Keanekaragaman suku bangsa merupakan masalah
global, hampir seluruh negara di dunia memiliki keanekaragaman suku, etnis dan
agama. Keanekaragaman tersebut tentunya ditandai dengan keberagaman kebubudyaan
antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan tatanan
pengetahuan, bahasa, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, dan konsep tentang
alam semesta.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suku, etnis, dan
agama turut mempengaruhi gaya komunikasi sehingga
perbedaan budaya dapat menjadi sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama
lain. Sebagaimana dikemukakan Cangara (2008:156) bahwa terdapat rintangan
budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan budaya yang
dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya perbedaan norma,
kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
berkomunikasi.
Keanekaragaman
masyarakat (masyarakat majemuk) adalah hal yang dihargai pada masyarakat
Indonesia karena masyarakat Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku,
etnis dan agama.Wilodati (2012) secara rinci menggambarkan kemajemukan
masyarakat Indonesia dari berbagai sisi:
Pertama, hubungan
kekerabatan, hubungan kekerabatan ini merujuk pada pada ikatan dasar hubungan
darah (keturunan) yang dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ayah, ibu
atau keduanya. Kedua, ras dapat dibedakan dengan ciri-ciri fisik
orang lain (rambut, kulit dan bentuk muka). Ketiga, daerah asal
merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila
yang bersangkutan berada di tempat lain seperti dialek yang digunakan, anggota
organisasi yang bersifat kedaerahan serta prilaku. Keempat, menggunakan
bahasa sukunya masing-masing. Kelima, agama yang dianut Indonesia yang berbeda-beda.
Masyarakat
majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari berbagai latar
belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan konflik antar
kelompok. Konflik kelompok di Indonesia, seperti konflik SARA
(suku, agama, ras dan antar golongan) sudah menjadi konsekuensi dalam hidup bermasyarakat majemuk,
karena hal tersebut bisa terjadi kapan saja dengan membawa identitas
kelompok. Konflik SARA biasanya terjadi
ketika antar kelompok tidak dapat saling memahami budaya masing-masing dan merasa budayanyalah yang lebih unggul
dibanding yang lain (etnosentrisme).
Konflik
kelompok dalam masyarakat majemuk mengindikasikan bahwa terdapat kegagalan
dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang dimaksud menurut Stewart dalam
Djuarsa dan Sunarwinardi (2008:277) adalah komunikasi yang terjadi dalam satu
kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai, adat dan
kebiasaan. Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dalam
prespektif The 5 Invetable Laws of Effective Communication (Lima Hukum
Komunikasi Efektif) meliputi: Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble
disingkat REACH. Hal ini relevan dengan prinsip komunikasi
sosial budaya yaitu sebagai upaya meraih perhatian, minat, kepedulian, simpati,
tanggapan, maupun respon positif dari orang lain (Suranto, 2010:194).
Stereotip-stereotip
terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan hambatan dalam membangun
sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif. Lippman dalam Mariah (2007:62)
menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” bahwa tidak
melihat dulu lalu mendefinisikan, mendefinisikan dulu kemudian melihat, kita
diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan kebanyakan hal sebelum
mengalaminya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa stereotip dapat
menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip dapat menimbulkan
penilaian negatif antar suku dan etnis.
Stereotip
itu sendiri terbentuk oleh kategori sosial yang merupakan upaya individu untuk
memahami lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, ketika individu menghadapi
sekian banyak orang di sekitarnya, individu akan mencari persamaan-persamaan
antara sejumlah orang tertentu dan mengelompokkan mereka kedalam satu kategori.
Namun pada gilirannya kategori sosial ini justru mempengaruhi cara pandang
seseorang yang sudah dimasukkan kedalam kelompok tersebut. Akibatnya timbul
kesalahan-kesalahan dalam melakukan persepsi sosial karena seluruh individu dalam
kategori sosial tertentu mempunyai sifat-sifat dari kelompoknya.
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multikultur
terdiri dari banyak suku dan etnik tentunya akan mudah menimbulkan stereotip
antaretnik dan suku. Stereotip ini dapat menjadi pemicu konflik jika stereotip
tidak sesuai dengan kebenaran yang ada atau salah dalam mempersepsi terhadap
kelompok lain. Oleh karena itu kesalapahaman yang ditimbulkan oleh stereotip
harus senantiasa dihilangkan dalam aktifitas komunikasi antarbudaya.
Keberhasilan
komunikasi antarbudaya juga sangat diperlukan bagi masyarakat yang mendiami
kota-kota besar di Indonesia. Tingginya tingkat perpindahan penduduk dari desa
ke kota, ketergantungan ekonomi dan mobilitas antar negara menjadikan kota
sebagai tempat yang didiami berbagai latarbelakang budaya yang berbeda.
Kesalapahaman antarbudaya yang ditimbulkan oleh stereotip bisa saja terjadi
dalam hidup bermasyarakat di kota-kota besar jika anggota masyarakat tidak
dapat memahami satu sama lain mengenai budaya kelompok lain.
Salah
satu kota besar yang terdapat di Indonesia yang saat ini mengalami perkembangan
pesat adalah kota Makassar, terletak dibagian timur Indonesia yang sekaligus
merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar sejak abad XV sudah
menjadi kota Niaga yang memiliki peranan penting di Asia Tenggara adanya
hubungan dangan kota-kota dagang lainnya seperti Siam, Pegu, Malaka, Aceh, Cina
dan Arab sebagai bukti bahwa kota Makassar adalah sebuah kota yang besar sekaligus
menandakan bahwa kota Makassar sudah menjadi kota multikultur.
Sampai
saat ini pun kota Makassar masih menjadi primadona bagi masyarakat lokal maupun
mancanegara. Sebagai pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan, tentunya hal
tersebut menjadi daya tarik kelompok masyarakat tersebut untuk menetap di kota
Makassar. Tak heran jika kota Makassar didiami bebagai macam etnis, suku dan
agama yang berbeda dan ini dapat dilihat dengan adanya perkempungan etnis atau
suku tertentu yang ada di kota Makassar seperti kampung Cina, kampung Toraja,
kampung Mandar.
Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotip dan
prasangka negatif yang masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi
pemicu terjadinya konflik antar kelompok etnis dan suku di kota Makassar.
Seperti halnya rentetan konflik yang
pernah terjadi contohnya konflik pada
tahun 1997 melibatkan etnik Bugis-Makassar dan Cina, kemudian tawuran antar mahasiswa berbeda suku yang kerap
terjadi dan terakhir konflik mahasiswa Bone dan Palopo pada tanggal 29 oktober
2011 adalah gambaran nyata bahwa konflik antar kelompok suku dan etnis sangat
rentan di kota Makassar sebagai kota yang bermasyarakat majemuk.
Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnis dan
suku, tetapi ada empat suku besar yang sekaligus mendiami kota Makassar yakni
Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Dari literatur-literatur sejarah Sulawesi
Selatan bahwa sejak zaman kerajaan, keempat suku tersebut sudah memiliki
hubungan satu sama lain baik dari aspek perdagangan, politik, dan budaya. Oleh
karena itu keempat suku tersebut memiliki beberapa persamaan dari aspek budaya
dan sampai saat ini keempat suku tersebut memilik ikatan persaudaraan yang kuat
sebagai suku besar yang mendiami Sulawesi Selatan.
Suku Mandar sendiri dulunya menjadi bagian dari
Sulawesi Selatan, tetapi pada tahun 2006 daerah suku Mandar terpisah dari
Sulawesi Selatan menjadi sebuah provinsi tersendiri dibagian barat Sulawesi,
tetapi suku Mandar yang sudah bermukim di kota Makassar masih tetap
menjadi bagian dari masyarakat kota Makassar. Ini terbukti dengan adanya
sebuah perkampungan Mandar yang bagi masyarakat kota Makassar mengenalnya
“Kampung Mandar” daerah ini berada di Jalan Rajawali kelurahan Lette kecamatan
Mariso kota Makassar, penghuni daerah ini adalah mayoritas suku Mandar.
Salah
satu contoh stereotip yang berkembang bagi suku-suku yang ada di Sulawesi
Selatan adalah stereotip terhadap suku Mandar. Selain suku Mandar diakaui
sebagai pelaut ulung yang hanya dengan perahu “Sandeq” dapat mengarungi lautan luas, diketahui juga
bahwa suku Mandar adalah suku yang banyak memiliki “Ilmu sihir” atau bagi
masyarakat Sulawesi Selatan mengenalnya
dengan istilah “Doti”. “Pelembekan
kepala” terhadap lawan yang ingin disengsarakan adalah jenis doti yang dimiliki
suku Mandar dan menjadi cerita yang lazim terdengar dan di takuti di Sulawesi
Selatan (Ngeljaratan
dalam http:/sebuah-refleksi-kritis-tentang-mandar).
Berkembangnya
stereotip tersebut bisa menjadi potensi yang menghambat dalam komunikasi
antarbudaya Suku Mandar dengan suku Bugis maupun dengan suku lainnya khususnya
ketika mereka berada dalam linkungan masyarakat Kota Makassar. Stereotip
tersebut bisa saja menjadi penilaian negatif terhadap suku Mandar sehingga
dikawatirkan akan mengarah pada sikap dan perilaku negatif terhadap suku mandar. Selain itu apabila
kebenaran akan stereotip tersebut benar-benar terjadi tentunya tuduhan akan
secara langsung tertuju pada suku Mandar yang belum tentu suku Mandar yang
melakukan sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Berdasarkan
asumsi tersebut maka penulis ingin meneliti mengenai stereotip tersebut dengan
judul penelitian:
“Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar (Studi
Komunikasi Antarbudaya suku Bugis dan suku Mandar)”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar