Berbicara politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan
Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain.
Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik
juga telah memberikan ruang, bukan hanya
kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan,
melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat
diterima oleh pemerintah.
Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang
berbeda-beda dan mendapatkan respon yang
berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut.
Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan
perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam
yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum
perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara
Islam lainnya dalam memandang perempuan.
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan
masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan
bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu
sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek
demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta
supremasi sipil.
Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai
gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan
yang dalam akhir abad ke -19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk
memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status
dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa
di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan
nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan.[1]
Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan
bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan
maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas.[2]
Pernyataan ini jika dikaitkan dengan perempuan dalam politik dikatakan sebagai
dua sisi mata uang logam yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena
telah dibentuk oleh budaya masing-masing negara yang menekankan kedudukan
perempuan dalam lingkungan keluarga sedangkan politik yang selalu berkaitan
dengan “power” dikaitkan dengan
laki-laki. Betapapun pada perkembangannya ke depan, ketika aktifitas perempuan
dalam dunia politik mulai tampak, namun peranan mereka masih sangat terbatas
baik secara kuantitatif yang akhirnya berdampak pada penentuan kualitas
perempuan dalam politik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila padaa
level-level yang tinggi, seperti organisasi politik maupun jabatan tertinggi di
kalangan pemerintahan, dimana keputusan dan kebijakan dibuat, terlihat jumlah
perempuan sangat sedikit, itulah yang dikemukakan Almond seperti yang
dikutip Patrick, mengatakan bahwa tingkat partisipasi politik kaum
perempuan adalah rendah.[3]
Mendekati akhir abad ke ke-20, lebih dari 95%
negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar
(fundamental), hak memilih (right to vote)
dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election).[4]
Negara Iran mengakui kedua hak tersebut pada tahun 1963[5]
melalui Revolusi besar-besaran pasca berakhirnya kedudukan Shah. Meskipun
demikian, dalam kenyataannya, tetap saja kaum perempuan menjadi makhluk yaang
termarginalkan dalam kaum politik, menjadi bagian yang tersubordinasikan dalam
dunia politik seperti yang terjadi di hampir seluruh negara-negara Islam.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengapa
begitu banyak muncul feminin-feminis di negara-negara Asia dan negara-negara
Arab yang lain, jawabannya adalah karena begitu banyak ketidakadilan gender (gender inequality) yang mereka alami
yang kesemuanya itu disebabkan oleh politisasi agama yang melahirkan
aturan-aturan yang tidak adil serta budaya patriarkal yang sangat kental di
negara-negara mereka.[6]
Meskipun analisis mengenai gerakan gender bukan
merupakan hal yang baru, namun minat sebagian besar masyarakat untuk tahu
mengenai gerakan gender dan permasalahannya masih cenderung sedikit bahkan
timbul salah pengertian dan salah duga mengenai gerakan ini dan mengertikannya
sebagai sebuah gerakan yang progresif dan radikal. Hal yang tidak dapat
dipungkiri bahwa permasalahan gender amat kompleks dan rumit. Perlunya
penegasan pemisahan pemahaman akan gerakan gender sebagai gerakan politik dan
kajian wanita sebagai kegiatan akademik sangat urgen urgen untuk memahami
permasalahan yang sebenarnya. Persoalannya adalah bagaimana menfokuskan
penelitian pada apa yang diperjuangkan dan kawasan mana yang dianggap mewakili
permasalahan secara keseluruhan.
Meski pada kenyataannya feminisme atau gerakan
gender lahir di Barat, namun tidak berarti bahwa gagasan-gagasan mereka
dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman
karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun
geografi.[7]
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan
gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi.
Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa.
Feminisme serta perjuangan feminis muncul di banyak negara disebabkan karena
muncul suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang
semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum
perempuan. Pada kenyataannya, kesadaran feminisme ini muncul selama kurun
sejarah tertentu ketka kesadaran politik memuncak, selama perjuangan-perjuangan
melawan despotisme lokal dari para penguasa feodal.
Hak politik juga menjadi dasar yang paling
penting mendorong terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa issue
kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap manusia (laki-laki maupun
perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu pada
pasal 19, 20, dan 21 dengan rincian sebagai berikut [8]:
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan,
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui
media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1. Setiap individu
mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2. Tidak seorangpun
boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1. Setiap individu berhak
turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui
wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2.
Setiap individu berhak atas kesempatan
yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat
harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan
menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan
dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang
menjamin kebebasan memberikan suara.
Negara Iran adalah negara yang menjadi
salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya
dalam memandang perempuan pasca Revolusi.
Revolusi Islam Iran
ini melahirkan konfigurasi yang khas antara negara Iran
dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar
dalam sejarah masyarakat Iran.
Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan
kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan yang
fundamental dalam sistem ketatanegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem
pemerintahan Iran sekarang, dimana
Negara Iran akhirnya berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi negara.
Selain masalah politik kenegaraan,
syariat Islam yang mengatur Undang-Undang Republik Islam Iran,
juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum perempuan di dalam negara.
Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran
sudah ada sejak Konstitusi/UUD Republik Islam Iran
pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan.
Meskipun hanya satu ulama perempuan yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD
yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan. Dalam Pembukaan
UUD RII terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yang
intinya menyebutkan, kewajiban pemerintah memberikan penambahan (proporsi) yang
besar atas penunaian hak-hak kaum perempuan yang pada rezim sebelumnya
menderita opresi yang besar. Sedangkan dalam tubuh UUD RII terdapat dua pasal
khusus yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Pasal 20 membahas
kesetaraan di hadapan hukum. Di pasal ini tertulis, “Semua
warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan
hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
yang sesuai dengan kriteria Islam”. [9]
Sedangkan pasal 21 membahas khusus
tentang hak-hak perempuan. Pemerintah harus menjamin hak
perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di
bawah ini: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan
kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun
intelektual; 2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan
dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim; 3) membentuk
pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga; 4) menyediakan asuransi
khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung; 5) memberikan
hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak
ada pelindung legal.[10]
UU Republik Islam Iran
mengatur dengan sangat idealnya posisi perempuan dan hak-hak yang dapat mereka
dapatkan baik dalam tatanan sosial maupun politik. Hal ini sangat berbeda
dengan kondisi Iran
pra Revolusi 1979. Sebelum revolusi, perempuan Iran
bukan hanya dipandang sebagai alat reproduksi serta disalahgunakan, tapi dari
sisi pemikiran mereka juga tertawan oleh budaya asing. Perempuan Iran
sebelum revolusi adalah kaum yang konvensional dengan pemikiran yang
terbelakang. Paradigma lama memposisikan wanita sebagai harta yang dimiliki
pria, yang menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita. Akibatnya,
hanya kaum pria yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, sementara
wanita dianggap tidak cocok untuk terjun dan mempunyai peranan dalam berbagai
bidang di masyarakat.
Perubahan kedudukan perempuan
sebelum revolusi dan setelah revolusi menjadi alasan ketertarikan penulis untuk
menganalisis perjuangan pergerakan perempuan di Iran
ke dalam skripsi berjudul “Perjuangan
Politik Kaum Perempuan di Iran : Kendala dan Prospeknya”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar