BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai bangsa maritim yang memiliki pantai terpanjang di dunia,
dengan garis pantai lebih 81.000
km. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang
lebih 9.261 desa dikatagorikan sebagai desa pesisir. Desa- desa pesisir
adalah kantong- kantong kemiskinan struktural yang potensial. Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa- desa pesisir telah menjadikan penduduk
di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang tidak dapat dipastikan
kapan masa
berakhirnya. Kerawanan dibidang sosial- ekonomi
dapat
menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan- kerawanan
dibidang kehidupan yang lain.
Di samping sebagai
Negara maritim
Indonesia juga merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan 81.000 Km garis pantai, dimana sekitar 70 % wilayah
teritorialnya berupa laut. Selain
beberapa
pulau
besar, sebagian besar dari 17.508
pulau itu adalah pulau- pulau kecil yang tidak berpenghuni. Bahkan
hanya 5.700 yang mempunyai nama. Ada pula pulau- pulau kecil yang dihuni penduduk, meskipun
jumlahnya sedikit.Dengan
perairan laut seluas
total 5,8 juta Km2
(berdasarkan konvensi
PBB
tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya
hayati dan
non
hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam
Resosudarmo, dkk.,2002). Hal ini menyebabkan sebahagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Jumlah
nelayan perikanan laut di
Indonesia menurut
kategori nelayan maka status nelayan
penuh
merupakan
jumlah terbesar dari nelayan
sambilan
utama maupun nelayan
sambilan
tambahan dan jumlah ini setiap tahunnya
menunjukkan peningkatan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002). Hal ini mempunyai indikasi bahwa jumlah nelayan
yang cukup besar ini merupakan suatu potensi yang besar dalam pembangunan perikanan.
Masyarakat nelayan
harus
menggali
dan
mengembangkan
berbagai potensi sosial- budaya yang dimiliki dan berakar
kuat
dalam struktur sosial mereka, seperti pranata-
pranata atau kelembagaan yang ada, jaringan
sosial, dan sebagainya, sehingga
masyarakat nelayan bisa keluar dari kemiskinan struktural.
Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan
sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti
lemahnya manajemen
usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan,
rendahnya peranan
masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, dan
lain
sebagainya mengakibatkan kehidupan
nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan.
Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan
serta kurangnya informasi sebagai akibat keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari
masyarakat pulau-pulau kecil. Hasil pembangunan selama ini belum dinikmati oleh
masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil. Masyarakat diletakkan sebagai obyek
pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan, dengan demikian
dibutuhkan perhatian dan
keinginan yang
tinggi
untuk
memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan
sebagai pengelola
sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang mandiri dan bertanggung jawab, diperlukan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendayagunakan
secara efektif kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Dalam kaitan
ini, pengembangan masyarakat pantai merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber pesisir dan lautbagi kemakmuran masyarakatnya, sehingga perlu digunakan suatu pendekatan dimana masyarakat sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan.
Ketertinggalan dalam
strategi
pengembangan masyarakat pantai,
tidak
hanya
dilihat sebagai masalah sosial
dan budaya
sehingga perlu perubahan ekstrem dalam
sistem sosial
atau
nilai-nilai budaya, melainkan lebih sebagai
masalah
integral. Oleh karena itu, penyelesaiannya
perlu
dilakukan melalui strategi yang komprehensif dengan menempatkan sistem sosial-ekonomi dan nilai budaya
yang
sudah melekat
didalam masyarakat sebagai faktor pendorong perubahan. Selain itu, peningkatan produktivitas masyarakat pantai lebih menjadi sasaran dalam
proses
pembangunan guna memajukan kesejahteraan serta menyongsong kemandirian daerah
secara berkelanjutan. Perkembangan
ini pada muaranya akan meningkatkan harkat
sumber daya manusia,
kualitas dan sistem atau pranata sosial masyarakat.
Masyarakat nelayan selama kurang
lebih 32 tahun kekuasaan Orde Baru hampir sama sekali tidak mendapatkan sentuhan
kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Persoalannya adalah
pengambil kebijakan di negeri ini belum
memahami secara komprehensif apa
sebenarnya
akar permasalahan kemiskinan
nelayan. Tingkat sosial ekonomi yang rendah merupakan
ciri umum kehidupan nelayan dimana pun berada. Tingkat kehidupan mereka sedikit di atas pekerja migrant atau setaraf dengan
petani kecil. Bahkan jika dibandingkan secara seksama
dengan kelompok masyarakat lain disektor pertanian, nelayan
(khususnya nelayan buruh dan nelayan kecil
atau
nelayan tradisional) dapat
digolongkan sebagai
lapisan sosial yang paling miskin.
Pembangunan perikanan memang seperti paradoks. Sumber daya perikanan yang potensial dan
mampu menggenjot penerimaan ekonomi yang
tinggi
ternyata
tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku perikanan itu sendiri.
Nelayan Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan
pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar