I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan
pertanian pada dasarnya merupakan begian integral dari pembangunan nasional
dalam mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam jiwa Pancasila dan UUD 1945
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Sasaran pembangunan nasional dalam
jangka panjang ialah terciptanya struktur ekonomi yang seimbang, dengan
menciptakan kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh dalam mendukung
perkembangan sektor industri. Bentuk kontribusi utama sektor pertanian terhadap
pembangunan nasional umumnya diwujudkan dalam menghasilkan bahan pangan bagi
penduduk, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menyediakan
faktor produksi dalam bentuk tenaga kerja dan pembentukan modal investasi,
mendukung sektor non-pertanian melalui penyediaan bahan baku industri dan pasar
bagi produksi dalam negeri serta menghasilkan devisa melalui kegiatan ekspor
hasil pertanian.
Kebanyakan negara-negara Dunia Ketiga,
seperti halnya Indonesia, bahan pangan merupakan bagian terbesar dari komponen
konsumsi penduduk, fluktuasi harga pangan yang sangat tinggi dapat menggaggu
stabilitas kehidupan ekonomi yang tentu saja sangat mempengaruhi kinerja
pertumbuhan ekonomi. Bertitik tolak dari pendapat inilah, upaya pemerintah
dalam hal stabilisasi harga pangan masih cukup relevan, setidaknya sampai
tercipta suatu fase dimana pangsa pengeluaran terhadap bahan makanan tidak lagi
menjadi bagian yang sangat dominan.
Perubahan konsumsi tanaman pangan bergantung pada kenaikan dan distribusi
pendapatan, pengeluaran dan juga pada pembagian pengeluaran diantara
kelas-kelas pendapatan. Untuk setiap distribusi penambahan pengeluaran,
permintaan beras akan meningkat lebih pesat dari pada permintaan bahan pangan
sekunder lainnya (L. Squire, 1976:64).
Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas
bahan pangan agar kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan
kalori dan energi untuk menjanlakan aktifitas ekonomi dan kehidupan
sehari-hari. Menurut Bustanul Arifin (2001:51), penyediaan bahan pangan
tentunya dapat ditempuh melalui: (1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan
dan alokasi sumber daya alam, manajemen dan pengembangan sumber daya manusia,
serta aplikasi dan penguasaan tekhnologi yang optimal; dan (2) impor dari
negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor dan
subsektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar
negeri. Kedua komponen ini sebenarnya merupakan pengejawantahan dari konsep
swasembada pangan menurut kecenderungan dan kemandirian pangan.
Masalah pangan ini pun perlu dikaitkan dengan kepentingan pengembangan
otonomi daerah. Tiap daerah perlu mempertimbangkan dan mengembangkan keunggulan
kompetitif daerah masing-masing sesuai dengan potensi yang ada. Dengan begitu,
perdagangan antar daerah yang efisien dan aman menjadi suatu kondisi yang harus
dipenuhi dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan yang dikelola dalam rangka
berpikir ketahanan dan keamanan pangan, serta hak bebas lapar.
Selama ini semua kebijakan tentang pertanian selalu diatur dan ditetapkan
dari pusat, padahal potensi yang dimiliki suatu daerah satu sama lain berbeda. Apalagi
kalau berbicara tentang kebutuhan pangan masing-masing daerah, pasti yang akan
tampak ialah permintaan pangan yang tidak berimbang antar daerah satu dengan
yang lain sesuai dengan tingkat jumlah penduduknya dan potensi yang
dimilikinya. Dengan mengembangkan potensi daerah diharapkan akan mampu
meningkatkan produksi pangan yang ada pada masing-masing daerah.
Menurut Bustanul Arifin (2001:58), bagi Indonesia strategi produksi
pangan tidaklah harus linier atau menunggu perintah dari pusat, dan juga
tidaklah harus orientasi paket seperti pada fase introduksi teknologi baru
dalam Bimbingan Massal (BIMAS) dan Intesifikasi Khusus (INSUS) selama tiga
dasawarsa terakhir. Pada saat ini, sebagian besar petani telah mengetahui bahwa
penggunaan varietas baru, pupuk dan pestisida akan mampu meningkatkan produksi
dan produktivitas pertanian. Hal yang paling krusial adalah bagaimana sarana
produksi tersebut mampu tersedia tepat waktu, agar efisiensi (teknis dan
ekonomis) penggunaan faktor-faktor produksi tersebut dapat ditingkatkan, agar
sarana dan prasarana pendukung dalam produksi dan distribusi bahan pangan
menjadi lebih memadai.
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia,
khususnya Jawa Timur mengundang banyak pertanyaan apakah penyediaan bahan
pangan (gabah) oleh pemerintah mampu memenuhi kebutuhan penduduknya, padahal
bersamaan dengan itu pula penyempitan lahan subur akibat perluasan wilayah
industri dan perkotaan menjadi penghambat pemenuhan produksi pangan.
Pada tahun 2004 produksi pangan di Kabupaten Malang khususnya padi adalah
sebesar 234.811 ton, sedangkan kebutuhan akan bahan pangan sebesar 204.892,7
ton sehingga terjadi surplus bahan pangan sebesar 29.918,32 ton (Distanbun Kab.
Malang, 2004)
Produksi gabah di Kabupaten Malang yang surplus sebesar 29.918,32 ton
pada tahun 2004 tersebut dapat mendorong Badan Urusan Logistik Jawa Timur
melakukan pemebelian gabah. Untuk memenuhi penyediaan stok pangan nasional dan
untuk membantu petani agar harga gabah tidak merosot tajam, terutama pada saat
panen raya maka, Bulog melakukan pembelian gabah petani untuk pengadaan pangan.
Pada tahun 2004 permintaan untuk program pembelian gabah di Jawa Timur
sebesar 700.000 ton dengan total dana Rp. 1, 204 trilyun, sedangkan yang
terealisasi sebanyak 771.164 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan
505.138 ton beras. Secara keseluruhan, stock beras yang ada di gudang Bulog
Jawa Timur menjadi 795.105 ton. Apabila stock itu didistribusikan setiap
bulannya 43.000 ton beras itu akan habis dalam 18 bulan mendatang (www.d-infokom-jatim.go.id, Juni 2004). Jika dibandingkan dengan tahu sebelumnya yaitu
tahun 2003, Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur mematok target pengadaan gabah
sebanyak 900.000 ton. Sedangkan dana yang disediakan untuk pengadaan gabah
tidah jauh-jauh dari tahu sebelum dan sesudahnya, yakni berkisar 1,5 trilyun
(Amang, 1995).
Pemerintah telah melaksanakan kebijakan peningkatan ketahanan pangan yang
bertujuan untuk mendorong berkembangnya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan
ketahanan pangan mulai dari sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Dengan
demikian diharapakan nantinya akan dicapai kecukupan pangan sampai dengan
tingkat rumah tangga dengan mutu yang terjamin, aman dan terjangkau.
Selanjutnya untuk mendukung program ketahan pangan tersebut dan
melindungi petani dari merosotnya harga gabah terutama pada saat panen raya
pemerinta juga menerbitkan Inpres No. 9 tahun 2002 tentang per perberasan
nasional dengan tujuan mengefektifkan dan mengendalikan harga jual gabah maupun
harga bahan pangan strategis yang lain pada saat penawaran melebihi permintaan
atau pada saat penawaran diatas normal.
Pemerintah Jawa Timur, melalui Badan Ketahanan Pangan sangat mendukung
adanya instrumen kebijakan tersebut sehingga program ketahan pangan dapat
diwujudkan, sekaligus memberikan perlindungan pada sistem produksi dan
pemasaran padi agar tidak merugikan petani, sehingga upaya peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani dapat diwujudkan. Badan Ketahan Pangan
telah memulai program pembelian gabah oleh Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(LUEP) sejak tahun 2001, dengan dukungan penyediaan anggaran dari APBD I
Propinsi Jawa Timur dengan tijuan mengendalikan harga pada tingkat harga yang
wajar bagi petani dan bagi konsumen (BKP, 2003).
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar