Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan pernah ada dalam
kehidupan dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya berupa gagasan,
idea atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan kebudayaan ini
mungkin adalah bagian dari tradisi semesta yang memiliki corak dan etnis
tertentu. Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun
dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya
dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya dapat menjadi
ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia.
Konsep budaya menurut Marvin
Harris (dalam Asep Rahmat: 2009) ditampakkan dalam berbagai pola tingkah
laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat
atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat
menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan kebudayaan
merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,
karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada
masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin
masyarakat dapat bertahan hidup.
Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan
yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktifitas dan menghasilkan suatu karya
(kebudayaan fisik) sehingga manusia pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Kebudayaan
juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara rapi yang
diwariskan secara turun-temurun pada setiap generasi. Hal ini pun tampak dalam
masyarakat Toraja, yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius dan
memiliki integritas tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya.
Menurut Suhamihardja dalam bukunya Adat
istiadat dan kepercayaan Sulawesi-selatan, (1977:29) suku bangsa Toraja
terkenal sebagai suku yang masih
memegang teguh adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena
melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap
perlakuan yang memandang rendah adat itu, apalagi dalam upacara kematian,
upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara adat itu dilakukan
dengan besar-besaran karena anggapan masyarakat Toraja apabila upacara itu
diadakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan. Untuk itu, semakin
baik dan gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin tinggi, status
naik, dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang melakukan hal itu
adalah golongan-golongan bangsawan dan golongan menengah.
Dalam keseharian setiap masyarakat senatiasa mempunyai
penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan
hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu
masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan misalnya,
mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan materiil akan menempati kedudukan
yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut
menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau
kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
Sistem lapisan dalam masyarakat dikenal dengan social stratification. Pitirim A. Sorokin (Narwoko dan Bagong, 2006) mengemukakan bahwa sistem pelapisan
dalam masyarakat mencakup ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang
hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang berharga
dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang
memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama
sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Lebih lanjut Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa
stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan
kelas-kelas yang lebih rendah. Ukuran yang dipakai untuk menggolong
anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan,
kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang
berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut
dikenal dengan tingkatan berikut:
a.
Tana’ Bulaan/Toparenge yang merupakan kasta tertinggi. Pada
umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam
masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian
menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok
adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga menguasai tanah persawahan
di Toraja.
b.
Tana’ Bassi/ Tomakaka. Tana’ bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya
dengan Tana’ Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah
persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum bangsawan, mereka ini
adalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain.
c.
Tana’ Karurung/To. Kasta ini merupakan rakyat
kebanyakan atau sering di sebut paktondokan.
Golongan ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi
masyarakat toraja.
d.
Tana’ Kua-Kua/Kaunan. Golongan kasta ini merupakan
pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan
dengan tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain,
mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah
bersumpah turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga
mempunyai kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan
ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.
Sesuai dengan ruang lingkup strata sosial yang mana mencakup
seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pada akhirnya masalah yang menarik
untuk dipelajari dan dibahas lebih
jauh ada hubungannya dengan upacara
Rambu Solo’. Dalam hal budaya upacara Rambu solo’, Rambu solo’ bagi orang
toraja merupakan budaya yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan
unsur budaya lainnya. Upacara Rambu
solo’ diatur dalam Aluk Rampe Matampu dan mempunyai sistem serta tahapan sendiri.
Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman dan kedukaan. Masyarakat Toraja
dalam ajaran Todolo memberikan
perhatian pada upacara pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat istimewa
serta mengandung dimensi religi, kemampuan ekonomi, dan dimensi sosial.
Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai
suatu pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat Toraja dalam
melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai
sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk
penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk
mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja
mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain
pun sering muncul, bahwa sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang
yang melaksanakannya harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi
masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya tentang upacara, status,
jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri’), dan hal inilah yang
menyebabkan upacara Rambu solo’ terkait dengan tingkat stratifikasi sosial.
Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh kalangan
bangsawan dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai bergeser,
siapa yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu Solo
ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan
yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status
sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih
berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor
kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010:40).
Secara harafiah bahwa budaya Rambu solo’ di Toraja banyak
menyinggung tentang stratifikasi sosial atau lapisan masyarakat seperti di
jelaskan di atas bahwa pelaksanaan upacara Rambu solo’ menjamin gengsi sosial
atau menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan seluruh rumpun keturunan yang
meninggal, juga terselenggaranya upacara ini turut menentukan seberapa tinggi
tingkat dan martabat keluarga dalam masyarakat yang dapat dilihat dari
tingkatan bangsawan, rakyat menengah, dan kalangan bawah, serta menimbulkan
banyak pandangan yang berbeda dari berbagai lapisan masyarakat.
Berangkat dari
realitas dan penjelasan diatas, merupakan suatu hal menarik bagi penulis untuk
mengkaji lebih jauh tentang dinamika kebudayaan daerah dengan mengangkat judul
penelitian,
“ Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara
Rambu Solo’ Berdasarkan Stratifikasi Sosial (Studi Kasus Kel.Ariang Kec. Makale
Kab. Tana Toraja)”
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar