I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Arah
kebijakan pembangunan ekonomi yang diamanatkan GBHN 1999-2004 secara garis
besar menyangkut proses transformasi dari keunggulan komparatif (comparative advantage) menuju pada
keunggulan kompetitif (competitive
advantage), proses pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai
aktor utama pembangunan ekonomi dan percepatan pembangunan ekonomi daerah dalam
rangka mempercepat otonomi daerah.
Pengembangan sektor
pertanian tidak terlepas dari visi dan misi pembangunan pertanian, dirumuskan
sebagai pertanian modern yang tangguh dan efisien. Namun demikian usaha untuk
membentuk pertanian yang tangguh dan efisien ini masih terhambat dengan masalah
klasik, yaitu banyaknya usaha pertanian keluarga yang pada umumnya berimplikasi
pada lingkaran permasalahan yang dimulai dengan lahan sempit yang berakibat
pada perolehan produk yang rendah. Selanjutnya adalah posisi tawar (bargaining position) petani yang lemah
dalam menjual produk tersebut ke pasar, harga jual produk yang rendah,
pendapatan petani yang rendah, investasi dan teknologi yang rendah, dan
akhirnya kembali pada tahun berikutnya kepada perolehan produk yang rendah.
Usaha memfungsikan komponen-komponen di atas bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, yang merupakan tahap awal
pengembangan usaha pertanian. Dengan peningkatan produksi, terbukalah
kesempatan berusaha di bidang pasca produksi, seperti pengolahan, distribusi
dan pemasaran. Tahap kedua ditujukan pada peningkatan kemampuan pelaku usaha
tani/petani untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna diinvestasikan
kembali ke usaha pertaniannya sehingga usahanya dapat tumbuh dan berkembang
dengan modal yang dibentuk setiap tahunnya. Tahap ketiga adalah
mengintegrasikan usaha pertanian dengan sektor industri dan sektor lainnya
untuk meningkatkan nilai tambah, yang dapat menjadi tambahan pendapatan
produsen di sektor pertanian.
Upaya
konsolidasi usahatani dengan pendekatan kelompok sehamparan sangat sulit
berhasil karena karakteristik usahatani tidak mendukung upaya tersebut, padahal
konsolidasi usahatani merupakan prasyarat bagi terciptanya sistem agribisnis
yang padu. Sistem agribisnis yang padu
sepanjang alur vertikal produk sangatlah penting untuk memberikan jaminan mutu (preference guarantee) bagi konsumen
yang merupakan salah satu unsur daya saing dalam era globalisasi perdagangan
komoditas pertanian. Berdasarkan
pengalaman berbagai inovasi kelembagaan peningkatan produksi dan karakteristik
usahatani di Indonesia, maka pendekatan cooperative farming merupakan
alternative kelembagaan yang realistik membangun konsolidasi usahatani agar
tercipta sistem agribisnis yang terpadu.
Yaitu
kerjasama ekonomi dari suatu kelompok petani dengan orientasi agribisnis
komersial melalui efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan efektivitas serta
efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
Model Cooperative
Farming diharapkan mampu mengangkat derajat petani dengan cara meningkatkan
nilai pendapatan (added value) yang
diperoleh petani. Dengan demikian dapat dirasakan oleh petani antara penerapan
model Cooperative Farming dengan
sebelumnya yang nota bene semunya dikelola sendiri dan banyak sekali kesulitan
pemenuhan bibit, pupuk, obat-obatan dan alsintan, serta sampai pada pemasaran
produk yang dihasilkan.
Untuk melaksanakan Cooperative farming di tingkat usahatani
di pedesaan maka dipandang perlu untuk melaksanakan kelembagaan cooperative farming ini dalam lingkup
terbatas terlebih dahulu (pilot project)
dan melihat dampaknya di masa uji coba itu secara terbatas. Berdasarkan
pemikiran ini maka penelitian tentang potensi pelaksanaan cooperative farming,
perbandingan usahatani sebelum melaksanakan cooperative
farming dan sesudah melaksanakan cooperative farming pada daerah yang
telah melaksanakan menjadi sangat penting. Setelah itu disusun langkah-langkahnya ke depan untuk perbaikan.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar