BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai pendidikan memang tidak pernah ada habisnya. Berbagai
persoalan pendidikan pun muncul seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga
solusinya yang kian hari kian banyak opini, pendapat, jurnal, artikel bahkan
penelitian khusus tentang pendidikan, baik kajian teoritik mauupun empirik.
Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam
hidup ini, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Fatah
Yasin mengutip perkataan John Dewey yang juga dikutip dalam bukunya Zakiyah
Daradjat menyatakan bahwa “Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup
manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan
disiplin”.[1]
Pernyataan Dewey tersebut mengisyaratkan bahwa sejatinya suatu komunitas
kehidupan manusia di dalamnya telah terjadi dan selalu memerlukan pendidikan,
mulai dari model kehidupan masyarakat primitif sampai pada model kehidupan
masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan
kebutuhan manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia, dan telah berlangsung
sepanjang peradaban manusia itu ada. Dan hal ini sesuai dengan kodrat manusia
yang memiliki peran rangkap dalam hidupnya, yaitu sebagai makhluk individu yang
perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat dimana mereka hidup. Untuk itu
pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni disamping mengembangkan kepribadian
manusia secara individual, juga mempersiapkan manusia sebagai anggota penuh
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan dunianya.[2]
Manusia dilahirkan ke dunia ini bagaikan kertas putih tanpa ada coretan
sedikitpun. Pengalaman dan lingkunganlah yang akan memberikan coretan-coretan
tersebut, sehingga akan terbentuk perilaku
terhadap manusia. Pendidikan bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan
saja waktunya. Islam mengajarkan bahwa pendidikan pertama dan utama yang paling
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah
orang tua.[3]
Islam memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya,
terutama anak-anaknya agar terhindar dari siksaan. Orang tua memegang peranan
penting dalam pendidikan anaknya.
Makna yang terkandung dalam pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian
manusia. Keberhasilan pendidikan pada masa kanak-kanak pada akhirnya
dimunculkan pada perbuatan dan perilaku. Islam datang untuk mengantarkan
manusia kejenjang kehidupan yang gemilang dan bahagia sejahtera melalui
berbagai segi. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami
sekarang ini tidak sedikit dampak negatifnya terhadap kehidupan atas kemajuan
yang dialaminya, sehingga pada saat ini manusia terlampau mengejar materi,
tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk
memelihara dan mengendalikan akhlak.
Lembaga pendidikan yang bertugas mendidik anak didik harus bisa berperan
untuk melaksanakan tujuan dan fungsi pendidikan. Dimana tujuan dan fungsi
pendidikan nasional itu telah diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 3, yang berbunyi :
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Integritas pendidikan dalam pembentukan kepribadian bukan merupakan sesuatu
hal yang tidak mungkin, akan tetapi di dalamnya juga terkandung maksud bahwa
integritas pendidikan Islam dalam pembentukan kepribadian memiliki tantangan
yang harus dihadapi, khususnya dalam berbagai perkembangan yang terjadi pada
masa sekarang ini. Dalam pembentukan kepribadian tidak terpisah dari 3 unsur
pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dari ketiga unsur
tersebut harus ada kesadaran masing-masing pihak untuk saling melengkapi dalam
mewujudkan pendidikan yang dapat mencetak insan yang memiliki kepribadian
luhur.
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok.
Berdasarkan kemampuan itu umat manusia telah berkembang selama berabad-abad
yang lalu. Masing-masing manusia pun mengalami banyak perkembangan diberbagai
bidang kehidupan. Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya kemampuan untuk
belajar, yaitu mengalami perubahan-perubahan, mulai saat lahir sampai mencapai
umur tua. Sudah barang tentu perubahan-perubahan yang diharapkan akan terjadi
adalah perubahan yang bercorak positif, yaitu perubahan yang mengarah ketaraf
kedewasaan. Hal ini kelihatannya sudah jelas dengan sendirinya, namun ternyata
perlu dikaji lebih lanjut. Suatu proses belajar juga dapat menghasilkan suatu
perubahan dalam sikap dan tingkah laku yang dapat dipandang bercorak negatif.[5]
Di era yang semakin global ini tuntutan adanya sumber daya manusia yang
berkualitas dan berwawasan luas tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan umum
saja, namun juga harus didasari dengan akhlak yang karimah, sehingga mampu
mengendalikan diri dari pengaruh budaya yang serba membolehkan yang mengiringi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Krisis yang melanda
Indonesia dewasa ini diindikasikan bukan hanya berdimensi material, akan tetapi
juga telah memasuki kawasan moral agama. Hal ini dipicu oleh tidak adanya
pengetahuan agama yang kuat.
Kalau kita mengamati kenyataan hidup umat Islam pada masa kini, maka
tidaklah sedikit diantara mereka yang berkepribadian buruk. Banyak umat islam
yang selalu aktif menunaikan ibadah shalat, puasa, zakat, dan bahkan sudah
menunaikan haji, tapi dalam kehidupan mereka masih suka berbuat hal-hal yang
kurang baik atau bahkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Mereka suka memeras
orang lain untuk dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan. Adapun dalam
kehidupan sosial, mereka bersikap ala liberalis, demikian pula dalam segi
kehidupan lainnya. Misalnya dalam bidang politik, budaya, seni, pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi lepas dari nilai-nilai moral yang telah digariskan
oleh ajaran agama Islam. Selain itu juga masih banyak kasus-kasus yang di luar
norma-norma agama. Misalnya kondisi moral/akhlak generasi muda yang
rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja,
peredaran narkoba di kalangan remaja, peredaran foto dan video porno pada
kalangan pelajar, dan sebagainya.[6]
Apabila sikap-sikap di atas semakin membudaya, maka jelaslah akan berdampak
negatif pada anak-anak yang masih berada dalam proses pembinaan moral agama.
Karena pertumbuhan dan perkembangan moral agama pada anak-anak lebih banyak
diperoleh melalui hasil pengamatan terhadap suasana lingkungan di sekitarnya
atau melalui peniruan dan keteladanan. Anak-anak adalah generasi penerus yang
akan menggantikan dan memegang tongkat estafet generasi tua. Agar mereka
menjadi generasi penerus yang bermoral religius, maka mereka harus dibina,
dibimbing, dan dilatih dengan baik dan benar melalui proses pendidikan, khususnya
pendidikan Islam.
Tujuan utama pendidikan Islam ialah membentuk akhlak dan budi pekerti yang
sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, jiwa bersih, kemauan keras,
cita-cita yang besar serta akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan
pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan baik dan buruk,
menghindari perbuatan tercela, dan senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap
pekerjaan yang mereka lakukan.[7]
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin
untuk mewujudkannya dan juga kita harus berpandangan luas mengenai bagaimana
kita sebagai orang dewasa untuk mendidik dalam bersikap dan bertingkah laku
kepada anak, karena bahwasanya anak-anak adalah kuncup-kuncup yang akan
berkembang dalam kehidupan kita, janji gemilang bagi masa depan, dan penghibur
hati kita.
Anak-anak dan para pemuda mempunyai tanggung jawab ganda yang penting untuk
mereka laksanakan dalam masa hidup mereka. Pertama, mereka dipercayai
untuk melindungi hasil-hasil penting yang telah dicapai oleh bangsa mereka. Kedua,
mereka harus berperan serta dengan kapasitas sendiri untuk menggunakan semua
potensi yang ada pada mereka untuk memperbaiki mutu kehidupan bangsa mereka.
Karena itulah islam sangat menekankan pentingnya pendidikan anak. Al-qur’an
banyak berisi tentang aturan-aturan yang melindungi kehidupan anak-anak, dan
juga membimbing dan mengatur jalan hidup mereka. Selain mengatur kehidupan
anak-anak, keluarga dan masyarakat, Islam juga memperhitungkan adanya hubungan
di antara mereka semua, dan ini berarti jika perubahan atau kerusakan pada
salah satu baginya, maka akan mempengaruhi semuanya.
Melihat fenomena di atas, maka pendidikan karakter sangat dibutuhkan agar
anak-anak didik mempunyai kepribadian yang luhur. Wacana tentang pendidikan
karakter, pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual
dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagogik Jerman, FW. Foerster tahun
1869-1966.[8]
Namun menurut penulis, penggagas pembangunan karakter pertama kali adalah
Rasulullah SAW. Pembentukan watak yang secara langsung dicontohkan Nabi
Muhammad SAW merupakan wujud esensial dari aplikasi karakter yang diinginkan
oleh setiap generasi. Secara asumtif, bahwa keteladanan yang ada pada diri Nabi
menjadi acuan perilaku bagi para sahabat, tabi’in dan umatnya. Namun sampai
abad 15 sejak Islam menjadi agama yang diakui universal ajarannya, pendidikan
karakter justru dipelopori oleh negara-negara yang penduduknya minoritas
muslim.
Dalam Al-Qur’an, teks yang membicarakan tentang keteladanan telah
mengingatkan kita yang mengakui diri sebagai muslim dan memiliki akal untuk
berpikir sejak 15 abad silam, yaitu QS.
Al-Baqarah ayat 44:
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ
تَتْلَوْنَ اْلكِتَابَ قلى اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ ﴿ ٤٤﴾
Artinya :
“Mengapa kamu
menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu
sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”[9]
Untuk dapat mewujudkan generasi Qur’ani sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus diusahakan secara teratur
dan berkelanjutan baik melalui pendidikan informal seperti keluarga, pendidikan
formal, atau melalui pendidikan non formal. Generasi Qur’ani tidak lahir dengan
sendirinya, tetapi ia dimulai dari pembiasaan dan pendidikan dalam keluarga,
misalnya menanamkan pendidikan agama yang sesuai dengan perkembangannya,
sebagaimana hadits Nabi “Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat, lantaran
ia sudah berumur 7 tahun, pukullah mereka setelah berumur 10 tahun, dan
pisahkan tempat tidurmu dan tempat tidur mereka”.[10]
Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak yang mulia hendaknya ditanamkan
sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam lingkungan keluarga
melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan ini kemudian dikembangkan dan
diaplikasikan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Disini diperlukan
kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-lembaga keagamaan yang dapat
mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia di kalangan umat.[11]
Oleh karena itu, terlepas dari perbedaan makna karakter, moral, dan akhlak,
ketiganya memiliki kesamaan tujuan dalam pencapaian keberhasilan dunia
pendidikan.
Dengan fenomena pendidikan karakter diatas, membuat penulis merasa tergugah
untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana perspektif islam tentang
pendidikan karakter dan juga bagaimana implementasinya dalam proses belajar
mengajar.
[1]A. Fatah
Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. (Malang: UIN Malang Press,
2008), hal. 15
[3]Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis dan Praktis. (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal. 42
[4]Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 76
[5]W.S. Winkel,
Psikologi Pengajaran. (Jakarta: Grasindo, 1996), hal 1-2
[6]Dharma
Kesuma, et. all., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 2-4
[7]M. Athiyah
Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan
Djohar Bahry. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 3
[8]Abdul Majid,
dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), hal.8
[9]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2010), hal. 7
[10]Said Aqil
Husain Al-Munawar, Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 353
[11]Said Aqil
Husain Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam. (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 27
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar