BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor usaha pertanian (agribisnis) berperan besar
dalam pembangunan baik secara langsung
terhadap pembentukan Product Domestic Bruto (PDB), penyedia lapangan
kerja, sumber pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa
melalui ekspor dan penciptaan ketahanan pangan nasional, maupun tidak langsung
yaitu melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan
hubungan sinergis dengan sektor lainnya.
Keberhasilan pembangunan pertanian berarti
keberhasilan dalam membangun sebagian besar penduduk Indonesia, mengingat
sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor
pertanian. Kontribusi sektor agribisnis
dalam pembangunan nasional sangat besar dibanding sektor yang lain. Pada kurun waktu 1990 – 1995 PDB sektor
agribisnis menyumbang nilai tambah (added value) yang signifikan dari 45 %
menjadi 47 % ; menyerap tenaga kerja dari 75 % menjadi 77 %; ekspor sektor
agribisnis dari 43 % menjadi 49 %.
Sektor agribisnis juga berperan adalam penyediaan pangan masyarakat
dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok yaitu beras. Komoditas ini meru-pakan
komoditas yang erat hubungannya dengan ketahanan pangan nasional, stabilitas
ekonomi, katahanan sosial, stabilitas politik dan ketahanan nasional
(Departemen Pertanian, 2002).
Mengingat pentingnya sektor agribisnis dalam
pembangunan nasional, menuntut keberpihakan negara melalui Departemen Pertanian
kepada rakyat petani yang porsinya besar dalam memberi penghidupan kepada
rakyat. Keberpihakan pemerintah kepada petani sangat penting karena
pembangunan pertanian dihadapkan pada berbagai tantangan seperti perubahan
pemerintahan yang lebih demokratis dengan otonomi daerah, hak azazi manusia dan
globalisasi. Bersamaan dengan itu, perlu
dukungan kebijakan makro serta regulasi pengaturan yang kondusif agar seluruh
sub sistem agribisnis tanaman pangan dapat berfungsi secara harmonis dan
optimal. Peranan pemerintah adalah
memobilisasi pelaku agribisnis dan mensinergiskan dengan kekuatan petani untuk
dapat melakukan efisiensi usahatani, meningkatkan nilai tambah hasil pertanian
serta melakukan pemupukan modal (investasi).
Tujuan keberpihakan pemerintah kepada petani tidak
saja untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, namun lebih dari itu diharapkan mampu memberdayakan
masyarakat tani dan membentuk petani yang mandiri agar petani di era
globalisasi dapat terus survive.
Keberpihakan formal pemerintah terhadap petani
dapat dilihat melalui visi pembangunan sistem agribisnis nasional yaitu
terwujudnya Perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan
usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan
terdesentralisasi.
Untuk mewujudkan sistem dan usaha agribisnis yang
demikian diperlukan serangkaian kebijakan pembangunan sebagai berikut : (1)
kebijakan makro ekonomi (moneter, fiskal) yang bersahabat dengan pembangunan
sistem dan usaha agribisnis; (2) kebijakan pengembangan industri (industry
policy) yang memberi prioritas pada pengembangan kluster industri (industry
cluster) agribisnis; (3) kebijakan perdagangan internasional (trade
policy) yang netral baik secara
sektoral, domistik maupun antar negara dalam kerangka mewujudkan suatu free
trade yang fair trade ; (4) pengembangan infra struktur (jalan, pelabuhan,
listrik, telepon, pengairan) daerah ; (5) pengembangan kelembagaan
(institusional policy) baik lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan sumberdaya manusia dan penyuluhan,
dan pengembangan kelembagaan dan organisasi ekonomi petani ; (6)
pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan ; (7) pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan agribinis daerah; (8) ketahanan pangan; (9) kebijakan khusus
komoditi spesifik.
Keberpihakan riil pemerintah terhadap
petani diwujudkan dengan pengucuran Proyek Pemberdayaan Petani dan Agribisnis
di Pedesaan tahun anggaran 2001. Proyek
ini dikeluarkan dengan pertimbangan Kredit Usaha Tani (KUT) yang ada sebelumnya
telah dihapus dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (komisi III) mendesak pemerintah untuk
membantu petani melalui penguatan modal yang disalurkan ke rekening kelompok
yang lebih dikenal dengan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Keberpihakan riil
pemerintah melalui program pemberdayaan petani melalui usaha kelompok
dengan pola BLM pada tahun anggaran 2001 di kabupaten Kediri telah menghabiskan
dana sebesar Rp 1.400.000.000 (satu milyar empat ratus juta rupiah). Pengucuran dana ini mendapat tanggapan yang
negatif maupun positif oleh beberapa kalangan.
Tanggapan negatif karena kawatir petani tidak mampu mengelola dan
menggunakan dana secara efektif, sedang tanggapan positif menilai proyek ini
sangat efektif karena dapat menekan / mengurangi kebocoran dana dan memberi
kebebasan kepada petani untuk mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhannya.
Proyek
dengan pola BLM ini dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas
Pertanian Kabupaten yang diharapkan dapat menjadi model dasar yang dapat
diperbaiki.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
seru juga ya ternyata
BalasHapus