Otonomi
daerah yang dikenal sekarang ini merupakan manifestasi dari pecahnya sistem pemerintahan sentralistik
yang menarik hampir seluruh kewenanganpemerintahan ke pusat. Sejak berlakunya
UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah maka otonomi seluas-luasnya sebagaimana dituangkan dalam UU No 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan TAP MPRS
No.XXI/MPRS/1966 dibalik menjadi apa yang disebut oleh UU itu dengan “pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab”. Pembalikan ini
dilakukan dengan dalih bahwa bahwa otonomi seluas-luasnya sudah tidak
cocok lagi dengan prinsip Negara Kesaturan
Republik Indonesia dan oleh sebab itu harus diubah. Otonomi daerah yang nyata dan bertanggung mengganti
kewenangan untuk mengatur dan mengurus diri sendiri
menjadi otonomi yang menjalankan amanat dan kekuasaan pusat di daerah.
.Tema
sentral reformasi total tersebut adalah mewujudkan masyarakat madani,
terciptanya good governance, dan
mengembangkan model pembangunan yang
berkeadilan.Sejak dikeluarkannya Undang-Undang RI No.32 tahun 2004 yang telah
direfisi untuk kedua kalinya kedalam Undang-Undang No.12 tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah yang isinya mengatur tentang pemberian wewenang kepada daerah
untuk mengembangkan potensi dan mengelolah potensi yang dimiliki oleh daerahnya
sendiri memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pembangunan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan
paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Pemberian otonomi dan tugas
pembantuan kepada daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota menimbulkan tugas-tugas
dan kewenangan-kewenangan bagi pemerintah daerah dalam rangka mengatur dan
mengurus rumah tangganya. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan
tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian itu pula kebijakan otonomi daerah telah
menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi
dan kabupaten. Dalam proses pembentukan
suatu perda, masyarakat berhak memberi masukan, baik secara lisan maupun secara
tertulis. Keterlibatan masyarakat ini, dimulai dari proses penyiapan pada waktu
pembahasan rancangan perda. Penggunaan hak masyarakat ini dalam pelaksanaannya
diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Dengan demikian, partisipasi
masyarakat dalam penyusunan Perda merupakan hak masyarakat, yang dapat
dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan.Dalam konteks hak
asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada
pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban pemerintahan
daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda
tersebut.
Partisipasi masyarakat
merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhatikan dalam pembentukan
Peraturan Daerah (Perda). Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, secara jelas mengatur mengenai partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda yangmenyatakan bahwa
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
Menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Senada dengan hal tersebut, dalam pasal 139 ayat (1) UU Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan rancangan Perda. Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan
bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata
Tertib DPRD. Partisipasi masyarakat
ini merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat yang sangat
penting dalam rangka menciptakan good governance. Oleh karena itu
pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan termasuk Perda haruslah diatur secara lebih jelas.
Melihat persoalan yang telah di
paparkan sebelumnya, Kabupaten Maros sebagai fokus kajian yang juga merupakan
daerah otonom, diberikan kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri
dan termasuk membuat kebijakan dan peraturan-peraturan daerah demi mewujudkan
pembangunan di Kabupaten Maros menjadi tujuan penulis untuk di teliti lebih
dalam lagi. Melihat bahwa Kab. Maros dalam Perda nomor 13 tahun 2010 tentang
Legislasi Daerah memiliki bab dan pasal yang mengatur tentang tata cara
pelibatan masyarakat dalam pembuatan dan penyusunan kebijakan dan peraturan
daerah di Kabupaten Maros.
Melihat hal itu, penulis ingin
mengetahui sejauh mana pemerintah daerah di Kabupaten Maros dalam mengaplikasikan
prinsip partisipatif yang juga merupakan salah satu dari prinsip good governance dalam melibatkan
masyarakat terhadap penyusunan kebijakan
di daerah tersebut. Berangkat dari ini kemudian penulis terdorong untuk meneliti dan menulis judul skripsi dengan judul : “Partisipasi Masyarakat Dalam
Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Di Kabupaten Maros”.
Untuk mendapatkan FILE LENGKAP dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar