Dalam aktivitas
perekonomian suatu negara, konsumsi
mempunyai peran penting di dalamnya serta mempuyai pengaruh yang sangat besar
terhadap stabilitas perekonomian. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin tinggi tingkat perubahan
kegiatan ekonomi dan perubahan dalam pendapatan nasional suatu negara. Konsumsi
keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga untuk memenuhi berbagai
kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang dikonsusmi itulah akan mempunyai
kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga.
Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan dan cita-cita suatu negara.
(Mizkat,2005)
Tingkat kesejahteraan
suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan di negara tersebut dan konsumsi adalah salah satu penunjangnya.
Makin besar pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi tahap
kesejahteraan keluarga tersebut. Konsumsi rumah tangga berbeda-beda antara satu
dengan lainya dikarenakan pendapatan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.
Setiap orang atau
keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi
pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi
pendapatan makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin
ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap maka terpaksa tabungan yang digunakan
maka tabungan akan berkurang.
Secara umum dapat
dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat adalah bersumber dari jumlah
kebutuhan yang tidak terbatas. Biasanya manusia merasa tidak pernah merasa puas
dengan benda yang mereka peroleh dan prestasi yang mereka capai. Apabila
keinginan dan kebutuhan masa lalu sudah dipenuhi maka keinginan yang baru akan
muncul. Di negara miskin hal seperti itu memang lumrah. Konsumsi makanan yang
masih rendah dan perumahan yang kurang memadai telah mendorong masyarakat untuk
mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Di negara kaya sekalipun, seperti
Jepang dan Amerika serikat masyarakat masih mempunyai keinginan untuk mencapai
kemakmuran yang lebih tinggi dari yang telah mereka capai sekarang ini (Sukirno
2008:6)
Pola konsumsi sering
digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik apabila pendapatan meningkat dan sebagian pendapatan tersebut
digunakan untuk mengkonsumsi non makanan, begitupun sebaliknya. Pergeseran pola
pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dari makanan ke non makanan dapat
dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan anggapan bahwa
setelah kebutuhan makanan telah terpenuhi, kelebihan pendapatan akan digunakan
untuk konsumsi bukan makanan. Oleh karena itu motif konsumsi atau pola konsumsi
suatu kelompok masyarakat sangat ditentukan pada pendapatan. Atau secara umum
dapat dikatakan tingkat pendapatan yang berbeda-beda menyebabkan keanekaragaman
taraf konsumsi suatu masyarakat atau individu.
Namun, bila dilihat lebih jauh peningkatan pendapatan tersebut tentu
mengubah pola konsumsi anggota masyarakat luas karena tingkat pendapatan
yang bervariasi antar rumah tangga sesuai dengan tingkat kebutuhan dan
kemampuan mengelolanya. Dengan perkataan lain bahwa peningkatan
pendapatan suatu komunitas selalu diikuti bertambahnya tingkat konsumsi semakin
tinggi pendapatan masyarakat secara keseluruhan maka makin tinggi pula tingkat
konsumsi. (Sayuti, 1989:46-47).
Kemudian
hubungan konsumsi dengan pendapatan dijelaskan dalam teori Keynes yang menjelaskan
bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposible saat ini.
Dimana pendapatan disposible adalah pendapatn yang tersisa setelah pembayaran
pajak. Jika pendapatn disposible tinggi maka konsumsi juga naik. Hanya saja
peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposibel.
Selanjutnya menurut Keynes ada batas konsumsi minimal, tidak tergantung pada
tingkat pendapatan yang disebut konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi
tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapatan = nol, dan hal ini
ditentukan oleh faktor di luar pendapatan, seperti ekspektasi ekonomi dari
konsumen, ketersediaan dan syarat-syarat kredit, standar hidup yang diharapkan,
distribusi umur, lokasi geografis (Nanga,2001).
Kebutuhan
hidup manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar
untuk memenuhi kebutuhaan hayatinya saja akan tetapi menyangkut kebutuhan
lainya seperti kebutuhan pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain
sebagainya. Adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan proses
pemerataan akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar keluarga. Di satu
pihak rumah tangga dengan pendapatan yang lebih dari cukup cenderung
mengkonsumsi secara berlebih di lain pihak rumah tangga miskin tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kota Makassar sebagai kota metropolitan
menurut data yang bersumber dari BPS sudah dapat kita lihat bahwa rata-rata
pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar selama tahun 2002-2006 meningkat
dengan cukup berarti. Pada tahun 2002 rata-rata pengeluaran rumah tangga di
Kota Makassar mencapai Rp.1.068.429, kemudian meningkat menjadi Rp.1.976.959
pada tahun 2007. Disamping peningkatan rata-rata pengeluaran, indikasi
meningkatnya kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan terjadinya pergeseran
pola konsumsi. Pengeluaran konsumsi makanan di tahun 2002 mencapai 54,83 persen
menjadi 51,74 persen untuk konsumsi makanan dan 48,26 persen untuk konsumsi
bukan makanan (BPS,2007). Berikut adalah
tabel yang memperlihatkan rata-rata pengeluaran rumah tangga tahun 2002-2007
Tabel 1.1 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga
Sebulan Menurut Jenis Pengeluaran Kota Makassar,2002-2007.
Jenis pengeluaran
|
2002
|
2007
|
||
Rata-rata
|
Rata-rata
|
|||
(Rp)
|
(%)
|
(Rp)
|
(%)
|
|
Pengeluaran Makanan
|
585.818
|
54,83%
|
1.022.956
|
51,74%
|
Pengeluaran Bukan
Makanan
|
482.611
|
45,17%
|
954.003
|
48,26%
|
Pengeluaran Rumah
Tangga
|
1.068.429
|
100,00%
|
1.976.959
|
100,00%
|
Sumber : BPS Kota Makassar,Susenas 2002-2007
Namun masih ada juga penduduk yang kurang
sejahtera dalam hal ini adalah rumah tangga miskin. Akan tetapi, pola konsumsi
masyarakat makassar tergolong konsumtif. Konsumsi rumah tangga yang tinggi
namun dapat diseimbangkan dengan pendapatan yang tinggi merupakan suatu kondisi
yang wajar, namun apabila konsumsi yang tinggi dengan pendapatan yang rendah oleh
karena ada demonstration effect bisa
mengakibatkan masalah perekonomian yang dapat mengurangi tingkat kesejahteraan
di suatu negara.
Hal
tersebut di atas, yang menjadi dasar ketertarikan penulis mengadakan penelitian
dengan objek rumah tangga dalam hal ini rumah tangga miskin dan kaya yang dalam
kenyataanya mempunyai pendapatan yang jumlahnya berbeda-beda dan pola
konsumsinya dapat dikatakan cukup bervariasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “ “Studi Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga
Kaya dan Miskin di Kota Makassar.”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar