BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk yang paling
sempurna diantara mahkluk yang lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan diberi
bekal berupa fisik yang indah, diberi perasaan, fikiran dan akal.[1] Jika
fikiran dan akal telah di anugerahkan oleh Tuhan kepada manusia maka setiap
manusia wajib untuk belajar atau mencari ilmu, sebagaimana hadits Nabi yang
artinya:
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim“.[2] Ilmu
lahir karena manusia diberkahi Tuhan suatu sifat ingin tahu.[3]
Rasa ingin tahu
menjadikan manusia harus melakukan proses belajar dan mengajar. Dimana belajar
dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.[4] Belajar
adalah proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi
yang ada disekitar individu, belajar adalah proses yang diarahkan pada tujuan,
proses berbuat melalui pengalaman. Belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan
sehinga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/tetap.[5] Belajar
adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.[6]
Sama halnya dengan belajar, mengajarpun pada hakekatnya
adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada
disekitar peserta didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik
melakukan proses belajar.[7]
Didalam belajar, terdapat tiga masalah pokok yaitu:
1) Masalah mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya belajar
2) Masalah mengenai bagaimana belajar itu berlangsung dan prinsip mana yang
dilaksanakan
3) Masalah mengenai hasil belajar.[8]
Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar itu, dapat kita bedakan menjadi dua golongan:
a.
Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita
sebut faktor individual.
b.
Faktor yang ada diluar individu yang disebut faktor
sosial. Yang termasuk dalam faktor idividual antara lain: faktor kematangan
atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor
sosial antara lain faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, guru dan cara
mengajarnya, alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan
kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.[9]
Metode megajar yang
diterapkan dalam suatu pembelajaran
dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan atau
dengan kata lain tujuan tercapai bila makin tinggi kekuatannya untuk
menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode mengajar
dikatakan efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang diharapkan
itu relatif. Menggunakan tenaga, usaha, pengeluaran biaya dan waktu minimum
atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya dan waktu yang dikeluarkan semakin
efisien metode itu.[10]
Dengan demikian maka seorang pengajar harus memilih
strategi mengajar sehingga membantu kelancaran setiap tipe belajar.[11] Gagne (dalam
Herman Hudojo) berpendapat bahwa setiap belajar tersebut terjadi dalam empat
fase yang berurutan, yaitu fase pemahaman, fase penguasaan, fase ingatan dan
fase pengungkapan kembali.[12]
Fase pemahaman adalah fase belajar yang pertama dimana
peserta didik menyadari adanya stimulus atau sekumpulan yang disajikan dalam
situasi belajar. Fase pengusaan merupakan fase belajar yang kedua dimana
peserta didik sedang memperoleh atau memproses fakta, ketrampilan, konsep atau
prinsip yang dipelajari. Setelah seseorang memperoleh suatu pengetahuan baru,
pengetahuan itu harus disimpan atau diingat. Ini merupakan fase belajar yang
disebut fase ingatan. Fase pengungkapan kembali adalah fase belajar yang ke
empat dimana kemampuan peserta didik untuk menyebutkan kembali informasi yang
telah diperoleh dan disimpan dalam ingatan.
Belajar mengajar yang sudah tersusun dapat ditentukan
metode mengajar atau tehnik mengajar dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau
media pelajaran sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan. Prinsip
cara belajar peserta didik aktif dalam pembelajaran matematika adalah bahwa:[13]
1. Setiap konsep baru selalu diperkenalkan melalui kerja praktek yang cukup.
Maksudnya adalah:
a) Penyampaian materi dimulai dari hal-hal yang konkrit dan mengarah ke
hal-hal yang abstrak
b) Pengalaman peserta didik melalui kerja praktek merupakan hal yang
diutamakan
c) Pengalaman langsung yang dialami peserta didik akan membawanya pada tingkat
memahami
d) Pemberian tugas atau latihan menyelesaikan soal kepada peserta didik
merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap
suatu konsep matematika.
2. Kerja praktek merupakan bagian dari keseluruhan pembelajaran matematika.
Bahkan bagian yang terpadu dalam pelajaran matematika secara keseluruhan.
3. Dengan kerja praktek pengalaman peserta didik akan bertambah.
4. Penerapan konsep baru melalui praktek kerja harus dilakukan berulang kali
dengan bervariasi, dengan maksud untuk lebih menanamkan konsep dan untuk dapat
memperbaiki dengan segara.
5. Pemberian kesempatan untuk mengemukakan pertanyaan dan hasil penemuan bagi
peserta didik/anak perlu diberikan. Dengan memberi kesempatan bertanya kepada
peserta didik atau anak berarti mengembangkan sekaligus mendorong untuk rasa
ingin tahu. Tugas guru (pendidik) adalah membimbing dengan terus menerus,
memberi dorongan dan kesempatan bertanya serta menciptakan kondisi yang
merangsang anak atau peserta didik untuk berfikir.
6. Mempergunakan pengalaman sehari-hari dalam pembelajaran matematika
perkembangan berfikir dan perkembangan bahasa saling mempengaruhi dengan
perkembangan berpikir anak/peserta didik tumbuh dari apa yang anak kerjakan dan
pada awalnya digambarkan dengan berbendaharaan kata-katanya sendiri.
7. Kegiatan penilaian atau evaluasi jangan hanya melihat dari hasil yang
dikerjakan peserta didik tetapi juga harus dilihat dari proses kegiatan
pelajaran atau keaktifan dalam bekerja.
Kesiapan peserta didik untuk belajar matematika perlu
dipertimbangkan apabila kita menghendaki keberhasilan peserta didik didalam
belajarnya. Karena itu pengajar hendaknya menyadari bahwa periode berfikir
operasi kongkrit dan opersi formal yang dikemukakan Piaget berlangsung selama
belajar disekolah.[14]
Adapun periode berpikir konkrit yang dikemukakan oleh
Piaget adalah sebagai berikut:
1. Periode sensori motor (0–2 tahun), rangsangan itu timbul karena anak
melihat dan meraba obyek-obyek. Bila obyek itu disembunyikan, anak itu
tidak akan mencarinya lagi.
2. Periode pra-operasional (2-7 tahun), pada periode ini, anak didalam
berpikirnya tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan
pada keputusan yang dapat dilihat seketika.
3. Periode operasi konkrit (7-11/12 tahun), periode ini disebut operasi
konkrit sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari obyek-obyek.
4. Periode operasi formal ( 11 atau 12 tahun keatas), periode operasi formal
ini disebut juga operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari
perkembangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah dapat memberikan
alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara
berpikirnya.[15]
Bagi anak yang duduk di bangku pertama sokolah dasar, hal
yang pertama perlu ditekankan sebelum menerima pelajaran lain adalah dengan
menguasai keterampilan baca, tulis dan berhitung. Keterampilan ini merupakan
dasar dari segala keterampilan yang bakal di perolehnya kelak.[16] Tapi
bagi anak kecil, melakukan pekerjaan menghitung merupakan hal yang paling tidak
disukai. Banyak anak didik yang alergi bila harus berhadapan dengan ilmu
berhitung. Mereka sering merasa kesulitan bila menghitung dalam jumlah besar,
misalnya perkalian atau pembagian dalam bilangan ratusan bahkan ribuan.
Kebanyakan dari mereka menggunakan alat bantu elektronik seperti kalkulator.[17]
Ini dapat dimengerti karena
tingkat pemahaman anak dalam berfikir secara abstrak masih sangat terbatas
sekali, dan anak kecil sering merasa kesulitan dalam membayangkan suatu operasi
hitung yang sederhana sekalipun.[18] Pada
tahap periode operasi konkrit inilah anak dilandasi oleh observasi dari
pengalaman dengan obyek-obyek nyata, dan mereka lemah dalam berpikir abstrak.
Oleh karena itu maka pembelajaran di
kelas hendaknya sekonkrit mungkin agar mudah diterima oleh peserta didik. Salah
satu tehnik menghitung yang konkrit adalah dengan tehnik jarimatika. Tehnik
jarimatika adalah suatu cara menghitung matematika dengan menggunakan alat
bantu jari.[19].
Berdasarkan kondisi tersebut, maka peserta didik
memerlukan alat bantu agar lebih cepat memahami dan mengerti apa yang
disampaikan oleh guru pada peserta didik. Adapun pembelajaran dengan
menggunakan alat bantu berhitung yang mudah yaitu dengan menggunakan jari- jari
tangan. Dalam jarimatika sebelum menggunakan jarinya untuk menghitung anak-anak
harus memahami terlebih dahulu cara penggunaaan jarinya. Alat bantu hitung ini
selain fleksibel, juga tidak memberatkan memori otak saat digunakan.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar