BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam proses
belajar apapun itu, satu hal yang penting harus kita miliki salah satunya
adanya minat dari diri kita. Diperlukan semacam dorongan dari jiwa yang dapat
mengarahkan kita kepada kegemaran tersebut. Dorongan itu merupakan penggerak
manusia untuk beraktifitas yang tanpa dorongan tersebut manusia tidak akan
beraktifitas sama sekali ataupun bila ia beraktifitas tentu tidak disertai
dengan kesadaran. “Dorongan jiwa pada tingkat yang tinggi lazim disebut “minat”
yang dapat mengarahkan sekaligus menggairahkan seseorang kepada suatu
kegemaran.”[1]
Untuk mencapai prestasi yang baik disamping kecerdasan juga
minat, sebab tanpa adanya minat segala kegiatan akan dilakukan kurang efektif
dan efesien.
Karena itu minat adalah kata kunci
dalam pengajaran. Kaidah ini lebih perlu diperhatikan dibanding dengan kaidah
lainnya. Kaidah ini terutama amat berpengaruh pada pengajaran tingkat rendah.
Bila murid telah berminat terhadap kegiatan belajar mengajar, maka hampir dapat
dipastikan proses belajar mengajar itu akan berjalan dengan baik dan hasil
belajar akan optimal.[2]
Tidak ada sang
juara tanpa belajar dengan sungguh-sungguh. Bukan seperti dalam cerita, seorang
murid yang waktu pelajaran tidak pernah hadir, dan ia hanya tidur-tiduran
kemudian mengharap mendapat ilmu laduni, tiba-tiba bisa menguasai ilmu yang
diajarkan gurunya.
Seorang pelajar
yang mungkin sebenarnya memiliki bakat terpendam dalam bidang seni, tapi karena
tidak ada usaha untuk mengembangkan sehingga bakat tadi tidak berbuah apa-apa
tapi justru makin terpendam lagi. Dan itu banyak sekali penyebabnya.
Diantaranya lingkungan yang tidak kondusif, manajemen sekolah yang kurang baik,
kesibukannya yang sangat padat di luar sekolah (meskipun terkadang hal ini
justru menjadi pemicu kedisiplinan), teman-teman sepergaulan yang kurang
sejalan dengan arah bakatnya, dan juga faktor guru. Faktor guru yang dimaksud
misalnya kurang baik kedisiplinan maupun kepribadiannya, kurang menguasai
materi, dan lain-lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa siswa-siswi itu
menjadi berminat atau tidaknya terhadap mata pelajaran lebih karena faktor
guru. “Al thariqah ahammu min al maddah
walakinna al mudarris ahammu min al thariqah (metode lebih penting daripada
materi, tetapi guru lebih penting daripada metode).”[3]
Guru merupakan
figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam
pendidikan. Sebab dalam kegiatan belajar mengajar peran guru sangat menentukan
arah pendidikan tersebut sekaligus bertanggung jawab atas keberhasilan proses
belajar mengajar.
Salah satu hal
yang perlu dipahami guru untuk mengefektifkan proses pembelajaran adalah bahwa
semua peserta didik dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah
terpuaskan, dan mereka memiliki potensi untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Oleh
karena itu tugas guru yang paling utama adalah bagaimana membangkitkan rasa
ingin tahu peserta didik agar tumbuh minat dan motivasinya.
Dari sekian
banyak faktor penyebab meningkatnya minat peserta didik, kepribadian guru
adalah salah satunya. Kepribadian merupakan faktor penting bagi seorang guru
karena kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan mejadi perusak atau
penghancur bagi hari depan anak didik.
Ujian
berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing
omosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu
menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui
bahwa tiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang lain. Untuk
keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangat berguna. Guru
yang mudah marah akan membuat peserta didik takut dan ketakutan menyebabkan
kurangnya minat untuk mengikuti pelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena
ketakutan menimbulkan kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini membelokan
konsentrasi peserta didik.[4]
Guru PAI
terutama dituntut untuk dapat menjadi suri tauladan dan pembimbing bagi
siswanya, sehingga ia harus memiliki sifat yang baik dan lemah lembut.
Dalam al-Qur’an Surat
Ali Imran ayat 159 Allah swt berfirman :
Artinya: Maka
disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[5]
Pada
ayat ini, disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan
diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk beliau laksanakan sebelum
bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu walaupun dari segi konteks turunnya
ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud. Namun, dari
segi pelaksanaan dan esensi musyawarah,
ia perlu menghiasi diri Nabi saw. dan setiap orang yang melakukan musyawarah.
Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil
musyawarah dan bulatnya tekad.
Pertama,
adalah berlaku lemah-lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Seorang yang
melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama
ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena
jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung
oleh penggalan awal ayat di atas sampai firman-Nya: wa
lau kunta fazh-zhan ghalizh alqalb lanfadhdhu min haulik. Kedua,
memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat di atas fa'
fu anhum. "Maaf",
secara harfiah berarti "menghapus."
Memaafkan, adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang
dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain,
sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan
hati.[6]
Di
sisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkan mentalnya untuk selalu bersedia
memberi maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedaan
pendapat, atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung,
dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah
musyawarah menjadi pertengkaran.[7]
Seorang
pendidik harus mempunyai kepribadian yang kuat, tidak cacat dan diragukan agar
mempunyai pengaruh terhadap obyek didiknya. Kepribadian yang kuat tidak
memerlukan banyak hukuman (sanksi), sebaliknya akan mampu mencegah terjadinya
banyak kesalahan dan mampu menanamkan keyakinan dalam diri.[8]
Dalam melaksanakan
tugas mengajar, seorang pendidik dituntut mempunyai seperangkat prinsip
kegunaan, di antaranya:
1. Kegairahan
dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan: Kesediaan, kemampuan,
pertumbuhan dan perbedaan anak didik.
2. Membangkitkan
gairah anak didik.
3. Menumbuhkan
bakat dan sikap anak didik yang baik.
4. Mengatur
proses belajar mengajar yang baik.
5. Memperhatikan
perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
6. Adanya
hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.[9]
Pada poin kedua
di atas, sekali lagi dapat kita pahami bahwa tugas guru adalah juga termasuk
membangkitkan gairah (minat) para peserta didik.
Di samping itu
menjadi bersalah bagi pendidik jika terlebih dahulu pada pikiran murid
ditanamkan persepsi bahwa untuk bisa menjadi orang berilmu itu perlu melakukan
hal-hal sulit, yang yang mengakibatkan persepsi siswa menjadi terbebani dengan
ketakutan pada jalan yang akan ditempuh dalam belajarnya.
Menurut Aidh al
Qarny, di antara para pendidik ada yang memiliki kemampuan yang mengagumkan
dalam mempersulit ilmu terhadap para pelajar, bahwa siapa yang ingin mencari
ilmu harus memfokuskan diri dari segala hal dan tidak menyibukkan diri kecuali
dengan ilmu. Dengan demikian, bagi pelajar menuntut ilmu merupakan cara yang
paling sulit.[10]
Tentang berperan
pentingnya persepsi terhadap sikap seseorang selanjutnya, Abdul Mujib
menerangkan bahwa iblis hingga sebagaimana sekarang menjadi musuh bagi manusia
mula-mula berawal dari persepsi psikologis iblis. “Ia menduga bahwa substansi
dirinya lebih baik daripada substansi manusia. Ia tercipta dari api, sedang
manusia tercipta dari tanah.”[11]
Guru agama di
samping melaksanakan tugas pengajaran, yaitu memberitahukan pengetahuan
keagamaan ia juga melaksanakan tugas pendidikan. Seorang guru terutama guru
agama yang mempunyai kepribadian dan perilaku yang baik menurut persepsi siswa
akan dihormati, disayangi dan dipatuhi dengan gembira oleh anak didik. Pribadinya akan dicontoh dan
pelajarannya akan diperhatikan serta diminati oleh anak didik.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar