Lahirnya
Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menjadi titik awal dimulainya
otonomi daerah. Otonomi daerah (otoda) adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan pemerataan antardaerah
secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
Adanya
Undang-Undang tersebut telah memberi kewenangan yang lebih luas kepada Pemda tingkat
kabupaten untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah mulai dari perencanaan,
pengendalian dan evaluasi, sehingga mendorong Pemda untuk lebih memberdayakan
semua potensi yang dimiliki dalam rangka membangun dan mengembangkan daerahnya.
Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya otoda adalah perkembangan
dari dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan
kemandirian (desentralisasi). Selain itu, keadaan luar negeri yang banyak menunjukkan bahwa
semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk
setiap Pemdanya. Hal tersebut akan tercapai dengan peningkatan kemandirian
Pemda melalui program otoda. Tujuan program otoda adalah mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan
publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun
karakteristik di daerah masing-masing.
Salah satu aspek
dari Pemda yang harus diatur secara hati-hati adalah pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. (Nordiawan, dkk, 2007: 39)
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama
bagi Pemda. Sebagai instrumen kebijakan, APBD mendukung posisi sentral dalam
upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemda. APBD dapat digunakan
sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan pencapaian pembangunan, otoritas pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengernbangan ukuran-ukuran standar untuk
evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi
semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Secara spesifik,
tujuan pelaporan keuangan oleh Pemda adalah untuk menyajikan informasi yang
berguna untuk pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas (pertanggungjawaban)
Pemda atas sumber yang dipercayakan. Pemda sebagai pihak yang diserahi tugas untuk
menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib
menyampaikan laporan pertanggungiawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah
ia berhasil menjalankan tugasya dengan baik atau tidak. Salah satu alat untuk
menganalisis kinerja Pemda dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan
melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah dilaksanakan.
Hasil analisis rasio
keuangan digunakan sebagai tolak ukur dalam :
1.
Menilai kemandirian keuangan
daerah dalam membiayai penyelenggaraan otoda.
2.
Mengukur efektivitas dan efisiensi
dalam merealisasikan pendapatan daerah.
3.
Mengukur sejauh mana aktivitas
Pemda dalam membelanjakan pendapatan daerahnya
4.
Mengukur kontribusi masing-masing
sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
5.
Melihat pertumbuhan dan perkembangan
perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu
tertentu.
Penggunaan analisis rasio pada sektor
publik, khususnya terhadap APBD dan realisasinya belum banyak dilakukan
sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan
kaidah peraturannya. Namun, analisis rasio terhadap realisasi APBD harus
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Di samping
meningkatkan kuantitas pengelolaan keuangan daerah, analisis rasio terhadap
realisasi APBD juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai efektivitas
otoda sebab kebijakan ini yang memberikan keleluasaan bagi Pemda untuk
mengelola keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja keuangan
daerah yang bersangkutan. Maraknya pembahasan mengenai keuangan daerah,
terutama hubungannya dengan otoda yang sementara berlangsung menjadikan hal ini
menarik untuk dibahas. Peneliti memilih salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Soppeng. Kabupaten ini menjadi menarik
sebagai salah satu obyek penelitian karena adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI Perwakilan Sulsel mengenai penggunaan APBD
Soppeng 2010 yang bermasalah sebesar Rp4,3 miliar. Dana tersebut direalisasikan
untuk beberapa kegiatan, seperti belanja hibah, bantuan sosial, dan
transfer/bagi hasil ke desa yang belum dipertanggungjawabkan penggunaannya
(BPK RI Sulsel, September 2011). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dan membuktikan kemampuan Pemda Soppeng dalam mengelola keuangan
daerahnya dan melihat dari efisiensi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengangkat judul, “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Soppeng
terhadap Efisiensi Pendapatan Asli Daerah".
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar