang besar untuk perkembangan manusia dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi sisi lain
peradaban modern yang semakin dikuasai oleh budaya ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini tampak semakin lepas dari kendali dan pertimbangan etis.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan manusia di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi tidak selalu sebanding dengan peningkatan
di bidang moral. Dalam satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang membuat
manusia lebih mudah menyelesaikan persoalan hidup, namun disisi lain berdampak
negatif ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai pembebas
manusia, melainkan justru membelenggu dan menguasai manusia.
Arus
Globalisasi ternyata berhasil mendobrak dinding tatanan moral tradisional
berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur nenek moyang manusia. Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, tanggung
jawab, kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan lambat laun digeser oleh otonomi
manusia yang mendewakan kebebasan. Malah, ada yang memandang dirinya sebagai kebebasan,
sehingga pihak lain tidak berhak mengaturnya. Kebebasan ini sering
mengkondisikan “homo homini lupus”, manusia yang tidak mengenal batas-batas hak
dan wewenang dalam kehidupan sosial.
Pergeseran peran norma moral
khususnya terjadi pada masa revolusi perancis yang menjadi simbol kebebasan
segala zaman. Dalam humanisme baru ini manusia modern makin meninggalkan
nilai-nilai baku. Manusia menjadikan dirinya sebagai aturan dan cenderung
melepaskan diri dari keterikatan normatif yang dianggap ketinggalan zaman. Manusia mengalami diri sebagai otonomi yang berkuasa penuh atas dirinya
sendiri. Ini tercermin dari sikap manusia yang tidak hanya ingin mengolah alam
semesta namun lebih ingin menguasai demi kepentingan pribadi.
Pandangan hidup yang
mengagungkan kebebasan personal umumnya akan mendorong manusia untuk
mendahulukan kepentingan pribadi. Yang diutamakan adalah kebebasan pribadi, dan
hak-hak orang lain dilupakan. Sikap ini seringkali menjerumuskan manusia ke
dalam perbenturan dengan pihak lain dalam kehidupan sosial. Penyanjung
kebebasan seolah-olah tinggal diluar entitas sosial dan tidak berdampingan
dengan sesama. Akibatnya, nilai-nilai moral seringkali diabaikan dalam
pandangan hidup ini.
Arus globalisasi memang akan
terus merambah kesetiap penjuru dan sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu yang
menjadi persoalan bukanlah bagaimana menghentikan laju globalisasi, tetapi
bagaimana menumbuhkan kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral,
sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Sebab
ketidakpedulian terhadap nilai-nilai akan mengakibatkan arah dan tujuan
perkembangan peradaban manusia menjadi tidak jelas. Akibat selanjutnya manusia
akan terpuruk dalam kehampaan makna hidup, alienasi yang mencekam, betapapun ia
dilingkupi oleh kekayaan materiil yang melimpah. Noeng Muhadjir menegaskan
bahwa masyarakat manusia dapat survive karena adanya komitmen pada
nilai-nilai moral. Bila semua orang tidak pernah menaati janjinya, tidak acuh
pada tanggung jawabnya, mempermainkan patokan-patokan moralitas, dapat
dibayangkan hancurnya masyarakat manusia. Disinilah arti
penting pendidikan moral. Dengan pendidikan, subyek didik dapat dibantu
memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan
segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata, baik
nilai-nilai ilahi maupun insani.
Persoalan pendidikan moral
memang harus diakui bukanlah persoalan baru. Banyak ahli pendidikan dalam
merumuskan konsep-konsep pendidikannya telah mengaitkan dan menjadikan moral
sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan
bahwa terbentuknya moral yang baik pada subyek didik merupakan tujuan hakiki
dari seluruh proses dan aktifitas pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam,
Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi misalnya menegaskan bahwa pendidikan moral
merupakan ruh pendidikan Islam.Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang
berjiwa budi pekerti dan akhlak yang
bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna. Abdullah Nasih
Ulwan juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian sendi moral,
keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik, dibiasakan
dan diusahakan sejak kecil.
Masalah moral secara
normatif seharusnya sudah implisit dalam setiap program pendidikan, atau dengan
kalimat lain meskipun dalam setiap satuan pelajaran telah disisipkan
“pendidikan moral”, namun konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus
tetap diperlukan guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan
dalam menjalankan sistem pendidikan moral.
Dengan demikian kajian
tentang konsep pendidikan moral secara spesifik bukan suatu hal yang
mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan konsep pendidikan
secara umum.
Dalam konteks pendidikan
Islam, konseptualisasi sistem pendidikan moral secara filosofis dirasa semakin
dibutuhkan, mengingat pemikiran itu dirasa kurang memadai. Hal ini didasarkan
pada kenyataan masih belum jelasnya pemikiran filosofis, konsep-konsep atau
teori-teori pendidikan Islam, dihadapkan dengan
perkembangan peradaban manusia yang ditandai
dengan adanya pergeseran nilai yang begitu cepat ditengah-tengah
masyarakat seiring perkembangan sains dan teknologi. Dalam konteks demikian,
Islam ditantang untuk mampu memberikan solusi dan pemikiran alternatif
sekaligus sebagai koreksi diri atas kelemahan kelemahan dari khazanah pemikiran
yang dimiliki. Oleh karena itu perlu adanya kajian terhadap pemikiran
tokoh-tokoh pendidikan, baik Islam maupun non Islam, tentang pendidikan moral
untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan, dan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil konsep-konsep pendidikan moral yang laik untuk dihidupkan di masa
sekarang dan mendatang. Sehingga memberikan
inovasi-inovasi baru yang sesuai dan berguna bagi pendidikan Islam.
Diantara
tokoh pemikir muslim yang banyak mengkaji masalah moral, jiwa dan pendidikan
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan
panggilan al-Ghazali. Dalam sejarah pemikiran Islam al-Ghazali dikenal sebagai
ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan memiliki keilmuan yang
luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral) dan spiritualitas
Islam.
Al-Ghazali banyak mengulas tentang pendidikan akhlak
(moral). Hal ini bisa dilihat dari semua karya-karyanya khususnya dalam Ihya’
Ulumuddin, Mizan al-‘Amal, Mi’raj
al-Salikin dan Ayyuha al-Walad. Pengertian pendidikan menurut al- Ghazali tidak
jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan, yang
berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada individu
yang ada didalamnya agar kehidupan dapat berkesinambungan. Perbedaan yang ada
mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut.
Baginya nilai-nilai itu adalah nilai-nilai keislaman yang berdasarkan atas
al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan kehidupan orang-orang salaf. Adapun pengertian
pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs
dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah
al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari
sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan
diri dengan moral dan sifat terpuji.
Dengan demikian pemikiran
al-Ghazali tentang pendidikan moral sejalan dengan filsafatnya yang religius
dan sufistik. Amin Abdullah dalam
bukunya Filsafat Etika Islam, antara al-Ghazali dan Kant juga menyatakan bahwa
konsepsi al-Ghazali tentang etika (moral) bercorak mistis. Sumber moral adalah
wahyu dan al-Ghazali menolak rasio
sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis manusia. Dalam hal ini peran rasio
tidak dibutuhkan secara optimal. Jika dibutuhkan, itupun hanya bersifat
periferal. Al-Ghazali lebih memilih wahyu dan bahkan menekankan pentingnya
pembimbing moral (Mursyid) sebagai pengarah utama bagi orang-orang pilihan
dalam mencapai keutamaan mistis.
Berbeda dengan al-Ghazali,
Emile Durkheim seorang ahli dan praktisi pendidikan, filsuf moral, dalam pemikirannya tentang pendidikan moral
lebih memilih masyarakat sebagai pemilik otoritas moral dalam rangka
mengembangkan dan merealisasikan hakekat diri manusia. Penegasan Durkheim
semacam ini, merujuk pada pendekatan spiritualisme sosiologis, yaitu sebuah
kepercayaan bahwa sifat dan kepentingan dari keseluruhan dan dari masing-masing
individu yang membentuk keseluruhan tidaklah sama. Dengan demikian,
kendati masyarakat merupakan gabungan
dari unsur individu, tetapi ia tetap berbeda bahkan membentuk fenomena baru
yang bersifat sui generis (unik).
Spiritualitas sosiologis ini
betul-betul diterapkan oleh Durkheim melalui usaha seriusnya untuk memahami
masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis yang independen, yang memiliki
hukum-hukum perkembangan dan hidupnya sendiri.
Hal yang hendak ditegaskan
dari pemaparan diatas adalah bahwa Durkheim cukup piawai meyakinkan kita
perihal otoritas moral yang melekat pada masyarakat. Disatu sisi tersimpan
potensi untuk menuntun, “memaksa” tingkah laku individu yang berada dan
bergulat di dalamnya. Di sisi lain masyarakat dapat dijadikan landasan berpijak
bagi kehidupan moral.
Kepiawaian atau keseriusan
mempersoalkan moralitas yang didasarkan pada konsensus sosial, memang menyebabkan
kekaburan dalam tulisan-tulisan Durkheim antara sebagai teori sosial atau
filsafat moral. Namun bagaimanapun
juga akhirnya harus diakui bahwa pemikir kelahiran Perancis ini telah menemukan
kerangka epistemologi orisinil mengenai moralitas dan usaha-usaha membentuknya
(pendidikan moral). Durkheim merumuskannya dengan
ilmu moralitas positivistis (Science
Positif de la morale).
Hal
lain yang menarik, menurut penilaian Taufik Abdullah , Durkheim adalah seorang
ahli ilmu pengetahuan yang positivistis dan seorang moralis yang ingin
memperbaiki keadaan masyarakat sekaligus tidak ingin kembali ke tatanan sosial
lama.
Penilaian demikian tentu saja tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
Durkheim mengembangkan ilmu pengetahuan rasional tentang fakta moral. Ilmu
pengetahuan sendiri dimaksud Durkheim adalah tentang fakta moral dengan
menekankan penerapan nalar manusia terhadap tatanan moral.
Studi
ilmiah tentang moralitas menurut Emile Durkheim pada dasarnya mengisyaratkan
usaha serius untuk mengkaji fenomena kehidupan moral sebagai fenomena rasional
sejalan dengan evolusi peradaban dan pencerahan masyarakat, konsekuensinya
sekularisasi pendidikan moral dapat diterima sebagai keniscayaan sebab
transformasi sejarah memang menuntut demikian. Dengan alasan argumentatif
ini, Durkheim berpendapat bahwa moralitas harus bersifat rasional dan dibentuk
berdasarkan pijakan nalar. Melihat pemikirannya pada moral dan pembentukan
moral memperlihatkan bahwa Durkheim adalah ahli pendidikan dan filsuf moral
yang beraliran positivis, bercorak rasional, ilmiah dan sekuler.
Namun demikian walaupun
kedua tokoh di atas memiliki corak pandangan, kondisi sosial dan rentang waktu
yang berbeda, keduanya juga memiliki persamaan. Persamaan-persamaan tersebut
adalah baik al-Ghazali maupun Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam
kehidupan manusia dan pembentukannya melalui pendidikan. Persamaan yang lain berkaitan dengan sumber
pendidikan moral. Baik
al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral tertinggi
dalam kehidupan manusia. Otoritas moral dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan
pengaruh kuat dengan memaksakan semua kekuatan moral yang berada diatas
individu. Otoritas tersebut memaksa manusia untuk bertindak dan bertingkah laku
sesuai dengannya, dan menjadi guiding
principle dalam kehidupannya.
Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara
al-Ghazali dan Emile Durkheim sangatlah berbeda. Bagi al-Ghazali tidak ada
semacam hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang di dalamnya mampu membangun
tindakan moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu,
sedangkan rasio manusia tidak bisa
dianggap sebagai basis fondasi moral. Moralitas yang dibangun berdasarkan rasio
akan sia-sia.
Sedangkan Emile
Durkheim menyebutkan bahwa
pemilik otoritas moral adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami
sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam
membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan
imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur
pengganti agama sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari
realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara
Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim
ini adalah moralitas sekuler dengan menolak agama sebagai sumber
otoritas moral. Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta
sosial yang dapat dikaji dan diamati secara empiris dan mengedepankan fungsi
rasio manusia.
Persaman yang lain terletak pada metode pendidikan
moral yang digunakan keduanya. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim
dalam penerapan praktis pendidikan memiliki kecenderungan paradigmatis
yang sama. Keduanya menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi
yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau pembimbing
moral dengan konsep teacher centered dalam metode pembelajarannya.
Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim
diatas berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode
pembelajaran pendidikan moral. Karena bersifat teacher centered maka
metode pendidikan moral keduanya, menekankan peranan sentral guru dalam
pendidikan dengan metode pembiasaan, metode keteladanan dan disiplin.
Melihat paparan diatas dan menyadari bahwa pemikiran
kedua tokoh ini, baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim masih dijadikan dirkursus
dan memiliki pengaruh cukup besar terhadap masing-masing budaya dan
pemikiran, maka penulis merasa perlu untuk meneliti secara kritis dan
komparatif sistem pemikiran kedua tokoh dalam pendidikan moral.
Judul
: Pandangan Al-Ghazali Dan Emile Durkheim Tentang Pendidikan Moral Dalam Masyarakat Modern (AI-64))
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar