Salah
satu tuntutan Reformasi 98’ adalah Otonomi Daerah.
Lahirnya tuntutan ini bisa dimaknai sebagai strategi atau solusi atas maraknya
isu disintegrasi daerah. Ada banyak sebab lahirnya tuntutan itu. Salah satunya
karena cara-cara penyelesaian problem kebangsaan oleh pemerintah yang militeristik. Padahal militeristik
adalah ciri fasisme[1].
Selain itu, otonomi daerah ini adalah bentuk kompromi dari pertikaian panjang
antara dua konsep bentuk negara dengan akar historis dan filosofis sangat
berbeda. Kedua konsep itu adalah bentuk negara federal dan bentuk Negara
kesatuan yang masing-masing diadopsi dan dipertahankan oleh Muhammad Hatta dan
Soekarno.
Reformasi telah membawa suasana baru dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Prestasi reformasi (Chrisnandi, 2008)[2]
ditandai dengan rezim lama diturunkan dan digantikan rezim baru. Politik
otoritarianisme digantikan politik demokrasi. Sentralisme dikubur dengan
desentralisasi. Konstitusi lama (UUD 1945) diamandemen sebanyak empat kali.
Multipartai menyediakan ruang bagi setiap orang untuk berkumpul dan mendirikan
partai politik. Dibentuk lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]. Melalui asas desentralisasi,
otonomi daerah hadir untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola
sendiri urusan pemerintahan dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah.
Desentralisasi
merupakan sebuah proses di mana pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan
umum, dan daya saing daerah. Pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menjalankan segala urusan pemerintahan kecuali
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan urusan Politik Luar Negeri,
Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama[4].
Karena itu adalah urusan pemerintahan yang hanya menjadi kewenangan pemerintah
pusat.
Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota. Urusan itu meliputi: (a) perencanaan dan pengendalian
pembangunan, (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (c)
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (d) penyediaan
sarana dan prasarana umum, (e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan
pendidikan, (g) penanggulangan masalah sosial, (h) pelayanan bidang
ketenagakerjaan, (i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah,
(j) pengendalian lingkungan hidup, (k) pelayanan pertanahan, (l) pelayanan
kependudukan, dan catatan sipl, (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan,
(n) pelayanan administrasi penanaman modal, (o) penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya, (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan[5].
Selanjutnya, dalam
urusan keuangan, diatur dalam UU Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah
Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas
antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan Negara
kepada Pemerintah Daerah didasarkan atas penyerahan tugas kepada Pemerintah
Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Otonomi Daerah telah lama menjadi wacana publik Indonesia[6]. Meski demikian, dalam pelaksanaan otonomi
daerah ini belum berjalan sebagaimana tujuan awalnya. Terdapat banyak
ketimpangan dalam upaya pengimplementasian konsep otonomi daerah. Beragam
realitas empirik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Keban (Fakrulloh
dkk, 2004)[7],
ada beberapa hal yang dapat mengganggu kinerja pencapaian tujuan otonomi daerah
yaitu (1) adanya kesalahan strategis dalam perwujudan otonomi daerah, (2)
perbedaan persepsi dan pemahaman tentang konsep otonomi daerah, (3) perbedaan
paradigma otonomi daerah yang dianut oleh para elit politik, (4) paradigma
birokrasi masih kuat.
Sebagai salah satu daerah otonom pasca pemekaran dari
Kabupaten Poso[8]
tahun 2000, kabupaten Morowali tidak jauh dari realitas empirik tersebut. Pembangunan
infrastruktur jalan dan fasilitas pelayanan umum lainnya belum begitu memadai. Berdasarkan
data Dinas Kimpraswil Kabupaten Morowali dalam Angka 2001, menunjukkan bahwa
ada 55% jalan negara, provinsi, dan kabupaten yang mengalami kerusakan. Hanya
18% jalan dalam kondisi baik. Atas dasar itu, pada Tahun Anggaran 2003
Kabupaten Morowali mendapatkan DAK non reboisasi sebesar Rp 1,6 M untuk perbaikan jalan.
Selain itu, salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian
daerah kabupaten/kota khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah dewasa ini adalah
berkisar pada upaya peningkatan PAD. Problema ini muncul karena adanya
kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang
menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam
berotonomi adalah terletak pada besarnya PAD[9].
Kecenderungan berpikir ini tidak lahir begitu saja tanpa landasan rasional dan
empiris mengingat masih banyak daerah otonom yang masih mengandalkan dana
perimbangan sebagai sumber utama keuangan daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah. Artinya, daerah-daerah itu belum mampu menjalankan
desentralisasi.
Merujuk pada hasil penelitian Badan
Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan
Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 Daerah
Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli
daerah terhadap pembiayaan daerah. Berikut rinciannya:
·
122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 %
·
86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10 % - 20 %
·
43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1 % - 30 %
·
17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1 % - 50 %
·
2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50 %
Rendahnya
konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah
hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi
hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin
dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat[10].
Mengingat banyaknya sumber-sumber PAD[11]
yang bisa dioptimalkan, daerah
otonom tidak perlu mengandalkan dana
perimbangan dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Apalagi dalam konteks Kabupaten Morowali yang
memiliki banyak kekayaan sumber daya alam. Pengelolaan kekayaan alam itu
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah wajib pajak dan retribusi daerah.
Kabupaten dengan visi “Morowali
Menuju Kabupaten Agribisnis 2012" ini menyimpan kekayaan alam di sektor
perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, pertambangan, dan pariwisata yang
melimpah yang bisa dikelola untuk menambah sumber-sumber PAD dalam rangka
meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai secara mandiri urusan rumah
tangga daerah. Sektor-sektor potensial ini jika dikelola secara maksimal akan
membantu mempercepat pertumbuhan perekonomian masyarakat yang pada gilirannya
akan menambah jumlah objek PAD. Misalnya, di sektor pertambangan dan perkebunan
yang cukup mendominasi di Kabupaten Morowali, para pengusaha pertambangan dan
perkebunan untuk melaksanakan usahanya pasti mengurus Surat Izin Usaha dan
dokumen-dokumen lain yang dikenakan pajak maupun retribusi. Sebagai gambaran,
pada tahun 2010 sektor pertambangan nikel memberikan kontribusi ke PAD sebesar
Rp 4 M[12].
Sektor pertanian
adalah tumpuan 76 persen penduduk. Pada tahun 2001 nilai kegiatan ekonomi
pertanian Rp 527 miliar, sekitar 37 persen berasal dari perkebunan[13].
Sektor perikanan, di antara 10 kecamatan hanya Kecamatan Mori Atas dan Lembo
yang tidak memiliki garis pantai, sehingga ada 80 persen wilayah Morowali yang
berpotensi untuk perikanan[14].
Di sektor
pertambangan, terdapat Nikel dan marmer. Nikel dengan luas arealnya mencapai
lebih kurang 149.700 hektar dengan cadangan terduga 8 juta WMT. Di sektor Minyak dan gas, terdapat
Lapangan minyak Tiaka Blok Trili dengan fasilitas penunjang terletak sekitar 17
mil dari garis pantai. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa cadangan minyak di
lapangan Tiaka (Original oil in Place – OOIP) sebesar 106,56 MMBO (Million
barrel oil/juta barrel minyak). Total kapasitas produksi per hari mencapai
sekitar 6.500 barrel (BOPD) yang diperoleh dari enam sumur produksi atau
rata-rata produksi setiap sumur sebesar sekitar 1.100 BOPD. Gas bumi, dari
hasil pemboran sumur produksi, dihasilkan juga gas ikutan sebanyak sekitar 3,5
TCF (Ton cubic feet) dengan air terproduksi sekitar 3.000 BOPD[15].
Menurut data dari BPS Kabupaten Morowali tercatat lebih dari 100 Pemegang Izin
Usaha Pertambangan di wilayah ini.
Melihat potensi kekayaan SDA Kabupaten Morowali sebagaimana
diuraikan di atas, DPPKAD sebagai salah satu SKPD, berpeluang besar untuk
mengoptimalkan manajemen keuangan daerah hasil penerimaan dari sumber-sumber
PAD. Dalam hal ini, dituntut efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan peran DPPKAD dalam manajemen keuangan daerah sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya. Kecerdasan pengelolaan penerimaan keuangan
dibutuhkan untuk memastikan semua pos anggaran pembelanjaan daerah dalam setiap
tahun anggaran mendapat bagian secara proporsional. Selain itu, juga untuk
menekan defisit APBD dalam setiap tahun anggaran.
Persoalannya kemudian,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Morowali dalam tiga
tahun anggaran terakhir mengalami defisit. Tahun 2006 defisit APBD Morowali
mencapai lebih Rp 75 miliar, tahun 2007 lebih Rp 63 miliar dan tahun anggaran
2008 mencapai lebih 63 miliar[16].
Di sisi lain, realisasi
penerimaan PAD Kabupaten Morowali
selama tiga Tahun berturut-turut yakni pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 8,80 M, 2008 sebesar Rp 14,53 M, 2009 sebesar Rp 13,82 M[17]. Angka ini menunjukkan peningkatan
PAD. Pertanyaannya, apakah rasio perbandingan antara kekayaan alam dengan PAD
Kabupaten Morowali dalam tiga tahun terakhir itu, seimbang? Artinya, dengan melihat potensi kekayaan SDA,
bukankah pemerintah daerah dalam hal ini DPPKAD dapat membuat target pencapaian
PAD yang lebih besar?
Selain itu, Penerimaan
Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Morowali pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 434,48 M, pada tahun 2008 sebesar Rp 373,308
M
dan pada tahun 2009 sebesar Rp 368,918 M[18]. Dibandingkan
dengan Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tengah, DAU Kabupaten Morowali tahun 2008 berada
di urutan tertinggi ke dua setelah Kabupaten Banggai. Pada tahun 2009 berada
pada urutan tertinggi ke tiga setelah Kabupaten Banggai[19].
Padahal DAU hanya diperuntukkan bagi daerah dengan PAD kecil sebagai upaya
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Artinya, Kabupaten ini masih
sangat tergantung pada dana dari Pemerintah Pusat dalam membiayai
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang relevan untuk dipertanyakan. Misalnya apakah secara aktual aparat DPPKAD Kabupaten Morowali dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan Daerah?
Dalam hal strategi, apakah Pemerintah Daerah telah mengubah strategi mengenai teknis operasional lapangan terutama sistem pendataan ulang dalam rangka menjaring semaksimal mungkin obyek pajak maupun subyek pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, apakah Pemerintah Kabupaten Morowali melalui DPPKAD telah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap seluruh sumber penerimaan daerah, telah mengidentifikasi secara optimal sumber-sumber PAD yag baru?
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian tentang bagaimana peran salah satu SKPD yang banyak bergelut dalam pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan judul “Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Morowali Tahun 2008-2011”.
Judul : Peran Dppkad Dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pad) (IPM-10)
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang relevan untuk dipertanyakan. Misalnya apakah secara aktual aparat DPPKAD Kabupaten Morowali dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan Daerah?
Dalam hal strategi, apakah Pemerintah Daerah telah mengubah strategi mengenai teknis operasional lapangan terutama sistem pendataan ulang dalam rangka menjaring semaksimal mungkin obyek pajak maupun subyek pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, apakah Pemerintah Kabupaten Morowali melalui DPPKAD telah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap seluruh sumber penerimaan daerah, telah mengidentifikasi secara optimal sumber-sumber PAD yag baru?
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian tentang bagaimana peran salah satu SKPD yang banyak bergelut dalam pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan judul “Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Morowali Tahun 2008-2011”.
Judul : Peran Dppkad Dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pad) (IPM-10)
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar