Investasi
merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhan perekonomian
yang hanya di dorong oleh konsumsi tanpa adanya konstribusi
yang berarti dari investasi, maka dapat dipastikan pertumbuhan tersebut tidak
dapat berlanjut terus (Tambunan, 2001). Kegiatan investasi memungkinkan
suatu daerah terus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan dan taraf kemakmuran. Adanya investasi baru
memungkinkan terciptanya barang modal baru sehingga akan menyerap faktor
produksi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang pada gilirannya akan
mengurangi jumlah pengangguran. Dengan demikian akan menambah output dan
pendapatan baru pada faktor produksi sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi.
Dalam
konteks pertumbuhan ekonomi, penanaman modal atau investasi merupakan dua unsur
yang saling terkait dan tidak bisa di pisahkan. Dinamika
penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan
mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya meningkatkan penanaman
modal, maka setiap daerah berupaya menciptakan iklim investasi yang kondusif
sehingga dapat menggairahkan investasi. Iklim
investasi adalah semua hal yang berhubungan dengan kebijakan, kelembagaan dan
lingkungan baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa
datang, yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu
investasi. Ada tiga faktor utama dalam iklim investasi yang pertama kondisi
ekonomi makro, yang mencakup stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi,
persaingan pasar, dan stabilitas sosial dan politik. Kedua pemerintahan dan
kelembagaan, yang mencakup kejelasan dan efektifitas
peraturan, perpajakan, sistem hukum, sektor keuangan, fleksibilitas pasar
tenaga kerja dan keberadaan tenaga kerja yang terdidik dan terampil. Ketiga infrastruktur,
yang mencakup antara lain sarana transportasi, telekomunikasi, listrik, dan air
(Asian Development Bank, 2005).
Melihat
potensi yang dimiliki provinsi Sulawesi Selatan yang cukup besar bagi kegiatan
investasi baik itu berupa potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun
perkembangan teknologi. Selain itu provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
satu provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dilihat dari
perkembangan nilai PDRBnya, apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lainya di
Indonesia pasca terjadinya krisis
ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus terus berupaya menciptakan iklim
investasi yang kondusif di provinsi Sulawesi Selatan sehinnga investor tertarik
untuk menanamkan modalnya.
Selain
itu ada beberapa indikator ekonomi makro lain yang dapat mempengaruhi investasi
yaitu biaya investasi itu sendiri yang berkaitan dengan tingkat bunga. Tingkat
bunga akan berpengaruh terhadap tingkat pengembalian modal. Beberapa kalangan
mengkhawatirkan tingginya tingkat suku bunga investasi beberapa periode
belakangan, terlebih pada tahun-tahun dimulainya krisis ekonomi moneter menjadi
masalah serius yang akan menyebabkan tidak bergeraknya sektor riil. Kebijakan
pemberian kredit dengan tingkat suku bunga tinggi semakin menyulitkan
perusahaan dalam memperoleh sumber dana investasi dari kalangan perbankan.
(Prasetyoningsuryo,2000).
Indikator
makro ekonomi yang juga dapat mempengaruhi investasi ialah inflasi. Para investor akan sangat
memperhatikan laju inflasi, apakah dapat menciptakan iklim yang menguntungkan
atau merugikan bagi mereka. Inflasi dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak
positif. Apabila inflasi ringan, akan berpengaruh untuk merangsang terjadinya
kegiatan investasi hal ini disebabkan karena inflasi yang ringan akan
meningkatkan produktivitas.
Selain berupaya mengendalikan masalah indikator makro ekonomi yaitu inflasi dan tingkat suku bunga kredit, upaya
lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
kegiatan investasi yaitu pemerintah melakukan berbagai kebijakan, salah
satunya adalah menentukan tingkat upah. Namun pemerintah mengalami dilemma
dalam menentukan tingkat upah. Disatu sisi, dengan penentuan upah minimum yang
tinggi akan memberatkan sisi produsen sebagai pemakai faktor tenaga kerja dalam
menjalankan kegiatan produksi. Tetapi di lain sisi penentuan upah minimum yang
terlalu rendah akan menekan kesejahteraan pekerja.
Secara umum investasi dapat
dibedakan menjadi dua kategori yaitu berupa penanaman modal dalam negeri (PMDN)
dan penanaman modal asing (PMA). PMDN dapat diartikan sebagai pengeluaran atau
pembelanjaan penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang
produksi, untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia
dalam perekonomian yang berasal dari investasi dalam negeri. Sedangkan PMA
adalah pembelanjaan barang-barang modal untuk menambah kemampuan produksi
barang dan jasa yang dilakukan oleh penanam modal asing dengan menggunakan
modal asing (Setyowati dan Fatimah, 2007). Oleh karena itu investasi, baik PMDN
dan PMA, memainkan peranan penting dalam menentukan jumlah output dan
pendapatan.
Penanaman modal dalam negeri (PMDN)
sebagai sumber domestik merupakan kunci utama pertumbuhan nasional. Di satu
pihak mencerminkan permintaan efektif
dan dilain pihak menciptakan efisiensi produktif bagi produksi dimasa depan.
Proses penanaman modal ini menghasilkan kenaikan output nasional dalam berbagai
cara. Penanaman modal dalam negeri ini pula yang akan membawa kearah kemajuan
teknologi. Kemajuan teknologi pada gilirannya akan membawa kearah spesialisasi
dan penghematan produksi skala luas. Penanaman modal membantu usaha penyediaan
mesin, alat dan perlengkapan bagi tenaga buruh yang semakin meningkat. Jadi
PMDN menghasilkan kenaikan besarnya output nasional, pendapatan, dan pekerjaan,
dengan demikian memecahkan masalah inflasi dan neraca pembayaran. Serta membuat
perekonomian bebas dari beban utang luar negeri.
Sumber yang dapat di kerahkan untuk
pembentukan modal adalah kenaikan pendapatan nasional, pengurangan konsumsi,
penggalakan tabungan, pendirian lembaga keuangan, menggerakkan simpanan emas, langkah-langkah
fiscal dan moneter dan sebagainya. Karena syarat utama bagi pembangunan ekonomi
dalam negeri ialah proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan
perekonomian di dalam negeri dan sebaiknya sumber modal yang berasal dari luar
hanya merangsang atau membantu sumber yang berada dalam negeri dan bukan untuk
di jadikan sebagai sumber kekuatan untuk jangka panjang.
Penyerapan modal asing memang juga
memiliki peran penting dalam upaya penghimpunan dana untuk pembangunan. Arus
masuk modal asing (capital inflows) berperan dalam menutup gap devisa yang ditimbulkan oleh
defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal asing juga mampu
menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal bagi pelaksanaan
pembangunan ekonomi. Modal asing ini selain sebagai perpindahan modal juga
dapat memberikan kontribusi positif melalui aliran industrialisasi dan
modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing tersebut tidak dikelola dengan
baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar, terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnain,
1996).
Penggunaan
modal asing memang memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap pembangunan
ekonomi akan tetapi dalam jangka panjang ketergantungan terhadap penggunaan modal asing akan memberikan dampak
buruk terhadap perekonomian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
keuntungan dari penggunaan modal asing biasanya hanya dinikmati oleh pihak
asing. Selain itu kehadiran investor asing akan berdampak buruk bagi investor
dalam negeri yang memiliki usaha yang sejenis karena biasanya investor dalam
negeri kurang mampu bersaing dari segi penggunaan teknologi. Oleh karena itu
sebaiknya pembangunan ekonomi harus bertumpu pada kemampuan modal dalam negeri.
Sementara penggunanaan modal asing harus hanya bersifat merangsang dan membantu
kekuatan modal dalam negeri. Apabila kemampuan modal dalam negeri dianggap
sudah mampu menunjang pembangunan ekonomi sebaiknya penggunaan modal asing
semakin dikurangi.
Pada Tabel 1.1, dapat
dilihat perkembangan realisasi proyek investasi PMDN di provinsi Sulawesi Selatan
sejak 1996-2010 dimana perkembanganya terus berfluktuatif, yaitu mengalami naik
turun besaran nilai proyeknya. Nilai terbesar
realisasi proyek Penanaman Modal Dalam
Negeri terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 3.212.298 juta rupiah dan nilai
realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri terkecil terjadi pada tahun 2001 yaitu
hanya sebesar 93.612 juta rupiah. Fluktuasi yang terjadi pada besarnya
nilai realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri tidak lepas dari pengaruh-pengaruh
stabilitas perekonomian, perkembangan indikator ekonomi makro serta situasi sosial
politik dan keamanan yang tidak stabil sehingga dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam melakukan investasi.
Tabel 1.1 Realisasi Proyek Investasi (PMDN) Selama Tahun 1996-2010 di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Tahun
|
PMDN
|
|
Banyak Proyek
|
Nilai Proyek (Juta Rupiah)
|
|
1996
|
25
|
680.155
|
1997
|
23
|
1.125.204
|
1998
|
9
|
284.866
|
1999
|
6
|
212.043
|
2000
|
16
|
1.203.124
|
2001
|
23
|
93.612
|
2002
|
9
|
179.093
|
2003
|
13
|
315.047
|
2004
|
8
|
133.233
|
2005
|
8
|
160.585
|
2006
|
14
|
130.426
|
2007
|
9
|
244.670
|
2008
|
14
|
1.186.911
|
2009
|
10
|
955.791
|
2010
|
23
|
3.212.298
|
Sumber : Badan Promosi dan Penanaman
Modal Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah di paparkan
sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul “ Analisis Pengaruh Produk Domestik
Regional Bruto, Tingkat Upah, Suku Bunga Kredit dan Inflasi Terhadap Penanaman
Modal Dalam Negeri di Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2010”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar