Nelayan dengan sistem perekonomian mereka yang unik merupakan hal yang
menarik dikaji. Mereka menjalankan model ekonomi yang berbeda dengan masyarakat
lain yang membudidayakan ikan. Misalnya, nelayan tangkap memanfaatkan laut yang
sifatnya open access, sementara
nelayan yang membudidayakan ikan memiliki penguasan atas lahan budidayanya
(Ahmadin; 2009:23-24, 47-51). Lingkungan laut yang mereka hadapi memberi
karakter khusus yang berbeda dengan masyarakat lain yang lingkungannya relatif
lebih mudah dikuasai (Lampe; 1989: 2-6)[1].
Berbagai keunikan yang ditemukan oleh para peneliti dalam masyarakat
nelayan mendorong untuk melakukan pengkajian yang mendalam tentang kelembagaan
mereka (lihat misalnya Ahmadin; 2009:47-57, 87-90; Kusnadi; 2006: 1-4). Studi yang dilakukan mengenai struktur organisasi
nelayan (punggawa-sawi) memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam mengelola
suatu usaha perikanan, punggawa adalah figur yang harus memiliki sejumlah modal
dan kemampuan managemen yang baik. Punggawa harus memiliki kemampuan menjalin
hubungan baik dengan para kliennya dengan cara dermawan, rela berkorban demi
kepentingan sawi beserta keluarganya agar usahanya tetap berjalan dengan baik.
Modal yang sulit dimiliki oleh orang lain ini menjadikan punggawa sebagai
“penyelamat” bagi ekonomi nelayan. Selain itu, punggawa adalah sosok pemimpin
yang hebat dalam memimpin sebuah organisasi ekonomi. Hal ini membuat kita lupa
bahwa masih ada komponen masyarakat lain yang ternyata belum dijelaskan dengan
baik oleh para pengkaji sebelumnya. Mereka adalah para istri punggawa, yang
memiliki potensi besar dalam mempengaruhi usaha punggawa.
Meskipun kondisi sumber daya alam kehidupan nelayan dan struktur
organisasinya menarik untuk dibahas, tetapi tidak berarti membuat kita lupa
untuk memperhatikan kehidupan perempuan. Bagaimanapun, istri nelayan khususnya
istri punggawa juga merupakan komponen utama dalam sosial masyarakatnya.
Mungkin saja mereka memiliki pengaruh terhadap perkembangan kehidupan nelayan
atau secara khusus mempengaruhi dinamika usaha perikanan yang ada di sekitarnya.
Hal ini senada dengan temuan Kusnadi, dkk (2006:81) bahwa dengan memperhatikan
peran domestik-publik, istri nelayan tidak hanya memberi konstribusi peran pada
kehidupan rumah tangganya, tetapi juga pada dinamika sosial masyarakat
mereka.
Sebenarnya, pengkajian mengenai perempuan nelayan bukanlah sesuatu yang
baru dalam kalangan akademisi khususnya ilmuan sosial. Telah banyak karya yang
dihasilkan oleh peneliti pendahulu. Kita dapat menemukan bagaimana kehidupan
perempuan nelayan dalam karya Sanatang (2006)[2],
Andayani (2006)[3],
Abbas dkk (2004)[4],
Damayanti (2009)[5],
dan masih banyak karya yang memusatkan perhatian tentang perempuan nelayan.
Namun, kajian yang dilakukan fokus pada istri nelayan secara umum, padahal
mereka memiliki tingkat-tingkat sosial-ekonomi yang berbeda, di mana hal ini
dapat berpengaruh terhadap peran yang mereka mainkan. Beberapa kajian juga difokuskan
pada perempuan yang dianggap kurang mampu secara ekonomi atau lahir dari
keluarga yang kurang mampu. Berbeda dengan studi yang hendak dilakukan penulis,
masalah yang hendak diteliti difokuskan pada istri punggawa yang telah memiliki
tingkat ekonomi menengah ke atas. Selain itu, penelitian ini tidak bermaksud
mengungkap model eksploitasi terhadap perempuan khususnya istri punggawa,
melainkan untuk mengidentifikasi peran-peran menentukan istri punggawa termasuk
faktor-faktor yang membentuknya, dan bagaimana peran tersebut merupakan suatu
bentuk “kerjasama” antara punggawa dan istrinya dalam rangka mempertahankan dan
memajukan usaha, atau bagaimana hubungan timbal balik antara peran istri dengan
usaha suami.
Abdullah (2006:248) mengatakan bahwa, realitas kehidupan kaum perempuan
harus dilihat berdasarkan konteks di mana mereka memainkan peran. Hal ini
disebabkan tidak semua perempuan memiliki pengalaman yang sama dan status
sosial yang sama. Dengan demikian, harus dibedakan antara peran istri nelayan
yang tingkat ekonominya rendah dengan peran istri nelayan (nelayan pemodal)
yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Istri nelayan yang ekonominya rendah jelas
memiliki peran yang besar dalam menopang ekonomi keluarga karena hal tersebut merupakan
tuntutan untuk mempertahankan hidup. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Suratiyah
dkk (1994:23) bahwa faktor pendorong masuknya wanita pada kegiatan produktif
terutama disebabkan oleh pendapatan suami yang kurang mencukupi. Sedangkan
istri punggawa yang tergolong berekonomi menengah ke atas belum tentu berperan
langsung dalam usaha suaminya. Hal tersebut dapat terjadi karena dorongan untuk
terlibat dalam usaha mencari nafkah telah berkurang akibat kebutuhan ekonominya
telah dipenuhi oleh suami. Bila demikian, lantas, apakah istri punggawa tidak berperan
dalam pengelolaan usaha suaminya? Atau justru terjadi hal sebaliknya?
Menurut Sanatang (2006:61-64), pada masyarakat nelayan, istri memiliki
kewenangan dalam mengatur keuangan rumah tangga, sementara suami (nelayan)
berkewajiban untuk mencari nafkah. Hal ini merupakan bentuk pembagian peran
antara suami dengan istri. Hanya saja, dalam karya Sanatang tersebut belum
ditemukan adanya korelasi antara peran istri sebagai pemegang uang dengan
pekerjaan suaminya. Misalnya, apakah suami ketika hendak membuka usaha (yang
mana hal ini adalah urusan publik) harus meminta pertimbangan pada istri karena
bagaimanapun istri adalah bendahara keluarga?
Menurut Kusnadi, dkk (2006:59), pengambilan keputusan rumah tangga nelayan
mutlak dilakukan dengan musyawarah antara suami dengan istri ketika hal yang hendak
dputuskan memerlukan biaya yang relatif tinggi. Hal ini disebabkan kedua pihak
bertanggung jawab pada kelangsungan hidup keluarga. Dengan demikian, suami yang
berperan dalam wilayah publik tetap melakukan musyawarah dengan istri bila
urusannya dapat berimplikasi terhadap rumah tangga. Namun, temuan ini masih
bersifat umum pada keluarga nelayan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
peneltian tentang realitas perempuan harus dilihat berdasarkan konteksnya.
Penelitian yang dilakukan ini difokuskan pada istri punggawa (nelayan pemilik
modal), dimana suaminya memiliki usaha yang relatif besar. Usaha yang besar
tidak hanya menyangkut modal yang besar tetapi juga membutuhkan tenaga kerja
yang banyak. Dengan demikian, ketika punggawa telah memiliki tenaga kerja yang
banyak, maka kiranya penting melihat peran istri, apakah istri tidak perlu
berperan dalam usaha suami bila pekerjaan-pekerjaan dalam usaha dapat
diselesaikan oleh tenaga kerja yang direkrut oleh suami? Atau apakah ada peran
istri yang lain yang secara tidak langsung signifikan berpengaruh terhadap
usaha suami?
Berdasarkan perihal di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul
“Peran Istri Punggawa Dalam Managemen
Usaha Perikanan di Pulau Bone Tambung Kota Makassar”.
Judul : Peran Istri Ponggawa dalam Manajemen Usaha Perikanan di Pulau Bonetambung Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar (ANT-4)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar