BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Penelitian
Dilihat dari sisi produksi,saat
ini pembangunan pertanian Indonesia
telah maju selangkah dengan pesatnya laju peningkatan produksi padi dan tanaman
pangan lainnya. Namun dalam periode pembangunan, dewasa ini, dengan
semakin pesatnya pertambahan penduduk,
sektor pertanian dihadapkan pada masalah semakin terbatasnya ketersediaan
sumber lahan pertanian. Dalam laporan penelitian Azhari dkk (1995) dinyatakan
bahwa luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga mengalami pengurangan dari
18,35 juta hektar pada tahun 1983 menjadi 17,65 juta jektar pada tahun 1993
atau menurun sebesar 0,7 juta hektar.
Dari data sensus pertanian 1983-1993 menunjukkan jumlah rumah tangga
tani meningkat dari 18,7 juta menjadi 21,2 juta atau meningkat sebesar 13,3
persen. Peningkatan ini diikuti oleh kenaikan jumlah petani gurem yakni dari
9,5 juta menjadi 10,9 juta atau mengalami peningkatan sebesar 14,7 persen. Sementara
untuk pemilikan lahan per rumah tangga mengalami penurunan sebesar 15,3 persen
yaitu dari 0,98 ha menjadi 0,83 ha. ( Agus Suman, 1999 ).
Padahal peranan sektor pertanian bagi masyarakat pedesaan sangat
dipengaruhi oleh luas lahan. Dalam
hal ini lahan pertanian merupakan faktor produksi utama dalam menyerap tenaga
kerja dan sumber pendapatan petani.
Program intensifikasi bidang
pertanian di pedesaan membawa dampak yang luas terhadap persoalan-persoalan
ketenagakerjaan, di satu sisi ditunjukkan pada peningkatan kualitas dan
produktivitas lahan sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan
petani, namun disisi lain pemanfaatan teknologi pada program intensifikasi ini
justru mempersempit kesempatan kerja
dengan dasar efisiensi. Akibatnya banyak tenaga kerja yang tidak dapat bekerja
di sektor pertanian, hal ini ditandai dengan gejala waktu menganggur yang lebih
lama yang secara akumulatif dalam jangka panjang menyebabkan pendapatan rumah
tangga dari sektor pertanian mengalami penurunan ( Abdullah, Molo, Clauss, 1995
).
Tekanan pertambahan penduduk
dan penerapan teknologi di bidang pertanian dapat menimbulkan penurunan junmlah
pekerja di sektor pertanian. Keadaan ini dapat dilihat dari sensus penduduk yang menunjukkan bahwa
persentase penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian menurun dari
tahun ke tahun, yaitu sebesar 65,86 persen pada tahun 1971, sebesar 55,92
persen pada tahun 1980, dan 49,93 persen pada tahun 1990 (BPS,1992). Data
tersebut menunjukkan bahwa meski terjadi penurunan, namun sektor pertanian
masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar. Hal ini
mencerminkan bahwa masih sangat pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan
masyarakat pedesaan.
Hasil survey Agro
Ekonomi-Studi Dinamika Pedesaan pada tahun 1980-an memperlihatkan bahwa
pertanian merupakan sektor dasar, dimana sektor tersebut juga merupakan pasar
dan industri non pertanian setempat. Oleh karenanya terdapat hubungan positif
diantara kedua sektor tersebut. Sedangkan dipihak lain, tingkat kepadatan
penduduk juga berhubungan positif dengan aktivitas non pertanian, dimana
semakin tinggi kepadatan penduduk maka aktivitas non pertanian juga semakin
meningkat, karena terbatasnya persediaan lahan keadaan ini mencerminkan adanya
penawaran tenaga kerja yang semakin besar dari sektor pertanian untuk
memperoleh aktifitas-aktifitas diluar sektor pertanian (Nurmanaf ; 1989 )
Menurut Huisman (1994) di
Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa meskipun sektor pertanian
merupakan kegiatan ekonomi dari 75 persen rumah tangga yang diteliti, namun
hanya sepertiganya saja yang tergantung pada sektor tersebut, sedangkan
selebihnya mempunyai pendapatan lain selain usaha tani.
Adanya peluang untuk bekerja
di luar usaha tani mendorong petani membuat keputusan untuk mengaloksai tenaga
kerja yang tersedia menjadi lebih efisien, sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan
tingkat pendapatan usaha tani yang rendah, rumah tangga akan memaksimalkan
pendapatannya dengan jalan mengkombinasikan kegiatannya (Shand, 1986).
Birowo dan Hansen (1981)
menyatakan bahwa di pulau Jawa, dimana sebagian rumah tangga pedesaan terdiri dari
petani berlahan sempit dan petani tak berlahan, sehingga sebagian rumah tangga
petani harus mencari pendapatan lain untuk memperoleh pendapatan sebagai buruh
tani, berdagang, peternakan, industri rumah tangga, perikanan, dan aktivitas
lainnya.
Penelitian White (1981),
keragaman pekerjaan tersebut merupakan strategi pertahanan rumah tangga, dimana
sebagian anggota rumah tangga sebagai pekerja dibidang pertanian dan aktifitas
non pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sektor pertanian masih merupakan
sektor yang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yang sekaligus menunjukkan
masih sangat pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan masyarakat terutama di
pedesaan. (Anwar dan Pungut, 1993). Dan sampai saat ini pula pemerintah
menyatakan bahwa sektor pertanian masih mempunyai peranan yang strategis dalam
pembangunan, yang merupakan sumber utama kehidupan dan pendapatan masyarakat
petani, sebagai penghasil pangan bagi masyarakat, penghasil bahan mentah dan
bahan baku industri pengolahan, sebagai lapangan kerja dan lapangan usaha yang
menjadi sumber penghasilan masyarakat, sebagai sumber penghasil devisa negara,
dans ebagai salah satu unsur pelestraian lingkungan hidup.
Menurut Sawit dan
kawan-kawan (1985) secara umum pendapatan petani sekeluarga dapat bersumber
dari sektor pertanian dan sektor non pertanian. Alasan yang melatar belakangi
pernyataan tersebut berkisar antara kesempatan kerja dan pendapatan yaitu
antara lain :
1. Rendahnya pendapatan di sektor pertanian (usaha tani)
2. Pekerjaan dan pendapatan di usahatani pada umumnya
bersifat musiman
3. Usaha banyak
mengandung resiko ketidakpastian
Peranan sektor pertanian bagi kehidupan masyarakat di pedesaan sangat
ditentukan oleh luas lahan pertanian. Dalam hal ini lahan pertanian dalam
usahatani merupakan faktor produksi utama dalam menyerap tenaga kerja dan
sumber pendapatan petani, sehingga tinggi rendahnya penggunaan tenaga kerja dan
pendapatan petani antara lain akan ditentukan oleh luas lahan pertanian yang
dikuasai dan digarap. Menurut Guhardja dkk (1993) lahan pertanian merupakan
salah satu faktor produksi yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas, maka
luas lahan yang dikuasai dan digarap akan berpengaruh pada pendapatan yang
diterima.
Pentingnya lahan pertanian bagi penyerapan tenaga kerja dan pendapatan
petani serta kondisi menurunnya lahan pertanian, maka akan semakin sempitnya
pengusaan lahan pertanian bagi rumah tangga petani berarti semakin terbatas
pula kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan.
Menghadapi masalah kurangnya kesempatan kerja di pedesaan, umunya yang
ditempuh oleh petani antara lain adalah meninggalkan desanya untuk mengadu
nasib yakni melakukan migrasi ke kota baik secara ulang alik maupun menetap. Namun
migrasi ini bukannya tanpa masalah baik bagi daerah asal, daerah tujuan maupun
bagi migrasi itu sendiri lebih-lebih bagi yang tidak memiliki keterampilan. Untuk
itu upaya lain yang ditempuh adalah mencari peluang kerja disamping usaha
lainnya, misalnya usaha di sektor informal.
Menurut Sajogjo (1993), aspek dalam ketenagakerjaan di pedesaan
Indonesia adalah terdapatnya pola nafkah ganda. Untuk mencukupi kebutuhannya,
rumah tangga pedesaan mencurahkan
tenaganya dalam berbagai kegiatan nafkah. Rumah tangga yang tidak
memperoleh pendapatan yang cukup dari usaha tani, tentu saja memerlukan
sumber-sumber lain untuk menghidupi keluarganya. Sumber-sumber pendapatan ini
diperoleh dengan melibatkan diri pada berbagai kegiatan ekonomi baik dalam
maupun di luar desa. Setiap anggota rumah tangga yang telah dewasa diharapkan
dapat memberi sumbangan bagi pendapatan rumah tangganya.
Bekerja tidak penuh dalam usaha tani sulit dihindari walaupun lahan
pertanian cukup luas, hal ini dikarenakan sifat usaha tani musiman yang selalu
ada waktu luang untuk mengganggu pekerjaan berikutnya. Namun pada usahatani
lahan sempit, terjadinya bekerja tidak penuh bukan saja karena menunggu
pekerjaan yang diakibatkan oleh sifat musiman usaha tani, melainkan juga karena
pengaruh luas lahan garapan. Usahatani yang dengan lahan sempit, akan membatasi
petani mencurahkan jam kerja dan memperoleh pendapatan.
Permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga petani di pedesaan dengan
usaha tani lahan sempit ini perlu diatasi dengan mencari alternatif kesempatan
kerja lain yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan tanpa
meninggalkan usahatani, misalnya pekerjaan di sektor informal. Alternatif ini
diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di pedesaan, terutama
di pedesaan yang memiliki lahan garapan sempit.
Kajian terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi curahan jam kerja
rumah tangga petani di sektor informal ini dipandang penting, terutama untuk
memperoleh gambaran mengenai besarnya usaha di sektor informal dalam menyerap
jam kerja dan meningkatkan pendapatan, yang dapat menjadi informasi bagi
masyarakat pedesaan khususnya desa penelitian baik saat ini maupun masa yang
akan datang.
Curahan jam kerja di sektor
informal rumah tangga petani diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
selanjutnya perlu diketahui dan diperhitungkan berapa besar kontribusi
pendapatan yang diterima dari sektor informal terhadap pendapatan rumah tangga
petani.
Dengan mempelajari
variabel-variabel yang mempengaruhi curahan jam kerja rumah tangga petani di
sektor informal, diharapkan dapat membantu pemecahan masalah tentang bagaimana
mendorong sektor informal agar menjadi kegiatan yang intensif, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dan pendapatan rumah tangga. Dari hasil penelitian
ini pula diharapkan dapat disusun suatu pola kebijakan dan pembinaan yang dapat
mendorong rumah tangga pedesaan untuk mengaloksaikan tenaga kerjanya secara
lebih efisien.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar