A.
Latar belakang
masalah
Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, memiliki ajaran
yang paling lengkap di antara agama-agama yang pernah diturunkan oleh Allah SWT
kepada umat manusia. Kelengkapan Islam ini dapat dilihat dari sumber utamanya,
yaitu Al-Quran yang isinya mencakup keseluruhan isi wahyu yang pernah
diturunkan kepada para Nabi. Isi Al-Quran mencakup keseluruhan aspek kehidupan
manusia, mulai dari masalah aqidah,
syariah, dan akhlak, hingga
masalah-masalah yang terkait dengan ilmu pengetahuan.
Semua umat Islam harus mendasari keislamannya dengan
pengetahuan agama (Islam) yang memadai, minimal sebagai bekal untuk menjalankan
fungsinya di muka bumi ini, baik sebagai khalifatullah yang sesuai
firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ [٢:٣٠]
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[1]
Dan sebagai ‘abdullah yang tertuang pada firman Allah dalam QS.
Al-Dzariyat ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [٥١:٥٦]
Marzuki berpandangan bahwa, sebagai khalifah Allah, manusia
harus memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai masalah keduniaan,
sehingga dapat memfungsikannya secara maksimal. Sedang sebagai hamba Allah,
manusia harus memiliki bekal ilmu agama untuk dapat mengabdikan dirinya kepada
Allah dengan benar.[3] Jika
seorang muslim dapat membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup, baik
pengetahuan umum maupun pengetahuan agama, dan sekaligus dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari, maka ia akan menjadi seorang muslim yang kaffah
/ utuh, sebagaimana dalam QS. Al-Bqarah ayat 208 dijelaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[4]
Untuk
memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara mendasar, maka setiap Muslim harus
memahami dan mengamalkan dasar-dasar Islam. Dasar-dasar inilah yang kemudian
oleh sebagian ulama disebut kerangka dasar ajaran Islam. Kerangka dasar ajaran
Islam sangat terkait erat dengan tujuan ajaran Islam. Kerangka ini meliputi
tiga konsep kajian pokok, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Kalau
dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam ini berasal dari
tiga konsep dasar Islam, yaitu iman,
Islam, dan ihsan.
Akhlak
sangat penting sekali bagi kehidupan manusia. Ini terbukti dari zaman yunani
kuno yang oleh para filsuf barat lebih dikenal dengan “Moral” sampai sekarang
ini. Hadis Nabi yang berbunyi “Aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”. Dari pernyataan itu cara Rasulullah menyempurnakan
akhlak dilakukan dengan perbuatan nyata (uswah hasanah), ajakan dan
ketepatan-ketepatan.[5]
Dengan demikian terbentuknya pribadi yang berakhlak, masyarakat yang berakhlak,
kekuasaan yang berakhlak merupakan salah satu tugas utama Islam dan umatnya.
Dalam konteks pendidikan (UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003), bahwa pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab)[6],
salah satu tujuan utamanya adalah pembentukan akhlak atau budi pekerti yang
sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral; yaitu jiwa yang bersih, rendah
hati, percaya diri, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah
laku dan perangai, bijaksana, berkemauan keras dalam belajar dan sukses,
bercita-cita mulia, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak
manusia, tahu membedakan yang baik dan yang buruk, memilih perbuatan yang
paling utama, senantiasa mawas diri tau posisinya sebagai kaum terpelajar dan
generasi masa depan.
Pentingnya
akhlak dalam Islam adalah nomor dua setelah iman. Seseorang tidaklah dikatakan
beriman kepada Allah kecuali ia berakhlak mulia. Sebab di antara tanda-tanda
iman yang paling utama terletak pada akhlak yang mulia, dan di antara tanda-tanda
iman yang paling menonjol adalah akhlak yang buruk. Di antara perhiasaan yang
paling mulia bagi manusia sesudah iman, taat dan takut (kagum) kepada Allah
adalah akhlak yang mulia. Dengan akhlak ini terciptalah kemanusiaan manusia dan
sekaligus membedakannya dengan binatang. Dalam Al-Qur’an terdapat 1504 ayat
atau hampir ¼ keseluruhan ayat dalam A-Qur’an, yang berhubungan dengan akhlak
baik dari segi teori maupun praktis. Hal ini tidak berlebihan, sebab misi Nabi
sendiri adalah menyempurnakan akhlak yang mulia. Itulah sebabnya Allah secara
tegas menyatakan bahwa:
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ [٦٨:٤]
Ayat di atas menganggap akhlak sebagai sifat Nabi yang paling mulia, dan
pujian yang paling tinggi yang diberikan kepadanya. Sebab akhlak Nabi tiada
lain adalah aktualisasi ajaran Al-Qur’an. Suatu ketika Aisyah Ummul Mukminin
r.a ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau berkata: Akhlaknya
(Muhammad) adalah Al-Qur’an. Selanjutnya Aisyah berkata: Tidaklah engkau
membaca, sesungguhnya engkau berada dalam akhlak mulia. Dalam Surat Al-Mukminun
ayat 1-11 digambarkan sebagian dari akhlak mulia itu:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي
صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ وَالَّذِينَ
هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا
عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ
صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ أُولَٰئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ الَّذِينَ يَرِثُونَ
الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam salatnya, dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan oreang-orang yang menjaga
kemaluaanya kecuali terhadap istri-istri mereka atu amat yang mereka miliki,
maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tiada tercela. Barang siapa mencari
dibalik itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas. Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang diembannya) dan janjinya, dan orang-orang
yang memelihara sembahnyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
(yaitu) surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.[8]
Persoalan
akhlak ini harus mendapatkan perhatian utama dalam diri umat Islam. Karena
Rasulullah sendiri adalah orang yang memiliki moral dan akhlak yang tinggi.
Orang yang memiliki kekuatan baik berupa ilmu, harta dan kekuasaan tapi
berakhlak tercela akan lebih berbahaya dari pada orang yang bodoh dan berakhlak
baik, sebab orang yang demikian akan memiliki nilai destruktif yang lebih besar. Berbuat kesalahan secara struktural
akan memiliki dampak yang lebih luas dan berbahaya dari pada kesalahan
individual. Karena itu penyimpangan akhlak atau prosedur yang dilakukan oleh
pejabat, pemimpin, kaum ilmuwan termasuk mahasiswa akan memberikan bobot
keprihatinan yang lebih dalam. Bukan saja karena mereka sebagai terdidik dan
memiliki pertimbangan-pertimbangan rasional yang matang, akan tetapi dampaknya
jauh lebih luas secara mikro bagi yang bersangkutan dan secara makro bagi umat
dan bangsa ini.
Terlepas dari itu, di era globalisasi
telah membawa dampak yang sangat signifikan positif maupun negatif bagi
kehidupan. Sisi positif setidaknya manusia menjadi mudah untuk menikmati
kemajuan zaman melalui alat transportasi, komunikasi dan teknologi lainnya,
Namun dampak negatif dari era globalisasi sangat terasa pula pengaruhnya bagi
masyarakat.[9]
Sisi negatif itu terlihat adanya degradasi moral yang terjadi. Mayoritas
seseorang mengesampingkan masalah moral dibandingkan dengan kekuasaan, kekayaan
dan kesenangan. Misalnya bisa kita lihat beberapa contoh dari sisi negatif
tersebut, antara lain tingginya frekwensi free sex remaja, perkelahian
antar remaja di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat murid kepada guru,
semakin akrabnya remaja dengan obat-obat terlarang seperti ganja, opium,
ekstasi, sabu-sabu, narkotika, dan juga adanya tingkah laku pelajar ke arah
pergaulan bebas.
Akibat yang ditimbulkan cukup serius
dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan-tindakan
tersebut sudah menjurus kepada tindakan criminal. Kondisi ini sangat
memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik),
sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama pelajar.
Hal ini sebagai salah satu indikasi
ketidakberhasilan Pendidikan Agama yang diberikan disekolah-sekolah khususnya
masalah penerapan akhlak mulia dalam diri seseorang. Dalam pendidikan sekolah,
bukan berarti bahwa masalah penyimpangan-penyimpangan akhlak remaja hanya
menjadi tanggung jawab pendidik agama saja, tetapi juga merupakan tanggung
jawab seluruh pengajar/pendidik di sekolah. Guru matematika, guru bahasa, guru
olah raga dan guru-guru lainnya, sudah semestinya turut bertanggung jawab dalam
membentuk akhlak anak didik. Jika pendidikan akhlak hanya dibebankan kepada
guru agama, maka akhlak yang akan tumbuh hanya sebatas hafalan terhadap
doktrin-doktrin agama.[10]
Menurut Haidar Bagir seperti yang dikutip oleh Supriyoko:
Pendidikan Agama yang diajarkan pada peserta didik hanya mementingkan
aspek kognisi (pengetahuan-intelektual). Ini tidak menjadikan peserta didik
menjadi manusia tawadlu-rendah hati,
manusia yang saleh baik secara individu maupun sosial. Bukan lantas bagaimana
nilai-nilai pendidikan agama seperti nilai keadilan, tasamuh, silaturohim,
akhlak mulia dihayati dengan sungguh-sungguh, yang kemudian di implementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.[11]
Maka dari itu, disini penerapan akhlak
mulia pada peserta didik terutama tingkat remaja mempunyai posisi yang sangat
penting sekali. Mengapa demikian? Karena menurut Furter dalam Monk yang dikutip
oleh Sunarto menyatakan bahwa:
Kehidupan moral merupakan problematic yang pokok pada masa remaja.
Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu
anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal
tersebut menduduki tempat yang sangat penting.[12]
Selain itu mengingat bahwa Nabi
Muhammad SAW sebagai tauladan (Uswah hasanah) yang tiada tandinganya
terkait masalah akhlak mulia. Akhlak beliau adalah akhlak Al-Qur’an dan Allah
SWT telah mengajarinya dengan sebaik-baik pengajaran. Firman Allah SWT dalam
QS. Al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Dan sesungguhnya pada diri
Rasulullah itu ada tauladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap (bertemu
dengan) Allah dan hari kemudian dan yang mengingat Allah sebanyak-banyaknya.[13]
Berangkat dari hal di atas penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan temuan-temuan diatas dengan
judul ”Analisis Penerapan Akhlak Mulia Nabi Muhammad SAW Pada Anak Usia
Remaja Dalam Kehidupan Sehari-hari (Studi kasus pada Siswa Kelas
VIII MTs Plus Raden Paku Trenggalek)”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar