Pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o Undang-Undang No 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan bagi pemerintah daerah
dalam menjalankan roda pemeritahan daerahnya sendiri. Otonomi daerah
menciptakan ruang gerak yang lebih bebas dalam membuat kebijakan dan peraturan
daerah yang melibatkan pihak-pihak terkait yang sesuai dengan pemahaman dan
kebutuhan masyarakat masing-masing daerah tersebut. Dengan otonomi daerah
diharapkan terjadi peningkatan pelayanan publik sekaligus memperbaiki
kesejahteraan hidup masyarakat.
Desentralisasi jika dilihat dari
latar belakang sejarahnya bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Artinya hakekat dari desentralisasi adalah pelayanan. Dorongan atas pelaksanaan
desentralisasi, muncul sebagai dampak dari adanya tuntutan akan perlunya
percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Untuk menjawab tuntutan ini maka
penyerahan pemberian layanan kepada lembaga yang terdekat dengan masyarakat,
yang secara hirarkis adalah penyerahan peran pemberian layanan publik kepada
lembaga pemerintah dibawahnya adalah hal mutlak dilakukan.
Hal tersebut sejalan dan sesuai
dengan tujuan otonomi daerah berdasarkan penjelasan umum (butir a)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Menurut Ryaas Rasyid (1997) bahwa
kalau kita percaya pemerintahan dibentuk untuk menjaga suatu sistem ketertiban,
dan bahwa pemerintah bertanggung jawab memberi pelayanan kepada masyarakat,
bukan untuk melayani dirinya sendiri, maka kita akan mudah menerima asumsi
bahwa pemerintahan yang baik adalah yang
dekat kepada masyarakat. Asumsinya, kalau pemerintahan berada dalam jangkauan
masyarakat maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah,
responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif.
Kondisi pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai oleh prosedur yang
berbelit-belit, akses yang sulit, biaya yang tidak transparan, waktu
penyelesaian yang tidak jelas dan banyaknya praktek pungutan liar dan suap yang
tidak jelas. Pelayanan publik dikantor pemerintahan di Indonesia masih
terbilang buruk, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Dunia dari 157
negara, Indonesia berada di urutan 135 dalam kualitas pelayanan publiknya.
S.P. Siangian (1996 : 39), mengatakan
bahwa untuk memahami beberapa masalah yang sering menjadi keluhan publik
terkait pelayanan birokrasi pemerintahan oleh aparat, diantaranya dapat
disebutkan:
1. Memperlambat proses penyelesaian
pemberian izin;
2. Mencari berbagai dalih, seperti
kekurang lengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan
dalih lain yang sejenis;
3. Alasan kesibukan melaksanakan tugas
lain;
4. Sulit dihubungi;
5. Senangtiasa memperlambat dengan
menggunakan kata-kata “sedang diperoses”.
Kita semua menyadari bahwa pelayanan
publik selama ini bagaikan rimba raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk
memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat
pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika
mereka berhadapan dengan yang namanya birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan
pelayanan ini itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan sebarapa besar dana
yang perlu disiapkan dalam pengurusan-pengurusan yang berkaitan dengan
pelayanan birokrasi. Baik harga maupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau
dengan masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan dengan
birokrasi publik.
Pelayanan publik di
Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan publik pada umumnya
masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga, prosedur, maupun waktu.
Pengurusan perizinan menjadi molor, ditambah lagi pungutan liar disana-sini.
Konsekwensinya secara ekonomis, timbul biaya ekonomi yang tinggi. Sedangkan pelayanan
publik sudah merupakan hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi karenanya negara
berkewajiban menyelenggarakan sejumlah pelayanan guna memenuhi hak-hak dasar
warganya yang dijamin oleh konstitusi dalam hal ini Undang-Undang No. 25 Tahun
2009 tentang pelayanan publik.
Semuanya itu
berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia dibanding negara-negara
berkembang lainnya. Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan publik tidak
pernah menyadari hal tersebut, yang diperparah lagi dengan korupsi yang
mengerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari harapan
warga. Organ pelayanan publik mancakup sumbar daya manusianya, lembaga yang
memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan yang tidak dijalankan
sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku.
Semua orang pasti
membayangkan, begitu masuki kantor atau dinas saat hendak mengurus sesuatu yang
berhubungan dengan pelayanan publik, pegawai di sana menyambut dengan senyum
dan menyapa ramah “selamat pagi, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” lalu meminta
warga untuk mengambil nomor antrian dan mempersilahkan untuk duduk dan menunggu
giliran.
Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
itupun sebenarnya tak perlu membutuhkan waktu yang lama, yang jelas dimana
harus membayar dan seberapa dana yang harus dikeluarkan. Tanpa banyak meja yang
harus didatangi, banyak mengeluarkan uang yang tidak jelas peruntukannya, dan
tentu tanpa tawar-menawar dengan calo.
Namun itu semua,
masih jauh dari harapan masyarakat saat ini. Masyarakat pengguna jasa sering
dihadapkan pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan
birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya.
Begitu pula dengan harga pelayanan, yang bisa saja berbeda-beda tergantung pada
banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan dengan para pengguna
jasa.
Kota Makassar
yang menjadi fokus kajian penulis dalam pengajuan proposal yang akan diteliti,
maka pelayanan publik yan baik merupakan syarat
mutlak bagi Makassar untuk kembali ke kota dunia. Pelayanan publik dilakukan baik oleh
pemerintah maupun non-pemerintah, pelayanan menyangkut konsumsi dan transaksi
ekonomi dilakukan oleh pihak swasta. Sedangkan pelayanan yang menyangkut
hal-hal administratif jelas merupakan domain pemerintah salah satunya pembuatan
izin mendirikan bangunan (IMB). Izin Mendirikan Bangunan merupakan suatu izin
yang mutlak untuk dimiliki bagi setiap masyarakat yang ingin mendirikan
bangunan sebagaimanayang tertuang dalam Perda Kota Makassar Nomor 15 Tahun 2004
tentang tata bagunan.
Mengutip hasil penelitian yang
dilakukan Business Digest, sebuah lembaga survei ekonomi independen,yang
dilansir majalah ekonomi SWA Sembada
edisi Juni 2007, Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia
dalam hal kekayaan dan sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Kota Makassar
memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat. Tetapi disisi
lain Kota Makassar menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagia
daerah yang menarik untuk investasi.
Mengapa demikian ? Ternyata
masalahnya ada pada kualitas pelayanan publik. Kota Makassar yang terkenal
dengan julukan kota anging mammiri berada pada posisi juru kunci atau menempati
rangking yang paling terendah dari 16 kota lainnya di Indonesia, dalam hal city public service (CPS) index. Terdapat 15 titik layanan yang diukur
dalam survei tersebut, termasuk di dalamnya pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB). Dari 15 titik layanan, hampir semua responden memberikan nilai kurang
baik atau bahkan buruk. (SWA Sembada; Indonesia CPS Index: Masih jauh dari Asa;
14 Juni 2007).
Sudah banyak hal yang dilakukan
Pemerintah Kota Makassar dalam upaya memberikan pelayanan publik yang lebih
baik kepada masyarakat. Sejak 2005, Wali Kota Makassar yang dinahkodai oleh
Bapak Ir. H Ilham Arief Sirajuddin, M.M yang akrab disapa Aco mencanangkan
pelayanan satu atap dalam pengurusan izin untuk memangkas birokrasi yang
berbelit-belit. Menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan
pentingnya iklim perizinan yang lebih kondusif dan untuk lebih menggairahkan
perdagangan dan investasi, Pemerintah Kota Makassar membentuk Kantor Pelayanan
Administrasi Perizinan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 13
Tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan
Administrasi Perizinan Kota Makassar sebagai instansi yang memberikan jasa
pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir Pelayanan
Administrasi Pemerintah dibidang Pelayanan Perizinan yang secara spesifik
bekerja untuk melayani permohonan berbagai perizinan, dan formalitas lainnya di
Kota Makassar yang menjalankan sistem administarasi satu atap. Sistem tersebut diharapkan dapat
mempermudah para pengurus perizinan di Kota Makassar. Setelah Kantor Pelayanan
Administari Perizinan dibentuk, maka Pemerintah Kota Makassar mengeluarkan
kebijakan melalui Peraturan Walikota Makassar Nomor 14 Tahun 2005 tentang tata
cara pemberian izin pada Pemerintah Kota Makassar.
Dari Uraian diatas telah disebutkan
bahwa keberadaan Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan di Kota Makassar
secara empirik diharapkan berhasil mendongkrak efisiensi dan produktifitas
pelayanan publik di Kota Makassar. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi
dari Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan sesungguhnya tidak lebih sebagai front linear dalam penyelenggaraan
pelayanan tertentu. Artinya, Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan
memfungsikan dirinya sebagai ‘loket’ penerima permohonan yang akan dilanjutkan
perosesnya pada dinas atau instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi
demikian, maka Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan justru dapat
dipersepsikan sebagai penambahan rantai birokrasi dala pelayanan kepada
masyarakat.
Untuk menghindari kesan yang negatif
ini, maka mau tidak mau perilaku birokrasi pada pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan harus dapat bekerja secara profesioanal, dalam pengertian bahwa
meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa
dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berkeinginan untuk
melakukankan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul ”Prilaku Birokrasi Pelayanan Publik (Studi Pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan di Kota Makassar).
Judul : Perilaku Birokrasi Pelayanan Publik (Studi Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Makassar) (PMT-9)
Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap
Judul : Perilaku Birokrasi Pelayanan Publik (Studi Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Makassar) (PMT-9)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
ada skripsi tentang perilaku birpkrasi pemerintahan terhadap pelayanan publik (study di kantor kecamatan)
BalasHapus