Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang yang memliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal (hewan sosial) (Soerjono Soekanto 1982).
Sebagai makhluk sosial, manusia akan mencari hakikat dirinya, sumbernya dan untuk apa ia hidup dan sebagainya. Adanya tindakan-tindakan manusia merupakan perwujudan dari ide-ide serta pikiran-pikiran guna memperoleh sesuatu sebagai kebutuhan, demikian pula terhadap hubungan timbal balik antara sesamanya salah satu hubungan sosial antara manusia yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah hubungan manusia lain, hubungan mana yang kelak menjadi tali pengikat untuk suatu hubungan darah kekerabatan yaitu perkawinan
Perkawinan adalah suatu istilah yang hampir tiap hari di dengar atau di baca di media massa. Namun kalau di tanyakan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut, maka biasanya orang akan berfikir terlebih dahulu untuk mendapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah itu telah ada pada pikiran dengan jelas.
Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan yang di akui sah oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas suatu kelahiran anak-anak mereka. Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan diantara mereka yang kawin saja, tapi juga melibatkan hubungan-hubungan diantara kerabat-kerabat dari masing-masing pasangan tersebut.
Menurut Ensiklopedia Indonesia dalam Walgito (2000) perkataan perkawinan = nikah. Sedangkan menurut purwadarmini (1976) kawin : perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah: perkawinan – pernikahan. Disamping itu menurut Hornby (1957) marriage : the union of two person as husband and wife. Ini berarti bahwa perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri.
Arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status baru oleh orang lain. Demikian pula perkawinan warisan para leluhur yang mempunyai nilai dalam kehidupan sosial juga merupakan salah satu cara untuk mengumumkan status seseorang untuk diakui sebagai keluarga. Selain itu perkawinan juga salah satu cara untuk melegalisasikan suatu status sosial dan menciptakan hak dan kewajiban yang diakui secara hukum.
Dalam undang-undang perkawinan nasional Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa.”.
Selain itu, perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupu istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dank kukuh selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakraldan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Walaupun dasar atau landasan mereka yang kawin adalah hubungan kelamin, tetapi hubungan itu melibatkan hubungan-hubungan emosi dan perasaan, kasih sayang, hubungan politik dan hubungan sosial (widjaya,1986). Dengan kata lain, perkawinan bukan saja pertautan antara dua insan, tetapi juga merupakan pertautan antara dua keluarga yang sanggup membawa diri dan melebur sebagai keluarga sendiri. Suatu perkawinan membutuhkan adanya suatu pembauran yang bersifat positif kedua insan yang mengalaminya, yang mendukung terciptanya suatu kehidupan yang harmonis.
Proses perkawinan pada tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya perkawinan tersebut, maupun dari segi kompleksitas perkawinan itu sendiri. Karena dalam perkawinan yang terjadi bukan hanya sekedar menyatukan dua orang yang saling mencintai. Lebih dari itu, ada nilai nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam perkawinan, seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita. Kompleksitas perkawinan pada masyarakat bugis merupakan nilai- nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam perkawinan.
Perkawinan Bugis adalah salah satu perkawinan di Indonesia yang paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai resepsi pernikahan akan melibat kan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai. Ditambah lagi dengan biaya mahar dan "dui menre" atau biaya akomodasi pernikahan yg selangit
Sebenarnya tradisi perkawinan yang tergolong mewah ini hanya berlaku bagi keluarga kerajaan namun sekarang mengalami pergeseran dan mulai dipraktekkan masyarakat umum suku Bugis Makassar khususnya di masyarakat Bugis Bone.
Tradisi uang belanja (dui menre) pada masyarakat Bugis Bone ini dipercaya mampu menaikkan status sosial seseorang yang tergantung dari berapa jumlah uang belanja (dui menre) yang akan diberikan. Seperti pada masyarakat golongan menengah ke bawah yang dengan cepat bisa mendapatkan status sosial tinggi hanya akibat tingginya uang belanja (dui menre) yang diajukan oleh mempelai laki-laki. Di samping dari status sosial, indikator besar kecilnya uang belanja (dui menre) bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan. Hal ini kemudian menjadi masalah dimana hampir semua masyarakat ingin menikahkan anaknya dengan jumlah uang belanja (dui menre) yang tinggi untuk kepentingan derajat sosial di tengah masyarakat.
Idealnya, perkawinan orang Bugis harus terjadi antar kalangan yang berstatus sosial sama, yaitu dari garis keturunan dan status yang sebanding. Akan tetapi perkawinan orang bugis terdapat semacam norma kesepakatan dengan pemberian sanksi atas pernikahan seorang lelaki dengan perempuan yang berstatus lebih rendah namun apabila perempuan yang berada pada status lebih rendah status sosialnya akan naik jika uang belanja (dui menre) jumlahnya sangat besar karena besar kecilnya uang belanja adalah sebuah penentu status sosial seseorang.
Dalam masyarakat Bugis, upacara perkawinan tersebut merupakan suatu bentuk kegiatan tertentu dari upacara tersebut, harus diselenggarakan dalam upacara yang bersifat trasedental (M. Yamin Sani dkk, 1989)
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Bugis Bone yang mengenal tradsi uang belanja (dui menre) yang pembahasannya lebih mengarah kepada status sosial.
Dari uraian singkat di atas maka penulis mencoba menyusun skripsi untuk meneliti lebih jauh mengenai :”UANG BELANJA (DUI MENRE) DALAM PROSES PERKAWINAN (KAJIAN SOSIOLOGIS MASYARAKAT DESA SANRANGENG KECAMATAN DUA BOCCOE KABUPATEN BONE”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar