Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian
yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang
berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang
mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya
merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah
satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya
sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran
pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat.
Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem
pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi
berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota Makassar ialah mengenai beberapa
peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan
massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan
masyarakat Indonesia kini beranggapan
bahwa kekerasan di kota Makassar telah menjadi hal yang lazim terjadi.
Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi
di kota ini telah tergambar dari nama kota Makassar itu sendiri.
Menurut Budi
Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan
keberadabannya[1]. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian
antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Kita ingat
kembali katalog kekerasan massa di kota ini: kerusuhan April 1996 di kampus
Universitas Muslim Indonesia yang menewaskan mahasiswa, kerusuhan dengan target
etnis China dalam kurun waktu 1997-1998[2], Bentrokan berkali-kali antara aparat keamanan dan
mahasiswa yang tak sedikit menimbulkan
korban dalam kurun waktu 2007-hingga sekarang. Dalam pertarungan politik kecemasan akan kekerasan massa tak juga dapat
terhindarkan. Ingat saja kasus pengrusakan show room milik mantan wakil
Presiden Jusuf Kalla dalam momentum PILGUB Sulawesi Selatan. Hingga maraknya penghakiman massa maupun perkelahian
antar kelompok warga membuat kota ini kemudian termasyhur dengan konflik fisik
yang melibatkan banyak individu yang tergabung dalam beberapa kelompok atau
yang biasa disebut dengan kekerasan massa.
Yang
ganjil dalam perilaku massa
adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa
salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan
dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut
dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang
ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu
terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali
melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog
sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam
kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke
dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya
sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini
diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan
kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai
ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa
perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas
dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota Makassar pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum
begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan
perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan
sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari
masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan
Galtung[3]
mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural,
dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat
khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa
setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk
beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa
pengrusakan yang dilakukan oleh massa[4].
Beberapa
pengamat kekerasan massa hingga budayawan menganggap bahwa siklus kekerasan
yang terjadi di makassar tidak terlepas dari mental masyarakat Makassar itu sendiri yang dibangun dari konsep siri’dan pacce[5]. Budaya ini
kemudian oleh sebagian orang dijadikan sebagai pembenar maraknya tindak
kekerasan di kota ini. Pada tahun 2008 dari semua jenis konflik
kekerasan yang melibatkan massa, di Negeri ini terjadi sebanyak 1136 kasus
kekerasan yang sempat terdata. Sulawesi Selatan ternyata berada di peringkat
kedua setelah Jawa Barat yang hanya berselisih satu kasus. 124 jumlah kasus
yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 itu, ternyata diramaikan
jumlahnya oleh kasus tawuran yang begitu banyak melebihi konfik kekerasan
agama, politik, pengeroyokan hingga penghakiman massa[6].
Ternyata
dari data tersebut, 85% dari semua kasus kekerasan di Sulawesi Selatan terjadi
di kota Makassar sebagai Ibukota provinsi. Dari semua narasi
tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor apa
yang menyebabkan maraknya kekerasan itu menghiasi keseharian masyarakat di kota ini. Benarkah bahwa ritus kekerasan tersebut
merupakan produk kebudayaan masyarakat Makassar ataukah bentuk agresi sebagaimana yang diutarakan oleh Erich Fromm[7]
akibat kekerasan struktural pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Johan
Galtung[8].
Pemerintah
kota Makassar sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini,
tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga
negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya pemerintah kota Makassar sudah melakukan banyak upaya penanggulangan maraknya
terjadinya kekerasan massa. Dalam program Makassar
Great Expectation[9], kasus
kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi
titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah Makassar sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus
pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok
merupakan penyakit masyarakat yang
sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam
yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun
mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya
didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai
penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian
antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang
telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan
masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah,
menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu
bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat
pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan
terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas[10].
Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan
sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat
pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam
banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri
penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan
jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa
yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang
dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan
penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap
menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus
yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam
beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan
sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat
bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat
saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan
persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya
disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya
cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak
menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika
akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa
dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi
sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah
kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan
diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam
menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas
sebelumnya dengan memfokuskan penelitian pada tahun 2010 dalam judul:
Analisis Peran Pemerintah Kota
terhadap Perkelahian antar Kelompok di Kota Makassar
[1] Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008
[2] Perseteruan antara pribumi dan etnis tionghoa
ditandai dalam peristiwa Toko LA, pada peristiwa tersebut terjadi pembantaian
dan pembakaran terhadap pemukiman etnis tionghoa di Makassar. Peristiwa yang
melibatkan etnis tionghoa berlanjut ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang
anak kecil oleh salah satu keturunan tionghoa yang diindikasikan menderita
gangguan jiwa. Lebih lengkap lihat di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi
Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal.
35 dan 127.
[3] Johan Galtung membagi tiga bentuk kekerasan:
kekerasan itu sendiri, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Lihat di
Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan
kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165
[4] Lebih lengkap baca di Froom, Akar
Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 hal 137. Kemarahan merupakan
dorongan psikologis yang berbentuk agresi darip tekanan yang dialami, lebih
lengkap dalam buku tersebut banyak diceritakan mengenai dorongan psikologis
untuk melakukan tindak kekerasan. Buku tersebut diantaranya mengambil pemikiran
Freud dan Lorenz.
[5] Siri’ dan
pacce merupakan ikatan budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang mengatur
tata pergaulan, lebih lengkapnya akan dijelaskan pada BAB III.
[6] Data didapat dari hasil penelitian Warta Titian
Damai, Februari 2009
[7] Lebih lengkap baca di Froom, Akar
Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Banyak bentuk-bentuk agresi yang
dijelaskan lengkap dalam buku ini.
[8] Lihat Sunardi, Keselamatan
kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165
[9] Makassar Great Expectation adalah nama program
pemerintah kota untuk menjadikan kota Makassar menuju kota dunia dalam jargon
ini pemerintah kota Makassar mengikutkan banyak program termasuk pembangunan
fisik, nilai dalam masyarakat dan yang terpenting dalam sektor budaya. Lebih
jelas, silahkan kunjungi situs resmi pemerintah kota Makassar
(www.makassarkota.go.id).
[10] Pencantuman tanda kutip pada kata postulat bahwa
makna dari kata tersebut tidak lagi sebagaimana artinya sebagai sebuah
kesimpulan teori. Banyak isu berkembang mengenai perkelahian yang sering
terjadi di kampus, mengindikasikan terbentunya anggapan masyarakat bahwa
tingkat pendidikan bukanlah faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan. Lebih
jelas baca di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk
Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan
127.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar