Adanya globalisasi semakin memperluas dan
meningkatkan hubungan yang melintasi batas-batas negara, terutama dalam bidang
ekonomi, sosial, dan budaya. Seperti hal lainnya, globalisai juga memiliki
dampak positif dan negatif. Diluar dari dampak positif, globalisasi juga
mendatangkan dampak negatif yang termasuk di dalamnya seperti; perubahan iklim,
perdagangan manusia, terorisme, konflik etnis, dan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Dengan adanya berbagai macam permasalahan yang terjadi di dunia
internasional, sehingga membuat negara-negara di dunia berusaha membuat aturan
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Adapun salah satu usaha untuk
menyelesaikan permasalahan tentang HAM, maka badan organisasi internasional
seperti United Nations (PBB) membuat
komisi HAM yang diberi nama Comission on
Human Rights.
Dewasa ini masalah HAM menjadi isu yang
sering dibicarakan dan menjadi pembahasan di sebagian negara-negara dunia.
Masalah HAM sudah dikenal sejak zaman dulu di berbagai kawasan dunia, akan
tetapi negara-negara Barat yang pertama kali mengenalkan tentang masalah HAM.
Meskipun di negara-negara ketiga telah mengenal bentuk hak-hak tertentu
mengenai warganya, akan tetapi tidak seperti yang dikenal oleh negara-negara Barat.
Sehingga pemikiran negara-negara Barat mengenai HAM lebih mendominasi, terutama
pemikran-pemikiran negara yang tergabung dalam Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB). Dimana PBB telah merumuskan masalah tentang HAM
yang dapat diterima secara universal.
HAM dianggap sebagai hak dasar yang dimiliki
oleh setiap manusia. Dimana hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir. Dalam
proses perkembangannya, HAM mengalami perkembangan dengan bermunculan berbagai
tuntutan dari manusia itu sendiri dan perkembangan zaman. Proses perkembangan
HAM juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan masyarakatnya. Adapun
macam-macam HAM, seperti; hak untuk hidup, hak untuk hidup tanpa ada rasa
takut, hak kebebasan, hak untuk bebas, hak untuk memiliki kepercayaan, hak
untuk memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat, dan
sebagainya.[1]
Munculnya isu-isu baru dalam hubungan
internasional juga akan berpengaruh terhadap aktifitas, cara, metode, dan
aktor-aktor diplomasi. Masyarakat internasional tidak hanya berkepentingan terhadap
masalah-masalah politik dan keamanan, tetapi telah meningkatkan kepedulian
mereka terhadap isu-isu hak asasi manusia dan semakin meningkatnya kebutuhan
untuk dapat memperoleh serta mengakses informasi secara bebas. Semakin
meningkatnya kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia juga semakin banyak
bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terutama di sejumlah negara
berkembang.
Setiap negara memiliki politik luar negeri
yang berbeda. Poltik luar negeri juga dimaknai sebagai sebuah identitas yang
menjadi karakteristik tersendiri dari suatu negara dengan negara lain di dunia.
Politik luar negeri merupakan cerminan dari kepentingan nasional suatu negara.
Seperti yang diketahui, adapun landasan dari politik luar negeri Amerika
Serikat, yakni HAM, Demokratisasi, Free
Trade, lingkungan hidup dan keamanan internasional.
Negara Amerika Serikat
sebagai pemenang dalam Perang Dunia II
sehingga menjadikannya negara super
power, serta menjadi salah satu negara yang memiliki Hak Veto dalam Dewan
Keamanan PBB menyebabkan Amerika Serikat sering melibatkan diri dalam
permasalahan-permasalah yang terjadi di
negara lain. Dengan adanya kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat,
sering kali negara-negara di dunia meminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Akan
tetapi, dengan berjalannya waktu Amerika Serikat juga secara langsung ataupun
tidak langsung telah melakukan berbagai bentuk intervensi. Intervensi yang
dilakukan ialah untuk memperoleh apa yang dapat menguntungkan Amerika Serikat
itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi di Libya. Amerika Serikat melakukan
intervensi militer kepada Libya melalui NATO.
Intervensi Amerika Serikat
di Libya diatasnamakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena banyak
rakyat Libya yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Gaddafi dan
menimbulkan banyak rakyat Libya yang tewas bahkan ada sebagian rakyat Libya
berusaha mencari perlindungan di negara-negara tetangganya. Libya merupakan
salah satu negara penghasil minyak terbesar. Amerika Serikat merupakan negara
industri, sehingga sangat membutuhkan minyak. Untuk dapat menguasai minyak di
Libya, Amerika Serikat harus menurunkan rezim Gaddafi yang selama ini dikenal
sebagai salah satu pemimpin dunia yang anti terhadap Amerika Serikat.
Adapun pembenaran dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan
berbagai negara anggota sekutu lainnya dalam membombardir Libya adalah
intervensi kemanusiaan karena beberapa pelanggaran HAM berat yang dilakukan
oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Pemerintah Amerika Serikat pada Era Barack Obama
sebagai presiden dengan adanya resolusi PBB yang memberikan kewenangan
intervensi internasional di Libya untuk mengijinkan bantuan seperti memasok
senjata-senjata ke oposisi Libya. Barack Obama percaya resolusi PBB yang memberikan
kewenangan intervensi internasional di Libya memiliki peluang untuk mengizinkan
bantuan seperti itu. [2]
Aktor dalam hubungan internasional saat ini
tidak lagi hanya didominasi oleh negara,
tapi juga di lakukan oleh individu, NGO, kelompok teroris, serta MNC (Multinational Corporation). Bagi Negara-negara berkembang, dengan masuknya investor
asing ke negaranya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya. Dampak
masuknya investasi asing, yakni akan membuka banyak lapangan kerja sehingga
mengurangi kemiskinan dan akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara melalui upah yang di dapat oleh pekerja. MNC merupakan salah satu
bentuk dari investasi asing langsung dalam bentuk pendirian perusahaan yang
merupakan cabang dari perusahaan induk yang berada di negara asalnya.
Menjamurnya MNC merupakan salah satu pengaruh dari sistem kapitalis Amerika Serikat
di dunia internasional.
Perkembangan MNC ini
merupakan bentuk dari globalisasi ekonomi. Globalisasi perekonomian
mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal,
barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara
akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian
internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan
membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara
kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke
dalam pasar domestik.
Perusahaan Multinasional atau yang sering
disebut dengan MNC ini merupakan bentuk dari globalisasi ekonomi Amerika Serikat
untuk menyebarkan pengaruhnya di dunia. Laporan dari Business Week (4-11 Agustus, 2005) menyebutkan, delapan dari sepuluh MNC terbesar di dunia bermarkas
di Amerika Serikat, yaitu Coca-Cola, Microsoft, IBM, GE, Intel, Disney,
McDonald’s, dan Marlboro. Dari seratus merek dunia, 62 di antaranya adalah dari
Amerika Serikat. Dapat dilihat dewasa ini MNC Amerika Serikat yang telah
menjamur dimana-mana, seperti; McDonalds, Exxon, Coca-Cola, Microsoft, Chevron,
dan Freeport yang juga berada di Indonesia dan berbagai negara di penjuru
dunia. Hal ini nampak bahwa MNC telah menguasai seluruh bidang dari kehidupan manusia. [3]
Salah satu yang membuat para investor
menanamkan investasinya terutama dalam bentuk investasi asing langsung (FDI)
dengan mendirikan perusahaan di negara yang di datangi (home country), akan memberikan berbagai macam manfaat. Salah satu
manfaatnya, yakni akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Akan tetapi, dengan prinsip dari MNC ingin mendapat keuntungan yang maksimal,
biasanya MNC memberikan upah yang rendah dibandingkan dengan upah buruh yang
ada di negaranya ataupun standar upah minimum. Hal ini, merupakan salah satu
alasan perusahaan-perusahaan ini mendirikan anak perusahaan di negara lain. MNC
juga seharusnya mematuhi peraturan yang ada di negara yang di datangi, akan
tetapi kadangkala MNC banyak melakukan berbagai macam pelanggaran aturan-aturan
di negara tempat beroperasinya (host country) yang berujung pada pelanggaran HAM. Salah
satunya adalah aksi mogok buruh PT. Freeport Indonesia (PTFI) karena
pekerja/buruh tersebut merasa gaji/upah yang mereka terima sangat rendah.
Karena, dengan hadirnya MNC seperti Freeport
di suatu daerah seperti di Papua, maka secara tidak langsung akan
meningkatkan standar kehidupan masyarakat di sana dan yang menjadi
pekerja/buruh di PTFI kebanyakan merupakan masyarakat asli Papua.
Salah satu MNC asal Amerika Serikat yang ada di
Indonesia, yakni PTFI yang
merupakan anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang
beroperasi di Papua. Pada 1 Mei 1963 Papua masuk ke dalam kesatuan Republik
Indonesia dan pada tanggal 5 April 1967 Freeport melakukan perjanjian Kontrak
Karya (KK) untuk 30 tahun dengan pemerintah Indonesia, sehingga Freeport
menjadi perusahaan satu-satunya yang menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. Kontrak Karya I seharusnya berakhir pada tahun
1997, akan tetapi di perpanjang pada 30 september 1991 selama 30 tahun lagi.[4]
Dalam karakteristik KK di dalamnya seluruh
urusan manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang/perusahaan (MNC).
Berdasarkan Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah Indonesia, pemegang saham
terbesar yaitu Freeprt McMoran Coppert & Gold Inc (AS) 81,28%, Pemerintah
Indonesia 9,36%, dan PT. Indocopper Investama 9,36 %. [5]
Masuknya Papua dalam NKRI serta juga diikuti oleh masuknya Freeport di
Indonesia dengan melakukan KK yang pada saat itu Indonesia dipimpin oleh
Soeharto dan beroperasi hingga sekarang ini. Berdasarkan karakteristik dari KK
itu sendiri dapat disimpulkan bahwa yang
mendapatkan keuntungan yang lebih adalah perusahaan.
Adapaun hubungan antara kepentingan nasional
dan politik luar negeri dari suatu negara tidak dapat dipisahkan. Keduanya
saling mendukung satu sama lain, karena yang menjadi rumusan mengenai
kepentingan nasional akan dipergunakan sebagai pedoman dan landasan dalam
melaksanakan kebijakan luar negeri suatu negara untuk negara lain. Seperti juga
hubungan Amerika Serikat - Indonesia, dalam melakukan hubungan bilateral semuanya tidak terlepas dari
kepentingan nasional dari masing-masing negara yang diperjuangkan dalam politik
luar negeri kedua negara tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan
dalam negeri, biasanya negara akan melakukan hubungan internasional dengan
negara-negara lain. Selain itu, untuk menjalin hubungan bilateral biasanya
suatu negara harus mengetahui potensi serta kekurangan yang dimiliki oleh
negara lain. Hal ini merupakan hal dasar bagi suatu negara untuk menjalin hubungan
dengan negara lain. Seperti halnya hubungan antara Amerika Serikat-Indonesia.
Amerika Serikat melihat Indonesia sebagai negara demokrasi yang memiliki SDA
yang melimpah, memiliki jumlah penduduk yang banyak, negara islam moderat
terbesar di dunia dan juga sama-sama negara yang memiliki beraneka ragam budaya
seperti halnya penduduk Amerika Serikat.
Seperti halnya Amerika Serikat akan mendapatkan keuntungan berupa pajak
dari Freeport yang ada di Indonesia. Pajak yang diterima akan meningkat apabila
keuntungan yang didapat PTFI juga meningkat, begitu pula sebaliknya jika PTFI
mengalami hambatan dalam pengoperasiannya secara tidak langsung akan
mempengaruhi pemasukan bagi Amerika Serikat itu sendiri. Hal ini juga terjadi
pada Indonesia sebagai host country yang juga mendapat keuntungan dari pajak,
dividen, dan lain-lain.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan salah
satu MNC Amerika Serikat yang ada di Indonesia yang bergerak pada sektor
pertambangan. Sehingga dengan keberadaan Freeport di Indonesia diharapkan dapat
membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, selain manfaat yang di
dapat dengan tersedianya lapangan kerja dan berbagai pendapatan bagi negara
terdapat juga hal yang merugikan. Seperti, pada masalah lapangan kerja yang
sering menjadi sorotan di home country adalah eksploitasi terhadap pekerja lokal
oleh MNC. Dengan dalil menekan biaya produksi dan tersedianya upah buruh yang
rendah tentu menjadi komoditas MNC dalam melakukan ekspansi bisnis. Tidak
tertutup kemungkinan, kesempatan untuk mendapatkan buruh dengan upah yang murah
dijadikan eksploitasi atas para pekerja lokal. Terkait dengan rendahnya upah
buruh yang rendah oleh MNC, akan tetapi MNC masih menjual produknya dengan
harga yang relatif tinggi. Hal ini pun dilakukan oleh PTFI yang beroperasi di
salah satu provinsi Indonesia-Papua. Dimana gaji buruh yang diterima oleh buruh
PTFI sangat murah bila dibandingkan dengan gaji buruh Freeport dinegara lain
maupun MNC yang sama bergerak dalam bidang pertambangan.
Antara pekerja/buruh dan pengusaha mempunyai persamaan
kepentingan ialah untuk kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan. Akan
tetapi, di sisi lain hubungan antar keduanya juga memiliki perbedaan dan bahkan
potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi
yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak yang pada dasarnya
memang ada. Salah satu penyebab konflik yaitu jika
kepentingan salah satu pihak atau di antara kedua belah pihak ada yang merasa
dirugikan. Hal inilah yang melatarbelakangi pegawai/ buruh PTFI untuk melakukan mogok dan meminta kenaikan upah
mereka. Seperti yang diketahui sebagian besar pekerja di PTFI
merupakan penduduk asli Papua. Dengan meningkatnya standar hidup yang tinggi di
Papua, yang juga salah satu dampak akibat adanya MNC di daerah mereka.
Dilihat dalam kasus pemogokan buruh Freeport
di Indonesia. Salah satu pemicu buruh PTFI ini melakukan pemogokan, karena
mereka merasa di rugikan dengan gaji yang menurut mereka sangat rendah. Gaji
yang diterima buruh PTFI termasuk yang sangat rendah dibandingkan MNC Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Berdasarkan KK
keuntungan yang di terima Freeport Indonesia lebih banyak dibandingkan yang di
dapat pemerintah Indonesia. Begitupun dengan gaji
pekerja/butuh PTFI yang berada seperti di Afrika dan New York memiliki gaji
sepuluh kali lipat dibandingkan yang diterima oleh buruh di Indonesia. Kontribusi PTFI telah membayar 2 miliar dolar Amerika Serikat yang terdiri dari
pajak, royalti, dan dividen pada 9 bulan pertama di tahun 2011 dan 13,4 miliar
dolar Amerika Serikat secara total sejak 1992 berdasarkan Kontrak Karya saat
ini kepada pemerintah Indonesia[6].
Adanya perbedaan yang sangat jauh antara gaji
pekerja/buruh Freeport yang ada di Indonesia dengan gaji buruh Freeport di
negara lain sehingga menimbulkan berbagai masalah. Demonstarasi yang diikuti oleh pemogokan dari
buruh PTFI pada 15 September 2011 yang menyebabkan beberapa buruh tewas, untuk
menuntut kenaikan upah mereka dari US$ 35/jam dari sebelumnya berkisar US$ 2.1
/jam hingga US$ 3,5/jam. Sementara upah buruh Freeport di Amerika sendiri
mencapai US$ 66,43/ jam.[7]
Tidak bias dipungkiri hubungan antara MNC dengan negara asalnya tidak dapat
dipisahkan. Kadangkala, secara tidak langsung MNC juga mempengaruhi kebijakan host country dans home country dan tidak terkecuali Amerika Serikat. Amerika Serikat
sebagai negara adikuasa menyebabkan negara ini dengan mudah dapat
mengintervensi negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang untuk
memenuhi kepentingannya.
Permasalahaan ini menimbulkan
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pekerja/buruh untuk menuntut hak
mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat digolongkan
dalam pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport di Indonesia. Berdasarkan UU No.
13/2003 RI, telah diatur tentang mogok kerja merupakan hal yang sah dilakukan.
Akan tetapi, bagi pihak Freeport mogok kerja merupakan hal yang tidak sah,
karena akan membawa dampak negatif secara finansial, terutama bagi perusahaan.
Selama sebagian besar pekerja/buruh PTFI mogok kerja dan berdemonstrasi untuk
meminta kenaikan upah gaji, akan tetapi respon yang diberikan oleh pihak dari
Freeport yang awalnya tidak ingin menaikan upah gaji buruhnya berusaha untuk
menghentikan para demonstran dengan berbagai cara. Cara yang dilakukan seperti,
meminta bantuan kepolisian maupun TNI untuk membubarkan aksi mogok. Sehingga,
secara langsung Freeport telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia (HAM)
berdasarkan UU No 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan.
Dengan
adanya fenomena tentang berbagai masalah yang ditimbulkan oleh PTFI dimana
merujuk pada pelanggaran HAM, sehingga secara tidak langsung Amerika Serikat
sebagai home country dari Freeport McMoran akan terlibat, karena sebagai
negara asal Freeport dan menjadi negara yang sangat menjunjung tentang HAM
sehingga fenomena tersebut menarik untuk di kaji lebih jauh. Hal ini mendorong
penulis untuk melakukan penelitian dengan judul; “Sikap Pemerintah Amerika Serikat Terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia
(Studi Kasus: PT. Freeport ).”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar