BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
dunia ilmu sosial, kebudayaan umumnya diperlakukan sebagai suatu variabel
independen dan kontekstual yang berguna untuk menerangkan variasi-variasi
perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hubungan ilmu politik dari
pendekatan ini terdapat pada karya tulis Gabriel Almond dan Sidney Verba, The
Civic Culture, sebuah analisis komparatif lima negara mengenai hubungan
antara sikap rakyat terhadap politik dan demokrasi yang stabil. Pendekatan ini
diterapkan kepada Dunia Ketiga dan amat berpengaruh di dalam buku Lucian Pye
dan Sidney Verba yaitu, Political Culture and Political Development. Pye
menulis: Pandangan budaya politik adalah sikap, sentimen, dan kesadaran yang
memberi informasi serta mengatur perilaku politik di dalam setiap kelompok
masyarakat adalah bukan hanya kumpulan sembarangan, tetapi mewakili pola-pola
yang koheren, yang sama-sama sesuai dan saling memperkuat.[1]
Budaya
politik merupakan bagian dari kehidupan politik, walaupun sementara pihak seringkali
memandang budaya politik tak lebih hanya sebagai kondisi-kondisi yang mewarnai
corak kehidupan masyarakat, tanpa memiliki hubungan baik dengan sistem politik
maupun struktur politik. Budaya politik tidak diperhitungkan sama sekali dalam
proses-proses politik. Asumsi itu banyak digunakan sebelum berkembangnya
pendekatan yang mendasarkan diri pada budaya politik.
Budaya
politik merupakan fenomena dalam masyarakat, yang memiliki pengaruh terhadap
struktur dan sistem politik. Sehingga Rusadi, dalam membahas budaya politik
menyamakan dengan struktur politik, karena berhubungan dengan fungsi konversi (conversion
function), dan kapabilitas (capabilities). Dalam membahas
keterkaitan antara budaya politik dengan sistem politik, budaya politik perlu
dikedepankan karena menyangkut disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan
fenomena masyarakat. Terlebih lagi sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian
dari ilmu sosial (social system) yang hidup dalam sociosphere
yang merupakan bidang telaah baik sosiologi, antropologi maupun geografi.[2]
Budaya
politik tertentu selalu inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri
atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tradisional,
transisional maupun modern. Dengan meneliti budaya politik kita akan mengenal atribut
dan ciri-ciri yang terpokok untuk menguji proses yang berlanjut maupun yang
berubah seirama dengan proses perkembangan, perubahan atau mutasi sosial.
Sebagaimana
dikemukakan ilmuwan politik seperti Immanuel H. Beer dan Adam B. Ulam atau oleh
Gilbert Abcarian dan George S. Masanat, bahwa salah satu variabel sistem
politik adalah kebudayaan politik. Bahkan oleh sementara ilmuwan politik
dikatakan bahwa kebudayaan politik (political culture) merupakan salah
satu variabel penting dalam sistem politik, karena variabel ini lebih
mencerminkan faktor-faktor subyektif dibanding dengan variabel-variabel
lainnya. Dalam hal ini, kebudayaan politik lebih dimaksudkan sebagai
keseluruhan pandangan politik seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap
politik, legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijaksanaan
pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparatur pemerintah serta
gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah, dan bahkan dianggap
sebagai pandangan hidup manusia pada umumnya.[3]
Dalam
studi-studi politik Indonesia, penerapan yang paling dikenal dari pandangan
hubungan antara budaya dan politik, adalah buku Benedict Anderson The Idea
of Power in Javanese Culture. Secara singkat Anderson memperkenalkan empat
sifat dari apa yang dia percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional Jawa,
yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang
kontras secara tajam dengan ide kekuasaaan barat, konsep ini sebagaimana
Anderson memahaminya. Lau dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran Jawa
sebagai piranti analisis dengan mempergunakannya untuk menafsirkan berbagai
keputusan-keputusan kebijaksanaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.[4]
Bila
dibandingkan pendekatan dari Anderson dengan konsepsi Robert Bellah mengenai
budaya politik Amerika di dalam bukunya, Habits of the Heart: Dari
masa-masa awalnya, orang Amerika sudah melihat maksud dan tujuan bangsa sebagai
upaya merealisasikan harapan Injili lama tentang suatu masyarakat adil yang
penuh kasih, sebagian berjuang membina semangat hidupnya dan undang-undang
bangsa sesuai dengan cita-cita kewarganegaraan dan partisipasi republikan.
Masih ada yang lainnya, yaitu yang mengemukakan mimpi-mimpi nyata mengenai
nasib baik dan kemenangan nasional. Dan selalu ada para pendukung, yang sering
kali bergairah, bahwa kebebasan berarti semangat wiraswasta dan adanya hak
menimbun kekayaan serta kekuasaan untuk pribadi.[5]
Buku Bellah selanjutnya menguji bagaimana berbagai sub budaya ini: harapan
Injili, republikan, nasionalis dan individualis berinteraksi sekarang.
Tidak
adanya piranti-piranti analisis dengan mana memahami bagaimana budaya-budaya
berubah atau dipertahankan dari masa ke masa. Kita perlu untuk memeriksa
nilai-nilai, kepercayaan dan adat, bukan saja sebagai pikiran-pikiran, tetapi
ketika nilai, kepercayaan dan adat itu berhubungan dengan proses-proses dan
lembaga-lembaga internasional dan domestik yang konkret, naik turunnya gerakan
kelompok-kelompok dan arus-arus sosial dan politik. Dan hal ini sangat
dipengaruhi oleh sistem politik yang ada di suatu negara.
Kehidupan manusia di dalam
masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia
dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan
manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia
tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan
papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan
eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian
upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik
tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam
kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik
yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak
langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang
peristiwa politik yang terjadi. Dan jika secara langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam
peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang
merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan
pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah
menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang
praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu,
seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan
sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan
lai-lain.
Kegiatan politik juga
memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya
politik langsung mempengaruhi
kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
Dalam dunia keagamaan dan dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu
keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Di satu pihak, masyarakat agama
memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan
politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan
sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas
atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan
berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan
politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan
kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus
dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis.
Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan
kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi
kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika
agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam
agama Islam Paradigma pemikiran yang berkembang seputar korelasi antara politik
dan agama, selalu diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang.
Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis.
Masing-masing kelompok ini intens mengembangkan premis-premis yang mendukung
pendapatnya dalam berbagai tulisan, buku, dan wacana.[6]
Perspektif
kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih hanya
sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan
mereka mengklaim bahwa agama dan politik adalah suatu hal yang mustahil untuk
dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik
dengan nilai-nilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan
akhirat. Sementara politik adalah kreatifitas dan rekaan akal manusia, karakteristiknya
pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya tidak lebih hanya
pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia barat, namun cukup
banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama, semisal Ali
Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Pasha.
Berbeda
dengan tokoh-tokoh seperti Khairuddin At-Tunisy, Muhammad Abduh, Hasan
Al-Banna, Syakib Arselan, dan Al-Maududi. Mereka melihat bahwa Islam, disamping
sebagai akidah, juga merupakan syariah, peraturan, serta perundangan yang mengatur
seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai akidah dan syariah, dakwah dan negara,
serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga
perspektif:[7]
Pertama,
Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik
dimensi materil ataupun spirituil, baik secara individu maupun kolektif dalam
konteks kehidupan bernegara. Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas
dari hukum (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah). Barangkali apa yang telah
Allah firmankan dalam surat An-Nahl ayat 89: “...Dan kami turunkan kitab
(Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk,
rahmat, serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri," merupakan
justifikasi nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif.
Kedua,
Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan dan pengamalan
nilai-nilainya, karena seluruh aturan dan dogma yang ada di dalamnya merupakan
suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Seorang muslim tidak hanya
harus menerjemahkan kemuslimannya di mesjid, mushalla, akad pernikahan, dan
sebagainya. Akan tetapi ia harus tetap menjadi seorang muslim ketika bergelut
di dunia bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam
berperang pun, ia harus tetap menjaga etika yang telah diajarkan Islam dalam
peperangan. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman masuklah
kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah
setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208), ”dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”.
(QS. As-Sajadah: 24).
Ketiga,
Sejak dahulu kala hingga saat ini, peradaban dan kebudayaan dimanapun sadar
bahwa sebuah institusi negara atau kekuatan politik merupakan salah satu sarana
terpenting untuk menjalankan seluruh aktifitas penerapan hukum, perundangan,
pengajaran, dan perlindungan terhadap segala bentuk kerusakan secara internal,
maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk merampas ataupun
menjajah. Bukan hanya itu, realitas dunia modern saat ini justru lebih menuntut
seluruh komponen umat merambah semua sektor riil dan peluang serta potensi yang
ada untuk mengambil peran. Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan
religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional.
Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan
kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini
agaknya masih jauh dari kenyataan.
Di
Indonesia kita mengenal salah satu kelompok sosial-religius yaitu santri. Para
sarjana yang berminat terhadap telaah mengenai suku Jawa selalu mengenal dengan
baik istilah santri yang khas itu. Istilah dan konsep santri telah terkenal
akrab dan sering dipakai dalam karya-karya para sarjana tentang sejarah ,
politik dan masyarakat Jawa. Di samping para penulis dari Indonesia, Clifford
Geertz ahli antropologi asal Amerika Serikat yang terkemuka, menggunakan
istilah tersebut secara luas dalam karyanya, The Religion of Java
(1960). Telaah terhadap golongan santri memang penting, khususnya untuk orang
yang hendak memeriksa dengan seksama perkembangan Islam di Jawa.
Dalam
setiap pemilu, kaum santri adalah kekuatan sosial dan politik yang selalu
diperhitungkan. Pertautan elit dan santri itu akan membekali legitimasi bagi
seorang calon presiden. SBY pun tak mau kehilangan kesempatan meraih kaum
santri ini. Disinilah, konvergensi kepentingan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri acara Jambore Santri Nusantara di Jatinangor,
Jawa Barat. Jambore yang berlangsung 15-20 Juni 2009 lalu ini diikuti oleh
6.000 santri dari 800 pesantren se-Indonesia.[8]
SBY
dan kaum santri yang acaranya berlangsung meriah ini juga dimaksudkan untuk
menjalin tali silaturahmi para santri, sekaligus sebagai upaya elit untuk
mengkooptasi para santri ini. Dalam jambore ini, juga diisi dengan perlombaan
yang menampilkan kreativitas para santri. Diperkirakan, ratusan kiai hadir
dalam acara tersebut, dengan menggelar pertemuan bersama para santri, jelas
suatu kekuatan sosial sudah diserap oleh SBY untuk menopang dukungan bagi
pencalonannya. Dengan cara itu, SBY ingin menunjukkan komitmennya pula bagi
kaum santri yang tersebar di negeri ini. Dukungan kaum santri bagi SBY sangat
bermakna secara politik maupun ideologi.
SBY
jelas berkepentingan agar tidak ada oposisi dari kaum santri. Bagaimanapun, SBY
sadar bahwa tumbuhnya oposisi santri, yakni sikap kritis terhadap kebijakan
pemerintah yang dilancarkan kalangan santri, baik dari kalangan NU maupun
Muhammadiyah dan lainnya, merupakan ancaman bagi legitimasi pemerintah. SBY
berkeinginan menyerap aspirasi kaum santri secara simbolik, meski sesudah itu,
seperti biasanya, kaum santri kemudian hanya menjadi penonton di luar panggung
teater negara.
Dari
dulu, sebagai modal sosial, kaum santri hanya menjadi obyek politik karena
lemah dari segi modal ekonomi. “Namun demikian, pesantren tetap menjadi basis sosial
yang diperhitungkan, menurut pengamat politik Unair Prof. Kacung Maridjan. SBY
yang didera isu neoliberalisme, jelas sangat paham bahwa oposisi santri
otomatis senantiasa berjalan, karena kritisisme mereka terhadap berbagai
kebijakan negara sudah menjadi perintah iman dan keyakinan. Kritisisme itu merupakan
akibat logis dari ajaran Islam yang senantiasa menekankan prinsip amar
ma`ruf nahi munkar.[9]
Dengan titik temu SBY dan kaum santri itu, oposisionis santri bisa dikurangi,
jika pun tak bisa diredam sama sekali. Di sisi lain, semua berharap santri dapat
berkembang dan mendapatkan posisi strategis dalam kehidupan ekonomi dan
berkebangsaan.
Hal
di atas berlaku juga untuk Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah,
Makassar. Pondok pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan
bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No.
7 Makassar khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relevan
dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka pembinaan pondok
pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di pare-pare menetapkan
agar Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek pengkaderan
Muhammadiyah.
Sebagaimana
dikemukakan Haedar Nashir, hubungan Muhammadiyah dan politik dapat di ketahui
dari dua variabel. Variabel pertama adalah aspek teologis atau pemikiran-pemikiran
keagamaan yang dianut Muhammadiyah dan memiliki persentuhan dengan dunia
politik, yang memberi gambaran mengenai pandangan Muhammadiyah tentang politik.
Variabel kedua ialah aspek sosio-historis atau sosiologis, yang melukiskan
kenyataan sejarah dan pengalaman sosiologis dalam politik yang dialami
Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada tahun 1912.[10]
Dalam
bagian sejarahnya Muhammadiyah sering terlibat dalam percaturan politik, bahkan
pernah menjadi Anggota Istimewa Partai Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Kendati diakui pula bahwa
keterlibatannya dalam politik tampaknya tidak sejauh Nahdhatul Ulama (NU) yang
pernah menjadi partai politik. Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik dengan
tidak pernah menjadi partai politik menjadi kekuatan tersendiri. Muhammadiyah
menjadi tampak lebih memiliki pengaruh sebagai moral force dan political
force yang memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan (interest
group) yang kuat karena didukung oleh massa yang relatif besar terutama
dari masyarakat kelas menengah kota.
Haedar
Nashir juga mengemukakan bahwa, Muhammadiyah pada bagian umum sejarah yang
dilaluinya menunjukkan sikap dan prilaku politik yang akomodatif, artinya
relatif lentur dalam menghadapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah
tanpa harus terpisah dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan Islam amar
ma’ruf nahi munkar. Sikap dan prilaku yang cenderung akomodatif ini
ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam bagian-bagian lain dari
sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas dalam
menyikapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada umumnya.[11]
Hal
ini dibuktikan dengan hubungan Muhammadiyah dengan dunia politik yang bersifat
personal dan tidak langsung, ditandai oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh
puncak Muhammadiyah yang memperoleh dukungan luas dari anggota Muhammadiyah
dalam membidani kelahiran dan mendukung keberadaan partai politik tertentu.
Pola hubungan ini dikatakan bersifat tidak langsung karena tidak memiliki
kaitan formal dan organisatoris langsung dengan Muhammadiyah. Dalam konteks
organisasi Muhammadiyah sering pula disebut dengan hubungan yang bersifat moral
dan sosiologis, atau hubungan ideologis.
Hal
ini dapat terlihat dari pembentukan Partai Amanat Nasional pada tahun 1998.
Kelahiran PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais merupakan fenomena
menarik karena dianggap sebagai eksperimen politik tokoh santri dalam membangun
partai politik baru yang bersifat majemuk di tengah suasana baru yaitu era
reformasi. Secara formal dan langsung Muhammadiyah tidak memiliki kaitan
organisatoris dengan partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta itu.[12]
Sebagai
proyek pengkaderan Muhammadiyah Pondok Pesantren Darul Arqam juga memiliki
hubungan yang bersifat personal dan tidak langsung dengan dunia politik. Hal
ini dapat terlihat oleh keterlibatan aktif alumni pondok pesantren dengan politik
yang memperoleh dukungan dari pondok pesantren, seperti Anis Matta (Sekjen PKS),
Ridwan Hamsah (anggota DPRD Kota Makassar), Syamsi Ali (Ketua KPU Bulukumba),
dan Wakil Ketua DPRD Jeneponto. Walaupun secara kelembagaan mereka tidak
memiliki kaitan yang formal dengan pondok pesantren. Sebagaimana juga
dikemukakan Ust. Ridwan salah seorang pengajar bahwa PAN mendapat dukungan dari
sebagian besar elemen pondok pesantren.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar