Keluarga
merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak-anaknya (keluarga inti/batih). Pada umumnya sebuah keluarga tersusun dari
orang-orang yang saling berhubungan darah dan atau perkawinan meskipun tidak
selalu. Saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi,
dapat menjadi faktor untuk mendefinisikan sekelompok orang sebagai suatu
keluarga (Abdullah, 1997:140).
Dalam setiap masyarakat pasti akan
di jumpai keluaraga batih (“nuclear
family”). Keluarga batih didasarkan atas ikatan perkawinan yang terdiri
atas suami, istri dan anak yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya
juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat
sebagai wadah dalam proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1), dan keluarga
kerabat merupakan atas adanya perkaiatan darah atau ikatan keturunan dari
sejumlah orang kerabat. Dari pandangan manapun, keluarga dianggap sebagai
elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun lembaga
perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang paling
bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia. Berdasarkan definisi
diatas suatu keluarga terbentuk melalui perkawinan, yaitu ikatan lahir batin
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal sejahtera. Perilaku yang dilakukan oleh
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera
dipandang sebagai perilaku kekeluargaan, ini juga dapat diartikan sebagai
perilaku dalam kehidupan bersama yang di dasari semangat saling pengertian,
kebersamaan rela berkorban, saling asah, asih, dan asuh serta tidak ada maksud
untuk menguntungkan diri pribadi dan merugikan anggota lain dalam keluarga
tersebut.
Seorang laki-laki sebagai ayah maupun
perempuan sebagai ibu didalam suatu keluarga memiliki kewajiban bersama untuk
berkorban untuk guna kepentingan bersama pula. Kedudukan ayah ataupun ibu
didalam rumah keluarga memiliki hak yang sama untuk ikut melakukan kekuasaan demi keselamatan,
kebahagiaan, dan kesejahteraan seluruh anggota. Status suami istri dalam
keluarga adalah sama nilainya, keluarga akan kokoh dan berwibawa apabila dari masing-masing
anggota keluarga yang ada didalam seimbang, selaras dan serasi. Perbedaan
posisi antara ayah dan ibu dalam keluarga pada dasarnya disebabkan oleh faktor
biologis. Secara badaniah, wanita berbeda dengan laki-laki. Alat kelamin wanita
berbeda dengan alat kelamin laki-laki, wanita memiliki sepasang buah dada yang
lebih besar, suara wanita lebih halus, wanita melahirkan anak dan sebagainya.
Selain itu secara psikologis, laki-laki akan lebih rasional, lebih aktif, lebih
agresif. Sedangkan secara psikologis wanita lebih emosional, lebih pasif.
(Budiman dalam Sudarwati, 2011).
Perbedaan
secara biologis terbentuk pada akhirnya menghasilkan perbedaan tugas didalam
keluarga. Wanita yang cenderung lebih emosional atau lebih melihat segala sesuatu
dari sudut perasaan dinilai sangat sesuai dengan tugasnya untuk merawat,
mengasuh, dan mendidik anak. Wanita memang dilahirkan dengan naluri keibuan
yang sering disebut nurturing instinc, dengan naluri ini seorang istri diserahi
tanggung jawab untuk mengasuh anak.
Dengan
demikian, keberhasilan suatu keluarga dalam membentuk suatu rumah tangga dan
sejahtera tidak lepas dari peran seorang ibu yang begitu besar. Baik dalam
membimbing dan mendidik anak mendampingi suami, membantu pekerjaan suami bahkan
sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Namun demikian
kebanyakan dari masyarakat masih menempatkan seorang ayah sebagai subyek,
sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Sedangkan ibu lebih ditempatkan
sebagai objek yang dinomor duakan dengan kewajiban mengurus anak di rumah.
Oleh karenanya terdapat pembagian kerja
antara ayah dan ibu, ayah memiliki areal
pekerja publik karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama didalam
keluarga, sedangkan ibu memiliki areal pekerja domestik yang dapat diartikan
oleh sebagian masyarakat yang menyatakan secara sinis bahwa seorang ibu hanya
sekedar wanita yang memiliki tiga fungsi yaitu memasak, malahirkan anak,
berhias, atau hanya memiliki tugas dapur, dan kasur (Notopuro, 1984 : 51).
Faktor sosial budaya yang dikemukakan diatas kadangkala
menjadi penghalang ruang gerak bagi istri, akibatnya kesempatan bagi kaum ibu
didalam dunia bisnis tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dengan tidak
adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap kesempatan bagi kaum ibu didalam
dunia bisnis, pada akhirnya membuat kaum ibu sulit untuk mengaktualisasikan
dirinya didalam masyarakat terutama didalam area pekerja publik.
Berdasarkan struktur sosok wanita yang dikonsepkan oleh
faktor sosial diatas maka kita akan di
pertanyakan mengapa wanita mendapatkan fungsi rumah tangga atau pekerja
domestik? Pemberian fungsi rumah tangga bagi peran perempuan harus melahirkan.
Ini adalah fungsi yang diberikan alam kepada mereka dan fungsi ini tidak dapat
diubah.
Walaupun demikian, ada suatu kecenderungan bahwa peranan ibu
mulai berubah, terutama di kota-kota besar di Indonesia.Perubahan-perubahan
tersebut antara lain disebabkan, karena hal-hal sebagai berikut:
1.
Kesempatan untuk bekerja semakin banyak bagi
para wanita.
2.
Adanya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan yang
terbuka bagi para wanita.
3.
Dibentuknya organisasi-organisasi wanita yang
ada kaitannya dari tempat bekerja dari suami.
Sesuai dengan anggapan umum
masyarakat, seorang wanita atau seorang ibu dianggap tabuh atau menyalahi
kodratnya sebagai seorang wanita apabila terlalu sering keluar rumah. Terlebih
lagi apabila keluar rumah tanpa memperhatikan alasan mengapa dan untuk apa
perbuatan itu dilakukan. Namun jika kita mau melihat dari fakta yang ada
dilapangan sering kali kaum ibu menjadi penyelamat perekonomian keluarga. Fakta
ini terutama dapat terlihat pada keluarga-keluarga yang perekonomiannya
tergolong rendah, banyak dari kaum ibu yang ikut menjadi pencari nafkah
tambahan bagi keluarga. Pada keluarga yang tingkat perekonomiannya kurang atau
prasejahtera peran ibu tidak hanya dalam areal pekerja domestik tetapi juga
areal publik. Ini dimungkinkan terjadi karena penghasilan ayah sebagai pencari
nafkah utama tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Para ibu lebih banyak
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat informal seperti berdagang, menjadi
pembantu rumah tangga dan lain sebagainya dalam upaya mencari nafkah tambahan
bagi keluarga. Rumah tangga petani adalah salah satu contoh nyata dari keluarga
yang perekonomiannya rendah didalam masyarakat. Rumah tangga petani sudah lama
diketahui tergolong miskin, selain rumah tangga nelayan, buruh tani dan
pengrajin (Sayogya, 1978: 1991).
Istri
petani ternyata memiliki peranan yang penting dalam menyiasati serta mengatasi
kemiskinan yang dialaminya. Masyarakat di Desa Tawaroe Kecematan Dua Boccoe
Kab.Bone adalah salah satu bukti nyata yang ada didalam masyarakat mengenai peranan kaum perempuan pada
masyarakat petani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Sebagai
salah satu desa yang terletak jauh dari keramaian Kota Watampone, mata
pencaharian masyarakat desa Tawaroe adalah sebagian sebagai petani. Sebagian
besar perpotensi sebagai pemilik lahan dan pekerja.
Masyarakat di Desa Tawaroe yang
berpotensi sebagai petani biasanya bertani dengan menggunakan peralatan yang
masih sangat tradisional. Masyarakat desa Tawaroe sebagai masyarakat petani
didalam kehidupan sehari-hari memiliki permasalahan yang sama dengan masyarakat
lainnya. Kemiskinan adalah salah satu masalah yang dihadapi masyarakat petani
di desa Tawaroe ketidak berdayaan mereka dalam faktor ekonomi didalam kehidupan
sehari-hari diakibatkan oleh penghasilan yang tidak menentu dan cenderung kecil
dan mereka tidak bisa pergi bertani setiap hari karena faktor cuaca atau musim
dan sebagainya.
Kaitannya
dengan konsep diri mengenai sosok wanita yang ideal dari wanita Indonesia
dengan peranan istri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya
pada masyarakat petani di desa Tawaroe Kec. Dua Boccoe Kab.Bone maka
pandangan dan anggapan-anggapan yang
memandang rendah kedudukan dan peranan ibu
dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga tidak berlaku dimasyarakat
Desa Tawaroe dalam pembagian kerjanya berdasarkan kelamin. Pembagian kerja yang
terjadi pada masyarakat Desa Tawaroe dalam penerapannya didalam kehidupan
sehari-hari walaupun ada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang dibagi secara
jelas. Pada
keluaraga pekerja, isteri bertugas mengurus pembagian hasil panen dengan
pemilik lahan, sedangkan pada keluarga pemilik lahan istri bertugas untuk
menjual hasil panen mereka. Disisi lain, sebagai anggota keluarga petani,
wanita tani berperan aktif dalam membantu usahatani dan mencari nafkah di
subsektor off dan non farm. Makin luas lahan usahatani
yang digarap, makin banyak tenaga wanita yang tercurah, yang mengindikasikan variasi dan ragam aktivitas dan kuantitas
curahan waktu/tenaga wanita tani. Bila wanita tani berstatus janda atau suami
bekerja di rantau, otomatis wanita akan berperan ganda, yaitu sebagai kepala
rumah tangga (yang mengatur segala kebutuhan rumah tangga) dan sebagai
pengelola usahatani keluarga.
Judul : Peranan Istri Petani Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumah Tangga Di Desa Tawaroe Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone (SO-22)
Judul : Peranan Istri Petani Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumah Tangga Di Desa Tawaroe Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone (SO-22)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar