Indonesia
dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 3.000 suku bangsa, setiap
suku bangsa mengaku dan diakui mempunyai daerah territorial sendiri. Pada
umumnya, masing-masing suku bangsa mempunyai bahasa yang berlainan dan bisaanya
tidak dipahami oleh suku bangsa lain. Dalam antropologi, suku bangsa dikenal
dengan isitialh teknis golongan etnis, dan bangsa yang terdiri dari banyak suku
bangsa disebut bangsa multietnis. Konsep yang tercakup dalam istilah golongan
etnis atau suku bangsa berarti kesatuan-kesatuan manusia atau kolektiva-kolektiva
yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, dan kesadaran-kesadaran
iu sering dikuatkan (tetapi tidak selalu) oleh kesatuan bahasa juga.[1]
Kemajemukan
Indonesia tergambar dari penduduknya yang berjumlah + 234.893.453 orang dan
tersebar di 17.000 pulau, memiliki karakteristik sebagai negara multietnik
yaitu diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar
dan ada yang kecil. Keragaman ini tidak hanya bentuk fisik melainkan juga
sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan, makanan, dan kesenian orang
Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya. Indonesia juga merupakan sebuah
negara yang mempunyai tradisi religi atau agama yang cukup kuat. Ada lima agama
besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam
beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu Cu juga mulai kembali
berpengaruh di Indonesia. Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka
bunga berwarna-warni.
Berdasarkan
ciri-ciri utama biologisnya, umat manusia dikelompokkan ke dalam berbagai ras.
Bila ras tersebut dikaitkan dengan kebudayaan mereka, maka terbentuk kelompok
etnik. Oleh karena itu, dari satu rasa yang sama, bisa terbentuk berbagai
etnik. Setiap manusia pasti menjadi warga negara dari salah satu ras dan etnik.
Dari latar belakang ras dan etnik pula, suatu masyarakat membentuk tipe
kepribadian dasar, yang selanjutnya
menjadi acuan bagi pembentukan kepribadian warganya.[2]
Menurut
Schermerhorn suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang
mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman
sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau
beberapa elemen-elemen simbolik yang menyatakan akan keanggotaannya, seperti
pola-pola keluarga, ciri-ciri fisik, aliansi agama dan kepercayaan,
bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau
kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada dasarnya terdapat ikatan antar
anggotanya sebagai suatu kelompok.[3]
Kajian
tentang etnik sebagai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama,
berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara
pada ranah politik. Di dalam bangsa atau wilayah yang multi-etnik akan terjadi pola hubungan etnik ketika mereka saling kontak atau
berinteraksi. Etnisitas merupakan fenomena tersendiri yang muncul dalam
interaksi sosial. Etnisitas juga beraneka ragam, tergantung pada jenis hubungan
yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok dengan lingkungan sosial
maupun alam mereka.[4]
Lingkungan-lingkungan
ini mencakup kategori etnis dan sistem kekuatan kultur yang memberikan otoritas
penting terhadap norma-norma politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini semua
berfungsi dalam hubungan-hubungan etnis, yang pada gilirannya mengarahkan serta
membangun norma-norma dan kedudukan, sebagaimana ditentukan atau dihargai oleh
para anggota kelompok etnis yang peduli terhadap lingkungan tersebut.
Lingkungan-lingkungan tersebut juga menawarkan kesempatan alternatif serta
membatasi individu atau kelompok yang berkeinginan untuk mengelola sumberdaya
yang tersedia, sekaligus untuk menciptakan lambang-lambang yang digunakan untuk
meraih kedudukan tertentu dalam hubungan sosial dan antaretnis.
Suka atau
tidak suka, entah dengan alasan teoritis maupun ilmiah, gambaran tentang
perbedaan yang sedang kita alami dalam masyarakat mengungkapkan bahwa manusia
“dari dasarnya” berasal dari kelompok-kelompok tertentu yang kita sebut
kelompok etnik dan kelompok ras. Dari dua kelompok itulah, orang memiliki
sebuah identitas untuk mengemukakan kepada orang lain tentang darimana dia
berasal, dari kelompok manakah ras ayah dan ibunya, dari kelompok mana
kebudayaan dan peradaban yang telah membesarkan kehidupan dia sebagai manusia
sosial.
Indentitas
etnik ini yang menggambarkan dan membedakan antara individu atau kelompok
dengan individu dan kelompok yang lain, baik secara fisik, karakter, bahasa
serta pemikiran. Indentitas ini juga yang menyatukan individu dalam sebuah
komunitas etnik. sehingga relasi etnik
dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah di suatu tempat akan melahirkan
berbagai pola hubungan diantaranya adalah konflik. Konflik adalah gejala sosial yang selalu
terdapat di dalam setiap masyarakat dalam kurun waktu. Konflik merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan
salah satu produk dari hubungan sosial (sosial relations). Dalam hubungan
etnik, konflik lebih ditekankan pada konflik yang berlansung ketika
kelompok-kelompok etnik saling kontak. Konflik dapat diartikan sebagai setiap
pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau
kelompok. Konflik ini dikenal dengan konflik lisan atau konflik non-fisik. Bila
konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan meningkat menjadi konflik
fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat.
Masalah
konflik antar etnik di indonesia adalah masalah yang lebih banyak berhubungan
dengan kebijakan pemerintah, dan bukannya masalah sentimen etnik semata antar
etnik. Sentimen etnik ini memang mudah ditiup-tiupkan oleh pihak yang hendak
mengambil keuntungan, karena perbedaan etnik relatif menjadi kriteria perbedaan
kekuatan ekonomi, dan sampai tingkat tertentu, juga kekuatan politik. Orang
atau kelompok yang mempunyai kekuatan politik bisa mempertukarkan kekuatan
politiknya dengan keuntungan ekonomi. Sebaliknya, pihak yang mempunyai kekuatan
ekonomi dapat mempertukarkan kekuatan ekonominya untuk mendapatkan perlindungan
dan kemudahan politik. Kerjasama di kalangan kelompok-kelompok dominasi ini
jelas menguntungkan mereka. Oleh karena itu etnik mempunyai peran yang sangat besar
mempengaruhi perilaku individu.
Dalam
konteks saat ini, demokrasi membuka seluas-luasnya kebebasan untuk berekspresi,
mengeluarkan pendapat, dan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, karena
kebebasan ini adalah merupakan syarat terselenggaranya pemerintah yang demokratis[5].
Oleh karena itu, banyak organisasi-organisasi, kelompok-kelompok yang
bermunculan di Indonesia baik itu organisasi politik, ekonomi, social, profesi,
etnis dan sebagainya.
Kota
Makassar sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan adalah kota multi etnik, secara
etnik kesukuan ada tiga etnik besar yang mendiami Makassar dan merupakan etnis
asli Sulawesi Selatan yaitu etnik Makassar, etnik Bugis dan Etnik Toraja. Kalau
dalam peta Provinsi etnis yang ada di Sulawesi Selatan, terdapat dua etnis
besar, yakni etnis Bugis (41.9%) dan etnis Makasar (25.43%). Etnis lain yang
cukup menonjol adalah Toraja. Dalam peta geografis, basis tradisional dari
etnis Makasar adalah Kabupaten / Kota Makasar, Kabupaten Gowa, Takalar,
Jeneponto, serta Selayar, dan Maros yang campuran.Adapun wilayah orang Bugis di
bagian utara meliputi Kabupaten Bone, Pangkep, Barru, Sinjai, Wajo, Soppeng,
Pinrang, Parepare, Bulukumba, serta Enrekang.[6]
Selain itu masih banyak kelompok-kelompok etnik lainnya yang disatukan oleh
keyakinan, kepercayaan, ideologi, profesi dan lain-lain.
Komunitas
atau kelompok-kelompok etnik yang ada di Makassar menunjukkan kemulti-etnikkan
yang ada di kota ini. Setiap komunitas etnik masing-masing menunjukkan
identitas sendiri yang membedakannya dengan komunitas yang lain. Identitas ini
baik secara lansung maupun tidak lansung akan mempunyai pengaruh terhadap
perilaku individu atau actor dalam politik seperti pemilihan kepala daerah
Sulawesi Selatan.
Salah
satu relasi etnik dalam pemilukada Sulawesi Selatan adalah saat pilkada
Sulawesi Selatan tahun 2007 yang lalu dimana Pegawai Negeri yang beretnis Bugis
diarahkan untuk mendukung pasangan calon incumbent Amin Mansyur, karena Amin
Mansyur adalah tokoh Bugis, sebaliknya pegawai beretnis Makassar diarahkan
untuk memilih pasangan Syahrul-Agus.[7]
Fenomena ini
menunjukkan bahwa identitas etnik itu berperan dalam pemilihan kepala
daerah meskipun ada mobilisasi oleh
masing-masing elit dalam kelompoek etnik tersebut.
Menurut
LSI, pemilih di Sulawesi Selatan dalam taraf tertentu masih menempatkan
etnisitas sebagai aspek penting. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei LSI
yang menanyakan Apakah etnis kandidat menjadi pertimbangan pemilih Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa “masyarakat
Sulawesi Selatan yang menjadikan etnik sebagai pertimbangan dalam memilih
kepala daerah berada pada angka tertinggi yaitu (63,2 %), yang tidak (18,7 %)
dan yang tidak tahu berada di posisi terbawah (18,0 %).”[8]
Masyarakat
Sulawesi Selatan dalam menentukan pilihan dalam pemilukada yang lalu juga masih
dipengaruhi oleh identitas etnik. Hal
ini terlihat dari peta dukungan dari kandidat gubernur Sulawesi Selatan periode
yang lalu, Amien Syam (Bugis) dan Syahrul
Yasin Limpo (Makasar). Di kalangan pemilih etnis Makasar, suara untuk Syahrul
Yasin Limpo sangat dominan. Sebaliknya, di kalangan pemilih etnis Bugis, suara
Amien Syam juga mayoritas, meski angka kemenanganya tidak mutlak. Dari hasil
rekapitulasi perhitungan suara juga terlihat, di kabupaten/kota basis etnis
Makasar, umumnya ditandai dengan kemenangan Syahrul Yasin Limpo. Sementara di
kabupaten / kota basis etnis Bugis, umumnya ditandai dengan kemenangan Amien
Syam.[9]
Perbedaan akan dukungan ini dipengaruhi oleh lingkungan dan isu-isu etnik.
Saat ini di kota Makassar akan menjelang pemilihan kepala daerah tingkat provinsi
yaitu pemilukada Sulawesi selatan 2013 mendatang. Pemilukada Sulawesi selatan
ini diramaikan oleh putra-putra daerah Sulawesi selatan. Mereka berasal dari
berbagai komunitas etnik baik komunitas etnik kesukuan, profesional maupun
kepentingan, sehingga masyarakat akan semakin kompleks dalam menentukan
dukungan dan pilihannya dalam pemilukada Sulawesi Selatan mendatang. Berdasarkan fakta-fakta diatas maka
penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Relasi Etnik Menjelang Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 di Kota Makassar”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar