BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sejarah baru perkembangan perbankan Indonesia, ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan dikeluarkannya UU No.7/1992, tentang perbankan. Dimana pada UU No.7/1992 pasal 6 huruf “m” menyebutkan bahwa bank umum dapat melakukan usaha pembiayaan bagi nasabah berdasarkan “prinsip bagi hasil”sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Selanjutnya kemudian dilakukan amandemen terhadap UU No.7/1992 yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 10/1998. Pada UU No.10/1998 pasal 6 huruf “m” makin diperjelas bahwa bank umum dapat melakukan usaha “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan “Prinsip Syariah”, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk mempercepat implementasi UU No.10/1998, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional.
Selanjutnya kemudian dilakukan amandemen terhadap UU No.7/1992 yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 10/1998. Pada UU No.10/1998 pasal 6 huruf “m” makin diperjelas bahwa bank umum dapat melakukan usaha “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan “Prinsip Syariah”, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk mempercepat implementasi UU No.10/1998, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional.
Momentum penting lainnya yang mendukung perkembangan bank syariah di Indonesia adalah tepat tanggal 16 Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa MUI yang menyatakan bahwa bunga bank adalah haram. Hal ini menjadi pendorong sejumlah bank untuk mulai membuka unit usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dan terbukti dengan melihat tabel di bawah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari perkembangan perbankan syariah dilihat dari jumlah dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan.
Namun ada masalah seiring dengan pesatnya perkembangan jumlah bank syariah dan jumlah aset dari bank syariah tersebut. Yaitu pembiayaan mayoritas disalurkan pada debt financing yaitu sebesar 70,93% dengan komposisi murabahah 66.42%;lainnya 4,51%, sedangkan pembiayaan bagi hasil ( equity financing) hanya sebesar 29,07% dengan komposisi mudharabah 18,05%;musyarakah 11,02%. Hal ini dimaklumi bahwa debt financing mendominasi dunia perbankan syariah di awal – awal perkembangannya sebagian masih memandangnya wajar, karena berbagai kendala yang dihadapi dalam pembiayaan bagi hasil(equity financing). Kendala itu dapat bersifat internal maupun eksternal. Menurut Ascarya (peneliti senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia)
“Kendala internal adalah perbankan syariah masih terdapat masalah seperti pemahaman akan esensi perbankan syariah yang masih kurang, adanya orientasi bisnis dan usaha yang lebih diutamakan, kualitas serta kuantitas Sumber Daya yang belum memadai, sikap aversion to effort serta aversion to risk.”
Sehingga bank syariah menilai bahwa pembiayaan dengan sistem bagi hasil (equity financing) memiliki resiko tinggi dalam hal kerugian yang dapat terjadi dalam kurun waktu pembiayaan tersebut sehingga dapat menurunkan laba perusahaan karena pembiayaan bagi hasil tidak hanya bersifat berbagi untung tetapi juga berbagi rugi tetapi bila kerugian itu bukan merupakan kesalahan/kelalaian pihak yang diberi pembiayaan. Hal tersebutlah yang menjadi kendala eksternal karena karakter pembiayaan bagi hasil yang memerlukan tingkat kejujuran yang sangat tinggi dari pihak yang mendapatkan pembiayaan. Untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa usaha yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil menguntungkan dan dalam kondisi bagus serta memiliki prospek yang bagus pula maka bank syariah harus melakukan penelitian yang cermat dan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Inilah yang membuat bank syariah belum berani berekspansi dalam pembiayaan bagi hasil (equity financing).
Hal ini sangat ironis mengingat tujuan pendirian bank syariah menurut A. Wirman Syafei adalah
“Dalam rangka mencapai falaah (kemenangan dunia dan akhirat) dan turut menciptakan kehidupan yang lebih baik.”
Lebih lanjut A. Wirman Syafei mengutip pernyataan El-Ashker yang menyatakan bahwa
“Tujuan bank syariah menggambarkan bahwa bank syariah dilarang untuk menghasilkan laba maksimum (profit maximization). Tetapi bank syariah tetap didorong untuk menghasilkan laba tanpa harus melanggar prinsip syariah dan tanpa harus meninggalkan kontribusinya dalam peningkatan kualitas perekonomian umat (masyarakat muslim).”
Karena itu dalam menilai kinerja bank syariah tidak hanya menitikberatkan kepada kemampuan bank syariah dalam menghasilkan laba tetapi juga pada kepatuhan terhadap prinsip – pronsip syariah dan tujuan bank syariah tersebut. Abdus Samad dan M. Khabir Hassan dalam jurnalnya “The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Study”, mereka menilai profitabilitas dengan kriteria ROA (Return On Asset),ROE (Return On Equity) dimana kedua rasio ini menilai efisiensi manajemen, juga menggunakan PER (Profit Expense Ratio) yang menilai efisiensi biaya dimana menilai kemampuan bank menghasilkan profit tinggi dengan beban – beban yang harus ditanggungnya; tingkat likuiditas menggunakan CDR (Cash Deposit Ratio), LDR (Loan to Deposit Ratio),Current Ratio; tingkat solvabilitas dan risiko menggunakan DER (Debt to Equity Ratio), DTAR (Debt to Total Asset Ratio) , mereka juga menilai komitmen bank terhadap perekonomian dan komunitas muslim. Dimana penilaian ini berdasarkan pada seberapa besar bank syariah tersebut melakukan pembiayaan bersifat bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), menggunakan MMR (Mudharaba-Musyarakah Ratio) dimana semakin besar dana digunakan untuk pembiayaan bagi hasil maka menunjukan bahwa bank tersebut memiliki komitmen kuat dalam turut serta membangun kualitas umat muslim.
Menghadapi kenyataan seperti itu membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul :
“PENGARUH TINGKAT DEBT FINANCING DAN EQUITY FINANCING TERHADAP PROFIT EXPENSE RATIO PERBANKAN SYARIAH”
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka masalah – masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah :
1. Apakah tingkat debt financing dan equity financing berpengaruh secara bersama-sama (simultan) terhadap profit expense ratio bank syariah?
2. Apakah tingkat debt financing dan equity financing berpengaruh secara parsial terhadap profit expense ratio bank syariah?
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar