Menjelaskan
tentang pembangunan ekonomi Indonesia
merupakan hal yang kompleks dan menarik sebab di dalamnya terdiri dari banyak
dinamika baik itu secara mikro maupun makro. Suatu negara dikatakan sukses
dalam pembangunan ekonomi jika telah menyelesaikan tiga masalah inti dalam
pembangunan. Ketiga masalah tersebut adalah angka kemiskinan yang terus
meningkat, distribusi pendapatan yang semakin memburuk dan lapangan pekerjaan
yang tidak variatif sehingga tidak mampu menyerap pencari kerja. Untuk itu
melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi Indonesia
merupakan hal menarik guna melihat sejauh mana negara ini mampu melakukan
pembangunan ekonomi secara komprehensif. Dalam menyelesaikan masalah tersebut
berbagai pendekatan dilakukan termasuk pendekatan pertumbuhan ekonomi digunakan
untuk menyelesaikan masalah pembangunan ini.
Pasca krisis
tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia
terus mengalami ekspansi, meskipun belum mampu menyamai pertumbuhan ekonomi
pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat ini ekonomi Indonesia
secara meyakinkan terus mengalami pertumbuhan dengan besaran diatas 5%
rata-rata per tahun. Ini menarik perhatian beberapa lembaga rating dan lembaga
penelitian internasional yang melakukan prediksi tentang masa depan ekonomi Indonesia.
Bank Dunia dalam laporan The New global
Economy, lembaga rating G-Sachs dan Standard Chartered Bank untuk Indonesia 2050 membuat
analisis, bahwa diperkirakan Indonesia akan masuk dalam salah satu negara pusat
pertumbuhan ekonomi dunia (growth pool)
pada tahun 2025. Dalam laporan tersebut, juga diperkiran pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan mencapai 13% pada tahun 2025, dengan syarat pertumbuhan ekonomi
riil Indonesia harus berada antara 7-9% pertahun dan berkelanjutan. Selain itu berbagai lembaga riset terkemuka termasuk The
Economist edisi bulan Desember 2010 menyatakan bahwa Indonesia akan bangkit
sebagai kekuatan ekonomi baru (new emerging economy).
Badan Pusat Statistik 2011 melaporkan
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai angka 6,1%. Angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang
hanya sekitar 4,6%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung
meningkat tiap tahunya yaitu 6,3% pada
tahun 2007, 6,0% pada tahun 2008, 4,6% pada tahun 2009 kemudian naik pada tahun
2010 sebesar 6,1%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan konsisten tersebut
memasukkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju seperti
Cina, Jepang dan beberapa negara maju lainya.
Namun nampaknya diskursus yang sampai saat
ini terus berlangsung dan fakta-fakta yang tidak dapat ditolak lagi melahirkan
paradoks dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laporan Bank Dunia menjadi gugatan untuk
beberapa negara yang memiliki pertumbuhan yang tinggi namun penduduknya masih
tergolong miskin termasuk Indonesia. Dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik
digambarkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output
nasional yang merupakan fungsi dari faktor produksi dan fungsi produksi.
Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi maka merepresentasikan distribusi
pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami perbaikan. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi merupakan gambaran terhadap kesejahteraan faktor produksi
yang turut serta menciptakan “kue nasional” tersebut. Artinya semakin tinggi laju
pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula produktivitas faktor produksi dan
semakin tinggi pula upah yang diterima oleh para pekerja.
Namun tampaknya teori tersebut digugat oleh
laporan Bank Dunia tentang kesenjangan antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan
masyarakat. Dalam laporanya dengan tema World
Development Report: Sustainable Development In A Dinamic world: Transforming
Institutions ,growth, and quality of life pada tahun 2003 melaporkan bahwa
ditemukan fakta diberbagai belahan dunia, semua negara telah mencatat laju
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten
selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan
(pendapatan dibawah 2$). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sekitar tiga
milyar penduduk dunia masih berada dalam kemiskinan padahal disatu sisi
pertumbuhan terus meningkat secara konsisten (Agussalim, 2009).
Tabel 1.1
Data
pertumbuhan ekonomi dan jumlah orang miskin
Tahun
|
Pertumbuhan PDB (%)
|
Jumlah
Orang miskin (juta orang)
|
1980
|
9.9
|
42,300,000
|
1981
|
7.9
|
40,400,000
|
1982
|
2.2
|
23,000,000
|
1983
|
4.2
|
37,000,000
|
1984
|
5.8
|
35,000,000
|
1985
|
2.5
|
33,000,000
|
1986
|
3.2
|
31,000,000
|
1987
|
3.6
|
30,000,000
|
1988
|
1.9
|
28,500,000
|
1989
|
1.4
|
26,000,000
|
1990
|
7.1
|
27,200,000
|
1991
|
6.6
|
26,100,000
|
1992
|
6.3
|
26,567,000
|
1993
|
2.2
|
25,900,000
|
1994
|
7.5
|
23,500,000
|
1995
|
8.2
|
34,500,000
|
1996
|
7.8
|
36,000,000
|
1997
|
4.9
|
34,000,000
|
1998
|
-13.13
|
49,500,000
|
1999
|
0.79
|
47,970,000
|
2000
|
4.92
|
38,700,000
|
2001
|
3.45
|
37,900,000
|
2002
|
4.31
|
38,400,000
|
2003
|
4.78
|
37,300,000
|
2004
|
5.03
|
36,100,000
|
2005
|
5.69
|
35,100,000
|
2006
|
5.51
|
39,300,000
|
2007
|
6.32
|
37,170,000
|
2008
|
6.01
|
34,960,000
|
2009
|
4.35
|
32,520,000
|
2010
|
5.8
|
31,020,000
|
Dataa diatas menunjukkan ada beberapa tahun
tertentu dimana kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak diikuti turunya angka
kemiskinan, misalnya ditahun 1983, 1990, 1995, 2002 dan beberapa tahun tahun
tertentu juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang menurun namun kemiskinan
juga mengalami penurunan. Kegagalan pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan cenderung
disebabkan oleh gagalnya pemerintah dalam mengelolah laju pertumbuhan ekonomi.
Kegagalan pemerintah dalam mengatur sistem pemberian upah kepada para pekerja
menjadi salah satu pendorong gagalnya pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan.
Pekerja di Indonesia mengalami apa yang disebut “u pah besi”, diamana para
pekerja diberikan upah sesuai dengan kontrak kerja yang telah diputuskan
bersama antara pengusaha dan pekerja (buruh). Namun upah yang diberikan
ternyata secara riil nilainya sangat rendah meskipun secara nominal angkanya
mungkin cukup tinggi. Penetapan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah
secara tidak sadar telah membuat para pekerja berada dalam kondisi yang sulit
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (primer) yang semakin hari mengalami fluktuasi
harga (inflasi). Dampak dari upah besi juga berdampak pada penjatahan pekerjaan
oleh pengusaha. Ini dikemukakan oleh Charles Brown (1998). Ia mengatakan bahwa
penentuan upah besi akan berdampak pada penjatahan pekerjaan yang akan
berdampak pada semakin banyaknya pengangguran. Meskipun terjadi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi namun jika terjadi penentuan upah besi maka kesejahteraan
karena pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah terwujud. Seharusnya upah
ditentukan berdaskan prosuktivitas marginal tenga kerja dengan tetap
mempertimbangkan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu syarat
tercapainya pembangunan ekonomi, namun yang perlu diperhatikan tidak hanya
angka statistik yang menggambarkan laju pertumbuhan, namun lebih kepada siapa
yang menciptakan pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah hanya segelintir orang
atau sebagian besar masyarakat. Jika hanya segelintir orang yang menikimati
maka pertumbuhan ekonomi tidak mampu mereduksi kemiskinan dan memperkecil
ketimpangan, sebaliknya jika sebagian besar turut berpartisipasi dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi maka kemiskinan dapat direduksi dan gap antara orang kaya dan orang miskin
dapat diperkecil (Todaro dan Stephen C. Smith, 2006).
Tabel 1.2
Data rasio
gini dan jumlah orang miskin
Tahun
|
Rasio
Gini (%)
|
Angka
Kemiskinan (Juta Orang)
|
1980
|
0.34
|
42,300,000
|
1981
|
0.33
|
40,400,000
|
1982
|
0.3
|
23,000,000
|
1983
|
0.31
|
37,000,000
|
1984
|
0.32
|
35,000,000
|
1985
|
0.364
|
33,000,000
|
1986
|
0.33
|
31,000,000
|
1987
|
0.32
|
30,000,000
|
1988
|
0.32
|
28,500,000
|
1989
|
0.33
|
26,000,000
|
1990
|
0.34
|
27,200,000
|
1991
|
0.33
|
26,100,000
|
1992
|
0.33
|
26,567,000
|
1993
|
0.36
|
25,900,000
|
1994
|
0.34
|
23,500,000
|
1995
|
0.34
|
34,500,000
|
1996
|
0.36
|
36,000,000
|
1997
|
0.37
|
34,000,000
|
1998
|
0.32
|
49,500,000
|
1999
|
0.311
|
47,970,000
|
2000
|
0.32
|
38,700,000
|
2001
|
0.3
|
37,900,000
|
2002
|
0.329
|
38,400,000
|
2003
|
0.32
|
37,300,000
|
2004
|
0.32
|
36,100,000
|
2005
|
0.343
|
35,100,000
|
2006
|
0.357
|
39,300,000
|
2007
|
0.376
|
37,170,000
|
2008
|
0.368
|
34,960,000
|
2009
|
0.357
|
32,520,000
|
2010
|
0.331
|
31,020,000
|
Sumber:
Badan Pusat statistik
Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap
kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tidak, maka kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan akan tetap menjadi masalah pembangunan ekonomi dimasa
depan.
Beberapa kecenderungan menunjukkan bahwa
kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap
perbaikan taraf hidup masyarakat miskin dijelaskan oleh berbagai literatur dan
hasil penelitian. Faisal Basri dan Haris Munandar (2006) dan Ahmad Erani
Yustika (2010) misalnya memasukkan masalah ini menjadi salah satu
masalah struktural dalam perekonomian Indonesia yang selama ini tidak disadari
oleh pemerintah dan merupakan ancaman yang berbahaya bagi perekonomian
Indonesia. Mereka mengemukakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia
belum bisa menekan angka kemiskinan, karena yang menjadi leading sektor dalam pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor non tradable yang padat modal. Sektor
tersier (non tradable) yang memberikan kontrbusi besar dalam pertumbuhan
ekonomi ternyata hanya mampu menyerap sedikit dari sekian banyak tenaga kerja
yang ada di Indonesia. Setiap tahunya angkatan kerja meningkat sekitar
rata-rata 80 juta angkatan kerja dari tahun 1989-1999, sementara orang yang
mencari pekerjaan sektar 40 juta jiwa dari tahun yang sama. Pencari kerja yang
terus meningkat simultan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami ketimpangan.
Secara perlahan namun konsisten, sektor industri dan jasa mulai menggantikan
peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kontribusi sektor non tradable dalam struktur PDB Indonesia membesar seiring proses
perekembangan Indonesia sebagai negara yang berkembang dan ingin melalui masa
transisi menuju negara maju (pra kondisi menuju lepas landas). Secara perlahan
namun konsisten, kontribusi sektor non
tradable (sektor perdagangan, hotel dan restoran) mulai meningkat dan
menggantikan peran sektor pertanian dan industri. Secara teoritis pergeseran
struktur ekonomi menjadi syarat suatu negara dikatakan negara maju ketika
sektor jasa berkontribusi besar terhadap PDB. Namun jika tidak dapat dikelola
dengan baik maka perubahan struktur ekonomi akan berdampak pada munculnya
masalah baru seperti pengangguran dan distribusi pendapatan yang timpang serta
memburuknya angka kemiskinan.
Perkembangan sektor tersier dalam
perekonomian Indonesia menunjukkan kontraproduktif dalam pembangunan ekonomi
Indonesia. Peran sektor tersier dalam perekonomian Indonesia hanya menyerap sebagian
kecil dari angkatan kerja di Indonesia karena basis dari sektor tersebut hanya
didorong oleh sub sektor jasa yang padat modal. Seharusnya yang mengalami pertumbuhan saat ini adalah
sektor yang padat tenaga kerja.
Lewis dalam Todaro (2006) menjelaskan
perubahan struktur ekonomi dengan mengasumsikan bahwa sektor pertanian yang
padat tenaga kerja mengalami over
employment dan MPL=0 (Marginal
Productivity of Labor). Untuk memanfaatkan tenaga kerja yang berada pada
sektor pertanian maka sektor perkotaan (industri) harus ditingkatkan dan
memberikan gaji yang paling tinggi 30% diatas rata-rata gaji pada sektor
pedesaan. Namun kritikan untuk teori ini muncul, mengatakan bahwa teori Lewis
melakukan penyederhanaan sehingga tidak realistis dalam pencapaiannya. Tidak
mudah memindahkan masyarakat desa ke kota yang telah terbiasa bekerja pada
sektor tradisional. Banyak pertimbangan (budaya, keluarga dsb) yang membuat
mereka harus bertahan di desa dan tetap bekerja pada sektor tradisional
sehingga memindahkan mereka merupakan hal yang sulit dan memerlukan banyak
biaya.
Perkembangan sektor tersier dalam
perekonomian Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan. Jika sektor padat tenaga
kerja yang dibutuhkan mengapa yang berkembang pesat justru sektor yang padat
modal (Faisal Basri, 2006) . Ini berkaitan dengan kendala yang dihadapi oleh
sektor padat tenaga kerja. Sektor ini sering menemui kendala umum misalnya
dalam proses produksi sering kalah bersaing oleh sektor yang padat modal yang
memiliki teknologi canggih. Selain itu menurut Faisal Basri (2006) sektor
tersier bisa berkembang lebih cepat karena pada umumnya pelaku usaha tidak
mengalami kendala berat akibat ketebatasan supply
maupun kualitas infrastruktur. Sektor jasa juga terhindar dari carut-marut
kepabeanan, buruknya pelayanan pelabuhan, pungutan dijalan raya dan praktik
ekonomi biaya tinggi lainya. Disebabkan semua keuntungan yang diperoleh oleh
sektor tersier secara umum disebabkan karena sektor tersebut mampu menghindar
dari beberapa kendala yang tidak mampu dihindari oleh sektor primer.
Pergesaran struktur ekonomi tersebut
mengharuskan terjadinya proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang
cepat juga menjadi pemicu matinya sektor pedesaan yang menyerap hampir 50%
orang miskin. Namun menurut Oshima (1989) kegagalan beberapa negara berkembang
untuk memperbaiki ketimpangan dan menurunkan tingkat kemiskinan tidak
disebabakan oleh kegagalan teori trickle
down effect tapi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu melanjutkan
proses industrialisasi. Proses ini yang nantinya akan meyebarkan kesejahteraan
ditiap daerah dalam satu negara.
Namun sampai saat ini paradigma pemerintah nampaknya
masih berorientasi pada pertumbuhan, meskipun kualitas pertumbuhan ekonomi
Indonesia belum mampu mengentaskan kemiskinan dan justru memperbesar gap antara kaum miskin dan kaya. Ini
dapat dilihat dari strategi pembangunan yang digunakan pemerintah yaitu triple track strategy. Triple track strrategy lebih mengedapankan
pertumbuhan (pro growth) diatas
lapangan pekerjaan dan kemiskinan (pro
job dan pro poor). Ini memberikan
indikasi bahwa pemerintah masih mempercayai efektifitas pertumbuhan ekonomi
sebagai salah satu variabel yang dapat menekan angka pengangguran dan
kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan. Dalam lima belas program prioritas
yang disebutkan dalam Nota Keuangan tahun 2010 salah satunya adalah pertumbuhan
ekonomi yang akan terus dtingkatkan sampai mencapai minimal 7 % sehingga
kesejahteraan rakyat juga lebih meningkat, termasuk untuk mencukupi kebutuhan
hidup mereka.
Masalah lain yang menarik perhatian dalam
pembangunan ekonomi Indonesia adalah pengeluaran pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan. Dari tahun ke tahun pemerintah telah mengeluarkan banyak anggaran
untuk menekan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$/hari). Namun jika dilihat
lebih teliti anggaran yang meningkat begitu besar hanya mampu menurunkan angka
kemiskinan sebesar paling besar 1%.
Tabel 1.4
Pengeluaran
pemerintah dan kemiskinan
Tahun
|
Pengeluaran
Pemerintah
|
Angka
Kemiskinan
|
1980
|
1,501,600,000,000
|
42,300,000
|
1981
|
6,399,200,000,000
|
40,400,000
|
1982
|
8,605,800,000,000
|
23,000,000
|
1983
|
9,290,250,000,000
|
37,000,000
|
1984
|
10,459,300,000,000
|
35,000,000
|
1985
|
10,647,000,000,000
|
33,000,000
|
1986
|
8,296,000,000,000
|
31,000,000
|
1987
|
7,756,600,000,000
|
30,000,000
|
1988
|
8,897,600,000,000
|
28,500,000
|
1989
|
12,480,200,000,000
|
26,000,000
|
1990
|
16,225,000,000,000
|
27,200,000
|
1991
|
19,997,700,000,000
|
26,100,000
|
1992
|
22,912,000,000,000
|
26,567,000
|
1993
|
25,227,200,000,000
|
25,900,000
|
1994
|
27,398,300,000,000
|
23,500,000
|
1995
|
30,783,500,000,000
|
34,500,000
|
1996
|
34,502,700,000,000
|
36,000,000
|
1997
|
28,880,800,000,000
|
34,000,000
|
1998
|
49,391,700,000,000
|
49,500,000
|
1999
|
82,448,300,000,000
|
47,970,000
|
2000
|
41,605,700,000,000
|
38,700,000
|
2001
|
52,299,100,000,000
|
37,900,000
|
2002
|
52,299,100,000,000
|
38,400,000
|
2003
|
66,146,100,000,000.00
|
37,300,000
|
2004
|
18,000,000,000,000
|
36,100,000
|
2005
|
23,000,000,000,000
|
35,100,000
|
2006
|
42,000,000,000,000
|
39,300,000
|
2007
|
56,000,000,000,000
|
37,170,000
|
2008
|
62,000,000,000,000
|
34,960,000
|
2009
|
66,200,000,000,000
|
32,520,000
|
2010
|
94,000,000,000,000
|
31,020,000
|
Sumber: Nota Keuangan dan BAPPENAS
Kondisi ini memberikan indikasi bahwa
sebagian besar anggaran pemerintah yang dijadikan program belum mampu
menyelesaikan masalah kemiskinan. Bahwa belanja untuk program kemiskinan terus
bertambah belum menjadi ukuran prestasi. Lagi pula tingkat kemiskinan terendah
pada masa pasca krisis masih cukup jauh jika dibandngkan dengan tingkat
kemiskinan terendah pada masa sebelum krisis (Faisal Basri, 2006). Hal ini juga
diakui oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), bahwa meskipun
angka kemiskinan menurun tapi penurunannya mengalami pelambatan jika
dibandingkan pada masa sebelum krisis dan tidak sesuai jika dibandingkan dengan
kenaikan jumlah anggaran yang telah dikeluarkan (Vivi Yulaswati, 2009)
Gambar1.1b
Perkembangan
jumlah orang miskin
Sumber: Presentase Bappenas pada saat
Rakornas II TKPK Provinsi Jakarta, 2 Desember2009
Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan
pemerintah menemui berbagai kendala yang mendasar dan sangat penting guna ketercapaian
tujuan program tersebut. Ada berbagai program pengentasan kemiskinan yang
terangkum dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Dalam menyusun
program pengentasan kemiskinan, pemerintah mengalami kesulitan dalam
memaksimalkan peran masyarakat untuk melakukan penyusunan program pengentasan
kemiskinan. Meskipun secara konseptual, diberlakukan Musrembang (musyawarah
perencanaan pembangunan) ditiap tingkatan masyarakat, namun dari sisi realisasi
belum maksimal. Program partisipasi masyarakat yang diklaim pemerintah telah
berhasil ternyata belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Selain faktor tersebut, ada program yang
memang hanya bersifat jangka pendek. Program ini pada prinsipnya hanya
mengangkat orang miskin dari posisi miskin menjadi hampir miskin. Ini
dipertegas dengan temuan Afrizal. Berdasrkan penelitian yang dilakukan ia
menemukan bahwa Raskin dikatakan sebagai bantuan-batuan habis sesaat. BLT/SLT
pada umumnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari dan
tidak membuat mereka dapat menyimpan karena adanya bantuan tersebut. Hal ini
disebabkan oleh karena bantuan tersebut terlalu kecil, sedangkan pendapatan
mereka tidak mampu menutupi kebutuhan dasarnya.
Untuk itu beberapa masalah
pembangunan yang tidak kunjung selesai harus diberikan solusi guna memecahkan
masalah pembangunan yang mulai asimetris dengan indikator keberhasilan
pembangunan. Maka dari itu berdasarkan pemaparan latar belakang masalah
tersebut maka judul penelitian Dampak
Pembangunan Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Periode
1980-2010 memberikan analisis tentang beberapa masalah yang terjadi dalam
pembangunan ekonomi Indonesia.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar