A. Latar Belakang Masalah
Film sebagai hasil karya manusia dalam proses aktivitas berfikirnya telah mampu ikut berperan dalam merubah dan mempengaruhi peradaban dunia hingga saat ini. Hal ini diawali dengan peristiwa pada 28 Desember 1895 bertempat di ruang bawah tanah Grand CafĂ© di Boulevard de Capucines No. 14 Perancis, dimana Lumiere bersaudara mempertontonkan “hasil percobaannya” kepada para pengunjung kafe itu. Pertunjukan yang diiklankan sebagai “keajaiban gambar hidup” itu dalam kenyataannya membuat penonton takjub, tertawa-tawa, dan juga riuh karena terkaget-kaget.
Sejak peristiwa itu film terus berkembang dari waktu ke waktu tidak hanya teknis pembuatannya yang sebelumnya hanya sebuah gambar bergerak (motion picture) dan berlangsung tanpa pelengkap suara. Tetapi juga perkembangan fungsi, film tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan saja tapi lebih dari itu bisa sebagai media propaganda dengan muatan pesan guna mempengaruhi khalayak penontonnya sebagaimana yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini disadari dalam sebuah kajian tentang keefektifan pesan yang disampaikan melalui media film.
Walaupun pada awal kemunculannya film dipahami sebagai karya seni sebagai wujud kreatifitas manusia, tetapi dalam perkembangannya film tidak lagi dimaknai sekedar hanya sebagai karya seni (film as art), tetapi juga sebagai “praktik sosial” serta “komunikasi massa”. Terjadinya pergeseran perspektif ini, paling tidak , telah mengurangi bias normative dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara objektif (Irawanto, 1999:10).
Baik perspektif praktek sosial maupun komunikasi massa, sama-sama lebih melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi didalam masyarakat. Dalam perspektif praktek sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang komplek dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi.
Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Disamping itu, dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami pilihan penonton yang pada gilirannya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton, dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.
Kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen sosial, telah menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Karena itu mulai merebaklah studi yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari sejumlah penelitian film yang mengambil berbagai topik tentang pengaruh film terhadap anak, film dan masyarakat, film dan politik dan seterusnya.
Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.
Karakteristik film sebagai media juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual (visual public concensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi, bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk berharap memperoleh kesenangan di dalam sistem yang menjamin berputarnya kapital.
Menurut Claire Johnston (Turner, dalam Irawanto, 1999:11), pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxis terletak pada fokus film dalam hubungannya dengan produksi, dibandingkan pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan baik pembuat maupun penonton film.
Dalam proposisi yang ekstrem, kajian marxis tentang film bukanlah terfokus pada bentuk atau isi, tetapi pada beroperasinya film dalam pertautannya dengan subjektivitas proses konstruksi, apapun jenis”pencipta’ dan “penikmat” yang dihasilkannya. Dengan kata lain, pentingnya kajian film dalam perspektif Marxian terletak pada cara representasi itu sendiri yang juga tampak sebagai pertanyaan politis (Irawanto, 1999:13).
Bagaimanapun, hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya tetapi juga sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut.
Dengan demikian posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Bagaimanapun ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya.
Kesadaran masyarakat akan pengaruh film, sangatlah diperlukan sekali guna menghindari pengaruh film yang negatif begitu juga sebaliknya mengambil manfaat film yang positif, karenanya dibutuhkan daya apresiasi masyarakat yang baik terhadap sebuah film, yaitu dengan menangkap muatan pesan, baik yang nampak maupun yang tersirat melalui kode-kode atau simbol-simbol yang terkandung didalamnya.
Sebagai refleksi realitas kehidupan sosial, film seringkali menjadi tolak ukur peristiwa yang terjadi di masyarakat yang akhirnya diangkat kelayar lebar. Hal ini juga yang mendasari sutradara Danny Boyle mengangkat sebuah novel karya Irvine Wels ke dalam bentuk film dengan judul “trainspotting” yang dibuat pada tahun 1996.
Sebuah film yang bercerita tentang perilaku anak muda yang terjebak dan terbelenggu dalam dunia narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), dimana narkoba telah menghancurkan masa depan para penggunanya. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa ternyata menjadi problem tersendiri didalam masyarakat dengan perilaku yang telah dibuatnya, sebagai efek dari penyalahgunaan obat yang dikonsumsinya.
Film trainspotting ini termasuk salah satu film independen, yang dibuat bukan untuk tujuan komersial melainkan lebih merupakan tanggung jawab moral terhadap realitas yang terjadi, lalu mengangkatnya kedalam bentuk film dengan muatan pesan tentang informasi narkoba, bahaya penyalahgunaan narkoba dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Film ini menarik untuk diteliti, karena mengandung muatan pesan yang dikemas begitu apik, yang menggambarkan kondisi sosial tidak hanya satu negara tetapi sudah hampir semua negara mempunyai problem semacam ini, yang merepresentasikan keprihatinan semua pihak guna menyadarinya untuk menjadikannya tanggung jawab bersama dalam menangani bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar