BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sektor pertanian telah dan terus
dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produksi
Domestik Bruto (PDB), sumber devisa melalui ekspor, penyediaan pangan dan
penyediaan bahan baku industri,
pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
Selain kontribusi langsung, sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang
langsung berupa efek pengganda (multiplier effect) berupa berkaitan
input-output antar industri dan investasi. Dampak pengganda tersebut relatif
besar, sehingga sektor pertanian layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam
pembangunan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan enam prioritas pembangunan
ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yang salah satunya adalah Revitalisasi
Pertanian (Rencana Strategi Pembangunan Pertanian Tahun 2005 – 2009).
Selama periode tahun 2000 – 2003
kinerja produksi komoditas pangan secara umum cukup menggembirakan. Produksi
komoditas padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar mengalami
peningkatan masing-masing : 0,53; 3,38; 3,22; 2,81 dan 2,35 persen per tahun,
namun rata-rata laju pertumbuhan komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar
18,48 persen per tahun, berdasarkan angka ramalan III Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2004.
Berdasarkan data tersebut di
atas, khususnya komoditas jagung masih dimungkinkan untuk ditingkatkan,
mengingat kebutuhan akan jagung setiap tahunnya selalu bertambah. Hal ini
disamping akan mengurangi import, juga akan meningkatkan pendapatan petani.
Dalam rangka menciptakan adanya
swasembada jagung, perlu kiranya adanya terobosan melakukan kegiatan secara
massal penanaman jagung Hibrida serta ditunjang dengan teknologi yang lain
secara intensif.
Masih rendahnya produksi jagung
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor teknis dan non teknis, hal
ini perlu mendapatkan perhatian yang serius agar hambatan dapat diatasi dengan
harapan produksi tanaman jagung dapat lebih maksimal sesuai dengan harapan kita
bersama.
Secara garis besar, peningkatan
produksi tanaman jagung tidak terlalu memerlukan teknologi yang tinggi, akan
tetapi cukup menyempurnakan teknologi yang ada ditambah dengan penggunaan benih
jagung hibrida. Berdasarkan data hasil percobaan di lapangan yang dilaksanakan
pada musim kemarau selama dua tahun, produksi jagung hibrida mencapai 12 ton
glondongan basah tanpa kulit, sedangkan jagung biasa yang diusahakan petani
rata-rata mencapai 6 ton glondongan basah tanpa kulit.
Desa Karangpring kecamatan
Sukorambi kabupaten Jember secara agroklimat sangat cocok untuk tanaman jagung,
kenyataan lapangan menunjukkan bahwa tanaman jagung dapat ditanam di lahan
kering maupun di lahan sawah.
Pengembangan tanaman jagung di
desa Karangpring saat ini penanganannya kebanyakan masih tradisional, artinya
petani masih menanam jagung jenis lokal atau benih dengan mutu kurang dapat
dipertanggung jawabkan. Hal ini terjadi di samping karena petani belum tahu
akan manfaat atau produksi yang dihasilkan jagung hibrida, mereka juga takut
menambah biaya mengingat harga benih jagung hibrida jauh lebih mahal bila
dibandingkan dengan harga benih jagung biasa.
Salah satu jenis jagung
hibrida adalah jenis N33 yang menurut
produsennya dapat menghasilkan sekitar 8,1 ton/ha dan memiliki potensi hasil
sebesar 10,2 – 12,1 ton/ha. Jagung jenis ini sudah mulai ditanam oleh para
petani di desa Karangpring. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian
apakah ada perbedaan keuntungan dan efisiensi usaha antara usahatani jagung
hibrida tersebut dengan keuntungan dan
efisiensi usahatani jagung yang masih menggunakan benih lokal.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Bab 2 sma 3 nya mana? Dapus bya jg
BalasHapus