BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Memasuki
abad 21 yang ditandai dengan era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi
yang sangat pesat, merupakan dua hal yang mempengaruhi lingkungan bisnis.
Globalisasi menyebabkan terjadinya liberalisasi ekonomi/perdagangan, sedangkan
perkembangan teknologi informasi menyebabkan seakan-akan dunia tanpa batas dan
jarak geografis menjadi susut sehingga informasi dapat diakses secara mudah,
cepat dan serentak. Akibat kondisi tersebut lingkungan bisnis dapat berubah
dengan cepat dan bersifat turbulen serta persaingan bisnis akan terjadi sangat
keras dan kompetitif. Perusahaan yang tidak merespon perubahan lingkungan
bisnis tersebut akan mengalami kerugian-kerugian dan akan kalah bersaing
dipasar global yang pada akhirnya akan mengalami kebangkrutan. Dengan kondisi seperti ini, perusahaan harus
memikirkan kembali tujuan, sasaran dan perencanaan strategiknya demi
kelangsungan hidup perusahaan dan menciptakan
masa depannya.
Munculnya kerjasama antar
negara-negara di dunia baik regional maupun multilateral sebagai wujud proses
liberalisasi ekonomi/globalisasi perdagangan, dimana Negara Indonesi juga
terlibat dalam perjanjian kerjasama ekonomi tersebut misalnya untuk lingkup
Asia Tenggara yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang mulai dilaksanakan pada
tahun 2003 atau yang lain yaitu ASEAN Economic Cooperation (AEC) diharapkan
dilaksanakan sepenuhnya pada tahun 2020 seperti telah disepakati pada KTT ASEAN
pada tanggal 8 oktober 2003 di Bali; dan untuk lingkup Asia Pasifik yaitu Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC) yang dilaksanakan pada tahun 2010 serta Word Trade
Organition (WTO) yang akan terjadi pada tahun 2020 untuk skala dunia, merupakan
implikasi dari kesepakatan General Agreement of Tarrif and Trade (GATT) atau Uruguay Round yang berlangsung pada tahun
1992 . Didalam skema ini diantaranya penurunan dan penghapusan tarif dan non
tarif yang menghambat perdagangan (trade distorsion) akan berlaku untuk
setiap negara anggota sehingga tidak terjadi diskriminasi.
Kerjasama
ekonomi ini sangat besar manfaatnya dan mempunyai nilai yang positif dalam
proses menuju pasar bebas, karena kerjasama ekonomi bertujuan untuk saling
menumbuhkan dan mempertahankan tingkat perkembangan ekonomi yang stabil,
kerjasama ini dapat menciptakan regional self sufficiency (swasembada
regional) sehingga masing-masing negara yang ikut berpartisipasi dalam
kerjasama ini dapat mencapai suatu standar mutu kelas dunia. Pencapaian standar mutu dunia ini akan memacu
negara-negara untuk belajar meningkatkan kemampuan daya saing didalam kerjasama
ekonomi (Kotler dan Susanto, 1999).
Secara teoritis hal ini
merupakan peluang sekaligus juga ancaman bagi perdagangan/pasar produk
industri-industri dari Indonesia
terutama industri kecil, sehingga dituntut kewaspadaan karena tidak menutup
kemungkinan kerjasama ini dapat berubah menjadi bumerang bagi Indonesia.
Terjadinya badai krisis
ekonomi di Indonesia sejak pertengan tahun 1997, dimana dampaknya masih
terasakan sampai saat ini yang mengakibatkan runtuhnya beberapa industri
berskala besar, namum untuk industri kecil masih dapat bertahan bahkan ditemui
beberapa industri kecil yang berkembang karena adanya keuntungan dari nilai tukar mata uang dolar terhadap
mata uang rupiah yang naik drastis.
Kenyataan juga menunjukkan
bahwa industri kecil dalam keadaan tertentu (perekonomian yang kurang
menguntungkan) ternyata penuh vitalitas, mampu untuk tumbuh dan berkembang
secara wajar serta tahan terhadap gejolak karena mempunyai fleksibilitas dan
adaptabilitas dalam memperoleh sumber bahan baku
dan mesin/peralatan penunjang (RIPPIK di Kabupaten Kediri,
2002).
Runtuhnya beberapa industri
berskala besar di Indonesia disebabkan industri berskala besar yang umumnya
mempunyai ciri-ciri import content yang tinggi dan berorentasi pada pasar dalam
negeri (inward looking) yang didukung oleh fasilitas proteksi sehingga
sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar dan external shock. Dipihak lain,
industri kecil yang umumnya mempunyai ciri-ciri local content yang tinggi dan
proporsi produknya yang dieksport lebih tahan terhadap gejolak baik internal
shock maupun eksternal shock (Sukiadi, 2001).
Walaupun
memiliki kelebihan-kelebihan demikian, industri kecil menghadapi berbagai
permasalahan terutama persaingan yang sangat ketat karena rendahnya barrier of
entry and exit, sehingga perusahaan yang mampu bertahan hanyalah perusahan yang
benar-benar memiliki tingkat efisiensi tinggi. Beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh industri kecil umumnya adalah sebagai berikut (Sukiadi, 2001) :
1. Industri kecil/pengusaha
kecil tidak memiliki sistem pembukuan yang paling sederhana sekalipun. Hal ini
merupakan salah satu faktor utama mengapa industri kecil tidak memiliki akses yang memadai
terhadap jasa perbankan;
2. Industri
kecil/pengusaha kecil menghadapi kesulitan dalam meningkatkan kualitas
produknya. Karena sebagian besar industri kecil masih mengandalkan pengembangan
teknologinya pada upaya sendiri yang sudah tentu amat terbatas;
3. Pengembangan
industri kecil kerapkali dihadang oleh keterbatasan kemampuan dalam memasarkan
produk-produknya, terutama pengembangan pasar eksport;
4. Pengenalan
sifat bahan baku dan pengadaannya, bahan-bahan baku relatif sulit untuk diperoleh dan
tidak ekonomis jika dibeli/dipesan dalam partai kecil.
Oleh karena itu, upaya
untuk membangun, mengembangkan dan memberdayakan industri kecil merupakan suatu
hal yang sangat vital untuk dilakukan, mengingat peranan yang sangat penting dan strategis dari industri kecil
yang mampu memperluas lapangan usaha dan
menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan,
pengembangan ekonomi pedesaan, dan pemanfaatan sumber daya alam lokal serta
kontribusinya yang cukup besar dalam menyumbang devisa negara dari kegiatan
eksportnya.
Di
Kabupaten Kediri terdapat beraneka ragam industri kecil yang tumbuh dan
berkembang. Menurut Data dari Dinas Pemasaran Kabupaten Kediri didalam buku
Kabupaten Kediri Membangun pada tahun 2003 terdapat 1.715 unit industri kecil
yang dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu :
1.
Industri
Mesin Logam dan Elektronika (IMLE) sebanyak 174 unit industri kecil
2.
Industri
Aneka (IA) sebanyak 56 unit industri kecil
3.
Industri
Hasil Pertanian dan Kehutanan (IHPK) sebanyak 1.485 unit industri kecil.
Kondisi industri kecil di
Kabupaten Kediri masih dihadapkan pada
berbagai permasalahan antara lain menyangkut aspek pemasaran, teknologi,
permodalan, manejemen dan lingkungan hidup. Dalam rangka membangun industri
kecil diperlukan perencanaan yang tepat dan matang dengan memprioritaskan potensi lokal pertanian
sebagai bahan baku industri (RIPPIK
Kabupaten Kediri, 2002).
Desa Slumbung di Kecamatan
Ngadiluwih merupakan salah satu desa sentra industri kecil gula merah di
Kabupaten Kediri, dimana pada tahun 2004 terdapat 32 pengusaha industri kecil gulah merah yang
masih aktif berproduksi (data dari Kepala Desa Slumbung dan lapangan). Berbagai
permasalahan, kendala dan tantangan telah dihadapi oleh para pengusaha industri
kecil gula merah di Desa Slumbung dalam menjalankan usaha industri kecilnya,
namun kenyataan dilapangan sampai saat ini industri kecil gula merah di Desa
Slumbung Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri masih tetap hidup.
Berdasarkan uraian-uraian
tersebut diatas, penulis sangat tertarik untuk meneliti tentang ” Analisis
Variabel-variabel yang Mempengaruhi Keberhasilan Industri Kecil Gula Merah di
Desa Slumbung Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri
”.
Judul
: Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Keberhasilan Industri Kecil Gula Merah Di Desa ... Kecamatan ... Kabupaten ... (PRT-60))
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar