Pasar
modal memiliki peranan yang penting terhadap
perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu
fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dalam fungsi ekonomi, pasar modal
menyediakan fasilitas untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang
memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (pihak yang
menerbitkan efek atau emiten). Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki
kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh
keuntungan (return), sedangkan perusahaan (issuer)
dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa menunggu
tersedianya dana operasional perusahaan. Dalam fungsi keuangan, pasar modal
memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh keuntungan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan
karakteristik investasi yang dipilih.
Pasar
modal diharapkan mampu meningkatkan aktivitas perekonomian, karena pasar modal
merupakan alternatif pendanaan jangka
panjang bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang
lebih besar dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan
kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Keberadaan
pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan
perekonomian nasional, terbukti telah banyak industri dan perusahaan yang
menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media
untuk memperkuat posisi keuangannya. Secara faktual pasar modal telah menjadi
pusat saraf finansial (financial nerve
centre) pada dunia ekonomi modern dewasa ini, bahkan perekonomian modern
tidak akan mungkin dapat eksis tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan
berdaya saing global serta terorganisir dengan baik. Selain itu, pasar modal
juga dijadikan salah satu indikator bagi perkembangan perekonomian suatu negara
(Ishomuddin, 2010).
Salah satu
indikator utama yang mencerminkan kinerja pasar modal apakah sedang mengalami
peningkatan (bullish) ataukah sedang
mengalami penurunan (bearish) yaitu
indeks harga saham gabungan (IHSG). Karena indeks harga saham gabungan (IHSG)
ini mencatat pergerakan harga saham dari semua sekuritas yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia. Sehingga pergerakan
indeks harga saham gabungan (IHSG) menjadi perhatian bagi semua investor di
Bursa Efek Indonesia, sebab pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) ini
akan mempengaruhi sikap para investor apakah akan membeli, menahan ataukah
menjual sahamnya.Selain itu kenaikan dan penurunan indeks harga saham gabungan
(IHSG) bursa merupakan sebuah ukuran atas persepsi pasar di luar kenaikan dan
penurunan nilai tukar valuta asing terhadap rupiah (Manurung, 2004).
Di pasar
modal sebuah indeks memiliki beberapa fungsi antara lain: indikator tren pasar,
indikator tingkat keuntungan dan tolok ukur (benchmark) kinerja suatu portofolio atau reksa dana (Fakhruddin,
2008). Indikator pasar modal ini dapat berfluktuasi seiring dengan perubahan
asumsi-asumsi makroekonomi yang ada. Seiring dengan indikator pasar modal,
indikator makroekonomi juga bersifat fluktuatif (Ishomuddin, 2010).
Indeks
IHSG mengalami fluktuasi dalam kurun waktu 1997-2011. Kondisi ekonomi dalam negeri maupun kondisi ekonomi
secara global memberikan warna tersendiri bagi fluktuasi pergerakan IHSG.
Fluktuasi IHSG sebagian besar diakibatkan oleh kejadian-kejadian di luar faktor
fundamental perusahaan, seperti keadaan makroekonomi yaitu Produk Domestik Bruto (PDB), laju inflasi,
tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang/ kurs (Thobarry, 2009).
Pasar modal
yang ada di Indonesia merupakan pasar yang
sedang berkembang yang dalam perkembangannya sangat rentan terhadap kondisi
makroekonomi secara umum serta kondisi ekonomi global dan pasar modal dunia.
Pengaruh makroekonomi tidak mempengaruhi
kinerja perusahaan secara seketika melainkan secara perlahan dan dalam jangka
waktu yang panjang. Sebaliknya harga saham akan terpengaruh dengan seketika
oleh perubahan faktor makroekonomi tersebut karena para investor lebih cepat
bereaksi. Ketika perubahan makroekonomi itu terjadi, para investor akan
memperhitungkan dampaknya baik yang positif maupun yang negatif terhadap
kinerja perusahaan beberapa tahun ke depan, kemudian mengambil keputusan
membeli, menjual atau menahan saham yang bersangkutan (Samsul, 2006). Oleh
karena itu harga saham lebih cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan
variabel makroekonomi daripada kinerja perusahaan yang bersangkutan.
Pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB) yang cepat merupakan indikasi terjadinya
pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi membaik, maka akan berdampak
positif terhadap harga saham suatu perusahaan. Pada tahun 2011 pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 2.313,8
trilyun di tahun 2010 ke 2.463,2 trilyun rupiah di tahun 2011 dan diikuti
dengan penguatan IHSG dari level 3.821,99 bps di tahun 2010 ke level 3.703,
51 bps di tahun 2011.
Depresiasi
rupiah dapat terjadi apabila faktor fundamental perekonomian Indonesia tidaklah kuat, sehingga
dolar Amerika akan menguat dan akan menurunkan Indeks Harga Saham Gabungan di
Bursa Efek Indonesia (BEI) (Sunariyah, 2006).
Hal ini dapat di lihat pada tahun 2001 di mana kurs rupiah terhadap dollar
Amerika mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 8.534 Rp/US$ di
tahun 2000 ke level 10.261 Rp/US$ di tahun 2001 dan depresiasi rupiah ini
disertai dengan menurunnya IHSG dari
level 416,32 bps di tahun 2000 ke level 392,04 bps di tahun 2001.
Kinerja
bursa efek ikut mengalami penurunan jika inflasi meningkat (Tandelilin, 2001). Hal
tersebut dapat terlihat pada tahun 1998 dimana tingkat inflasi mencapai 77,63% jauh
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berkisar 11,05 % dan peningkatan inflasi ini disertai
penurunan IHSG sebesar 3,67 bps. Hal ini juga terjadi pada tahun 2001 dan tahun
2008 di mana terjadi peningkatan inflasi yang disertai penurunan IHSG.
Tingginya tingkat suku bunga deposito berakibat negatif
terhadap pasar modal. Investor tidak lagi tertarik untuk menanamkan dananya di
pasar modal, karena total return yang diterima lebih kecil dibanding dengan
pendapatan dari bunga deposito. Akibat lebih lanjut, harga-harga saham di pasar modal mengalami penurunan yang
drastis (Jogiyanto, 2010). Hal ini terbukti pada tahun 2000 dimana BI Rate mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya yaitu dari 12.51 % di tahun 1999 ke 14.53 % di tahun 2000 dan
peningkatan BI Rate ini disertai
dengan penurunan IHSG yaitu dari 676,91 bps di tahun 1999 ke 416,32 bps di
tahun 2000.
Berdasarkan gambaran yang telah dikemukakan sebelumnya,
kondisi makroekonomi dapat dicerminkan pada indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini berarti
anggapan bahwa variabel-variabel makroekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
harga saham dalam kasus ini adalah IHSG dapat diterima secara umum (Dedi dan
Suyanto dalam Ishomuddin, 2010). Dan berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan
maka peneliti tertarik untuk mengambil judul : “ Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia Periode 1997-2011”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar